(tulisan ini hanya bermuatan opini, barangkali suatu yang renyah saja
untuk dipolemikkan dalam khasanah HMI)
“Lafran Pane mendirikan HMI
untuk kepentingan besar kebangsaan, bukan kepentingan sempit kekuasaan, untuk
inovasi pemikiran dan karya tiada henti dan bukan stagnasi kreatifitas dan
program kerja, untuk keseimbangan ajaran Islam, bukan kesenjangan antara
pemikiran dan perbuatan,” (Bima Arya Sugiharto)
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada usia
65 tahun (Februari 1947-Februari 2012) semakin menunjukkan kepikunanya. Sungguh
ironis bila mencermati persoalan internal pada Pengurus Besar di Jakarta, dan itu menjadi sorotan banyak
pihak, terutama bagi kader di seluruh Indonesia. 65 tahun, tepat pada hari ini,
bukanlah usia yang kanak-kanak lagi. Sejatinya, HMI harus sudah matang sebagai
lembaga yang memperjuangkan nlilai-nilai keummatan dan kebangsaan. Tetapi yang
terjadi malah sebaliknya. Lebih mengesankan HMI pada usia kepikunan, di mana
tak ada lagi akal sehat, hati nurani dan nilai-nilai moral yang patut
dibanggakan. Jangan lagi disebut karya, konsepsi berpikir yang selaras antara
rasio-ilmiah dengan potensi supranatural, masalah mental saja belumlah selesai.
Tidak salah jika cibiran dan sindiran seperti itu dihadiahkan kepada HMI pada
dies natalis ke-65 ini.
Sederetan isu internal yang memalukan
semasa kepemimpinan Noer Fajriensyah (Ketum PB 2010-2012), benar-benar membuat
HMI karam. Katakan, adanya mosi tidak percaya dari beberapa staf ketua terhadap
kepemimpinan Noer Fajriensyah sebagai ketua umum PB, sebagaimana yang dilansir
oleh news.okezone.com
(27/1). Hal ini juga diterangkan
pada situs resmi Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LAPMI) PB HMI, Independensia.com,
setidaknya 35 orang pengurus mundur dari kursi PB, di antaranya tujuh (7) orang
staf ketua. Mosi tidak percaya ini mulai diserukan dalam sidang pleno II PB HMI
di Kepulauan Seribu (24/1) dengan berbagai alasan. Di antaranya,
sidang pleno II berjalan ricuh disebabkan aspirasi sebagian peserta
ditutup secara paksa bahkan nyaris terjadi pemukulan. Meski sebelumnya, alasan-alasan
yang menguatkan sudah mengapung dipermukaan. Seperti dilansir Independensia.com yang dijelaskan oleh
Ketua Bidang PTKP PB HMI, Dwi Julian, di
depan puluhan pengurus dan kader di Jakarta
(27/1). Dwi Julian mengatakan, beberapa khittah
perjuangan telah menjauh dari kepengurusan Noer Fajrieansyah. Untuk itu
pihaknya menyatakan mosi tidak percaya terhadap kepemimpinan Noer Fajriansyah sebagai ketua umum PB HMI
dan mendesaknya untuk segera mengundurkan diri.
Sebagaimana dijelaskan Dwi
Julian, dia merinci beberapa alasannya berdasarkan kesalahan Noer Fajrieansyah
setelah satu tahun kepengurusan ( terpilih sejak November 2010 lalu) . Di
antaranya, pengelolaan organisasi yang melanggar aturan-aturan konstitusi
organisasi, dilanggarnya nilai independensi etis dan organisasitoris yang
merupakan salah satu landasan organisasi HMI. Keberpihakan terhadap perkaderan
yang semakin jauh dari aturan dan cenderung diabaikan. Anehnya, PB tidak
mengambil sikap terhadap oknum pengurus yang melakukan tindak kekerasan terhadap
Master of Training Badan Pengelola
Latihan Kader III di Depok, 25 Desember 2011 lalu.
Selain itu kepemimpinan
Noer Fajriensyah dalam pengelolaan
anggaran keuangan, jauh dari nilai-nilai transparansi dan akuntabilitas,
sehingga menimbulkan banyak spekulasi. Serta kunjungan ke Vatikan tanpa melalui
agenda yang jelas, dan prosedur
organisasi dan ternyata melukai hati umat dan kader (Republika (28/1))
“Sudahlah jatuh tertimpa
tangga pula”. Kalimat itu sekarang yang ditanggung HMI. Mosi tidak percaya oleh
beberapa staf ketua di pengurus besar—yang merupakan representasi dari kader
HMI seluruh Indonesia—bisa
jadi berpengaruh terhadap simpatisan pada organisasi yang didirikan Lafran Pane
ini. Kenapa tidak, ketika Noer Fajriensyah ditinggalkan oleh 35 orang
terbaiknya, beredar pula isu asusila dan perbuatan amoral sang Ketua Umum yang
melibatkan kader Korp HMI-wati PB HMI. Jutaan kader HMI se-tanah air dibuat
geger olehnya. Terlepas dari benar atau pun tidak, yang jelas isu tersebut
telah membunuh HMI, arang sudah tercoreng di dahi.
Hal tersebut ditulis pula
oleh Vera Lope pada label berita di kompasiana.com (26/1) dengan judul; Ketum PB HMI Menzinahi Kader Kohati. Nauzubillahiminzalik!
Puluhan tanggapanpun menghujani pada kolom komentar. Atas permintaan beberapa
orang pengurus Kohati PB, akhirnya tulisan itu dihapus. Dua hari setelah
tulisan itu dihapus, Vera Lope menulis lagi di situs yang sama dengan judul,
“Menulis ‘Ketum PB HMI menzinahi kader kohati’ Ditegur Teman (28/1). HMI,
terasa sungguh karam. Ada
apa sebetulnya?
Apa karena HMI telah
menjadi organisasi super borjuis? Lihat saja, ketika kongres misalnya, ratusan
mobil mewah memadati arena. Puluhan hotel menjadi base camp para kandidat. Serta, uang berputar di arena kongres
tidak kurang dari hitungan Miliaran rupiah.
HMI telah berafiliasi
politis. Barangkali isu dan berbagai pelanggaran aturan organisasi, sebagaimana
yang dikemukakan di atas, belum tentu benar. Pasalnya, bisa jadi itu bagian
dari strategi lawan politik untuk membunuh sang ketua umum dan antek-anteknya.
Pertanyaan berikutnya, kenapa harus sekasar itu? Terlepas dari benar atau
tidak, keduanya sama-sama memberikan kontribusi untuk kehancuran HMI. Sehingga
banyak kalangan yang tak segan-segan mengatakan, “saatnya HMI dibubarkan”.
Sebetulnya, ini sejarah
yang berulang. DN. Aidit, pemimpin PKI pernah mengatakan “bubarkan HMI” di
hadapan ribuan kader Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) pada kongres
organisasi mahasiswa bawahan PKI tersebut. Kemudian, Mantan ketua umum PB HMI,
Nurcholis Madjid, juga pernah mengatakan bubarkan HMI. Akan tetapi, DN. Aidit
sebagai seorang PKI sangat berbeda konteks dengan Nurcholis Madjid disaat
mengatakan “bubarkan HMI”. DN Aidit, hanya persoalan kekuasaan, karena HMI
jelas-jelas menentang PKI, karena HMI dianggap rival yang hebat untuk
menghentikan gerakan PKI ketika itu. Sedangkan Nurcholis Madjid berbicara dalam
konteks internal karena HMI dalam pandangannya sudah melenceng dari khittah perjuangan. Karena alasan money politik dalam kongres HMI. Begitupun
alasannya hari ini. Isu “bubarkan HMI” tidak lain dan tidak bukan karena
melemahnya moral spiritual, melencengnya gerakan dari khittah perjuangan, yang sesungguhnya mencoreng marwah HMI itu sendiri.
Bagi kader, tentu isu yang
menyerang segenap moralitas sang ketua umum harus ditimbang-timbang sebelum
melahirkan sikap. Andai, isu semacam yang ditulis Vera Lope itu tidak benar,
murni pembunuhan karakter karena konstalasi politik internal, tentu akan sangat
berbahaya bagi kehormatan HMI, sebaliknya, bila isu itu ternyata benar, artinya
HMI betul-betul karam. Penggunaan kata Islam pada belakang akronim HMI seperti
main-main saja. Atau memang HMI sudah
lama bermain-main dengan kata-kata Islam.
Kembali kesejarah. Pada
tanggal 5 Februari 1947, Lafran Pane, mahasiwa STI Yogyakarta mendirikan
organisasi ini dengan cita –cita begitu mulia. Sederhana sekali alasannya, pertama, untuk mempertahankan Negara
Republik Indonesia dan
mempertinggi derajat rakyat Indonesia.
Sebab penjajah Belanda pada tahun itu masih belum mau hengkang dari Indonesia.
Bahkan Belanda, bernafsu kembali menduduki bangsa ini. Dapat diinterpretasikan,
HMI kalau tetap setia terhadap khittahnya akan melahirkan
cendekiwan-cendekiawan nasionalis. Kedua,
untuk menegak dan mengembangkan ajaran Islam. Sebab, realita kehidupan pemuda
Islam sedang terserang virus TBC
(Takhyul, Bid’ah dan Churafat). Kehadiran HMI membawa angin segar ketika
mahasiswa Islam terbaratkan oleh gaya hidup yang tidak
sesuai dengan ajaran agama, seperti anggapan tidak modern kalau tidak bisa
berdansa.
Namun kini, seolah-olah HMI
telah menanggalkan khittah yang
sebenarnya itu. Perjuangan HMI yang untuk umat dan untuk bangsa nyaris tidak
berasa, ide-ide HMI tidak lagi menjadi referensi banyak pihak. Benar sekali apa
yang dikatakan oleh banyak orang, “HMI tenggelam dalam sejarah, jaya dalam
cerita”. Karena HMI hanya tinggal nama dan perjuangan masa lalu yang berhasil
melahirkan orang-orang berpikiran bernas.
Dari semula HMI didirikan,
tidak berafiliasi terhadap politik dan kekuasaan, sekarang seolah-olah HMI
tervirusi. Bagaimana lagi mengurus umat dan bangsa jika persoalan intern tak
kunjung sudah. Bukankah dalam ajaran agama, dimulai dari diri, dan keluarga? kuu anfusikum waahlikumnara!
Mayonal Putra,
ketua HMI Cabang Padang periode 2010-2011
ketua HMI Cabang Padang periode 2010-2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Berikan Komentar Anda, tanpa ada unsur fitnah, dan menyinggung SARA!