Label

Selasa, 07 Februari 2012

HMI (Pikun) Di Usia 65




(tulisan ini hanya bermuatan opini, barangkali suatu yang renyah saja untuk dipolemikkan dalam khasanah HMI)

 “Lafran Pane mendirikan HMI untuk kepentingan besar kebangsaan, bukan kepentingan sempit kekuasaan, untuk inovasi pemikiran dan karya tiada henti dan bukan stagnasi kreatifitas dan program kerja, untuk keseimbangan ajaran Islam, bukan kesenjangan antara pemikiran dan perbuatan,” (Bima Arya Sugiharto)

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada usia 65 tahun (Februari 1947-Februari 2012) semakin menunjukkan kepikunanya. Sungguh ironis bila mencermati persoalan internal pada Pengurus Besar  di Jakarta, dan itu menjadi sorotan banyak pihak, terutama bagi kader di seluruh Indonesia. 65 tahun, tepat pada hari ini, bukanlah usia yang kanak-kanak lagi. Sejatinya, HMI harus sudah matang sebagai lembaga yang memperjuangkan nlilai-nilai keummatan dan kebangsaan. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Lebih mengesankan HMI pada usia kepikunan, di mana tak ada lagi akal sehat, hati nurani dan nilai-nilai moral yang patut dibanggakan. Jangan lagi disebut karya, konsepsi berpikir yang selaras antara rasio-ilmiah dengan potensi supranatural, masalah mental saja belumlah selesai. Tidak salah jika cibiran dan sindiran seperti itu dihadiahkan kepada HMI pada dies natalis ke-65 ini. 

Sederetan isu internal yang memalukan semasa kepemimpinan Noer Fajriensyah (Ketum PB 2010-2012), benar-benar membuat HMI karam. Katakan, adanya mosi tidak percaya dari beberapa staf ketua terhadap kepemimpinan Noer Fajriensyah sebagai ketua umum PB, sebagaimana yang dilansir oleh  news.okezone.com (27/1). Hal ini juga diterangkan  pada situs resmi Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LAPMI) PB HMI,  Independensia.com, setidaknya 35 orang pengurus mundur dari kursi PB, di antaranya tujuh (7) orang staf ketua. Mosi tidak percaya ini mulai diserukan dalam sidang pleno II PB HMI di Kepulauan Seribu (24/1) dengan berbagai alasan.  Di antaranya,  sidang pleno II berjalan ricuh disebabkan aspirasi sebagian peserta ditutup secara paksa bahkan nyaris terjadi pemukulan. Meski sebelumnya, alasan-alasan yang menguatkan sudah mengapung dipermukaan. Seperti dilansir Independensia.com yang dijelaskan oleh Ketua Bidang  PTKP PB HMI, Dwi Julian, di depan puluhan pengurus dan kader di Jakarta (27/1). Dwi Julian mengatakan, beberapa khittah perjuangan telah menjauh dari kepengurusan Noer Fajrieansyah. Untuk itu pihaknya menyatakan mosi tidak percaya terhadap kepemimpinan  Noer Fajriansyah sebagai ketua umum PB HMI dan mendesaknya untuk segera mengundurkan diri.  

Sebagaimana dijelaskan Dwi Julian, dia merinci beberapa alasannya berdasarkan kesalahan Noer Fajrieansyah setelah satu tahun kepengurusan ( terpilih sejak November 2010 lalu) . Di antaranya, pengelolaan organisasi yang melanggar aturan-aturan konstitusi organisasi, dilanggarnya nilai independensi etis dan organisasitoris yang merupakan salah satu landasan organisasi HMI. Keberpihakan terhadap perkaderan yang semakin jauh dari aturan dan cenderung diabaikan. Anehnya, PB tidak mengambil sikap terhadap oknum pengurus yang melakukan tindak kekerasan terhadap Master of Training Badan Pengelola Latihan Kader III di Depok, 25 Desember 2011 lalu. 

Selain itu kepemimpinan Noer Fajriensyah dalam  pengelolaan anggaran keuangan, jauh dari nilai-nilai transparansi dan akuntabilitas, sehingga menimbulkan banyak spekulasi. Serta kunjungan ke Vatikan tanpa melalui agenda yang jelas, dan  prosedur organisasi dan ternyata melukai hati umat dan kader (Republika (28/1))

“Sudahlah jatuh tertimpa tangga pula”. Kalimat itu sekarang yang ditanggung HMI. Mosi tidak percaya oleh beberapa staf ketua di pengurus besar—yang merupakan representasi dari kader HMI seluruh Indonesia—bisa jadi berpengaruh terhadap simpatisan pada organisasi yang didirikan Lafran Pane ini. Kenapa tidak, ketika Noer Fajriensyah ditinggalkan oleh 35 orang terbaiknya, beredar pula isu asusila dan perbuatan amoral sang Ketua Umum yang melibatkan kader Korp HMI-wati PB HMI. Jutaan kader HMI se-tanah air dibuat geger olehnya. Terlepas dari benar atau pun tidak, yang jelas isu tersebut telah membunuh HMI, arang sudah tercoreng di dahi. 

Hal tersebut ditulis pula oleh Vera Lope pada label berita di kompasiana.com (26/1) dengan judul; Ketum PB HMI Menzinahi Kader Kohati. Nauzubillahiminzalik! Puluhan tanggapanpun menghujani pada kolom komentar. Atas permintaan beberapa orang pengurus Kohati PB, akhirnya tulisan itu dihapus. Dua hari setelah tulisan itu dihapus, Vera Lope menulis lagi di situs yang sama dengan judul, “Menulis ‘Ketum PB HMI menzinahi kader kohati’ Ditegur Teman (28/1). HMI, terasa sungguh karam. Ada apa sebetulnya?
Apa karena HMI telah menjadi organisasi super borjuis? Lihat saja, ketika kongres misalnya, ratusan mobil mewah memadati arena. Puluhan hotel menjadi base camp para kandidat. Serta, uang berputar di arena kongres tidak kurang dari hitungan Miliaran rupiah.

HMI telah berafiliasi politis. Barangkali isu dan berbagai pelanggaran aturan organisasi, sebagaimana yang dikemukakan di atas, belum tentu benar. Pasalnya, bisa jadi itu bagian dari strategi lawan politik untuk membunuh sang ketua umum dan antek-anteknya. Pertanyaan berikutnya, kenapa harus sekasar itu? Terlepas dari benar atau tidak, keduanya sama-sama memberikan kontribusi untuk kehancuran HMI. Sehingga banyak kalangan yang tak segan-segan mengatakan, “saatnya HMI dibubarkan”. 

Sebetulnya, ini sejarah yang berulang. DN. Aidit, pemimpin PKI pernah mengatakan “bubarkan HMI” di hadapan ribuan kader Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) pada kongres organisasi mahasiswa bawahan PKI tersebut. Kemudian, Mantan ketua umum PB HMI, Nurcholis Madjid, juga pernah mengatakan bubarkan HMI. Akan tetapi, DN. Aidit sebagai seorang PKI sangat berbeda konteks dengan Nurcholis Madjid disaat mengatakan “bubarkan HMI”. DN Aidit, hanya persoalan kekuasaan, karena HMI jelas-jelas menentang PKI, karena HMI dianggap rival yang hebat untuk menghentikan gerakan PKI ketika itu. Sedangkan Nurcholis Madjid berbicara dalam konteks internal karena HMI dalam pandangannya sudah melenceng dari khittah perjuangan. Karena alasan money politik dalam kongres HMI. Begitupun alasannya hari ini. Isu “bubarkan HMI” tidak lain dan tidak bukan karena melemahnya moral spiritual, melencengnya gerakan dari khittah perjuangan, yang sesungguhnya mencoreng marwah HMI itu sendiri.

Bagi kader, tentu isu yang menyerang segenap moralitas sang ketua umum harus ditimbang-timbang sebelum melahirkan sikap. Andai, isu semacam yang ditulis Vera Lope itu tidak benar, murni pembunuhan karakter karena konstalasi politik internal, tentu akan sangat berbahaya bagi kehormatan HMI, sebaliknya, bila isu itu ternyata benar, artinya HMI betul-betul karam. Penggunaan kata Islam pada belakang akronim HMI seperti main-main saja.  Atau memang HMI sudah lama bermain-main dengan kata-kata Islam.

Kembali kesejarah. Pada tanggal 5 Februari 1947, Lafran Pane, mahasiwa STI Yogyakarta mendirikan organisasi ini dengan cita –cita begitu mulia. Sederhana sekali alasannya, pertama, untuk mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia. Sebab penjajah Belanda pada tahun itu masih belum mau hengkang dari Indonesia. Bahkan Belanda, bernafsu kembali menduduki bangsa ini. Dapat diinterpretasikan, HMI kalau tetap setia terhadap khittahnya akan melahirkan cendekiwan-cendekiawan nasionalis. Kedua, untuk menegak dan mengembangkan ajaran Islam. Sebab, realita kehidupan pemuda Islam   sedang terserang virus TBC (Takhyul, Bid’ah dan Churafat). Kehadiran HMI membawa angin segar ketika mahasiswa Islam terbaratkan oleh gaya hidup yang tidak sesuai dengan ajaran agama, seperti anggapan tidak modern kalau tidak bisa berdansa. 

Namun kini, seolah-olah HMI telah menanggalkan khittah yang sebenarnya itu. Perjuangan HMI yang untuk umat dan untuk bangsa nyaris tidak berasa, ide-ide HMI tidak lagi menjadi referensi banyak pihak. Benar sekali apa yang dikatakan oleh banyak orang, “HMI tenggelam dalam sejarah, jaya dalam cerita”. Karena HMI hanya tinggal nama dan perjuangan masa lalu yang berhasil melahirkan orang-orang berpikiran bernas. 

Dari semula HMI didirikan, tidak berafiliasi terhadap politik dan kekuasaan, sekarang seolah-olah HMI tervirusi. Bagaimana lagi mengurus umat dan bangsa jika persoalan intern tak kunjung sudah. Bukankah dalam ajaran agama, dimulai dari diri,  dan keluarga? kuu anfusikum waahlikumnara! 


Mayonal Putra,
ketua HMI Cabang Padang periode 2010-2011


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Berikan Komentar Anda, tanpa ada unsur fitnah, dan menyinggung SARA!