“Pakailah! lentik jari manismu akan semakin cantik. Aku turut
berbahagia atas kado itu,” kataku padanya. Matanya tetap saja merah,
pipinya basah, sesekali mendengus karena menahan sedu dan isak.
Rambutnya kusut, sudah seharian bermuram durja. Wajahnya pucat pasi,
sesuap nasi belum tertelan dari pagi.
Aku jadi bertanya-tanya dalam hati. Kenapa Sirah begitu sedih? Jauh-jauh
Sekar datang dari kota Bertuah sana, cuma mengantarkan selingkar
cincin, tanda perikatan hubungan yang enam bulan lagi akan dilangsungkan
kepelaminan. Ya, hanya sebagai tanda, kalau Sirah sudah tak boleh lagi
menjalin hubungan dan berpandang-pandangan dengan lelaki lain. Bagi
Sirah; jodoh sudah di depan pintu.
Bukankah sedetik sebelum pernikahan, setiap gadis masih “milik bersama”? Akh….
***
Langit
gelap, akar-akar kilat bergelayut di angkasa, petir menyambar-nyambar.
Sore yang seram itu, nyaris tak seorangpun berani keluar rumah di Pasar
Senin Agam. Kecuali Sirah, dia tersandar di dinding bambu belakang
rumah. Selendang Bali, hadiah dari saudari kembarnya setahun lalu,
melingkar di lehernya. Aku tidak sanggup melihatnya melawan dingin,
sendiri pula. Sebagai seorang sahabat dari kecil— rumah kami memang
berdekatan—tentu saja aku tidak bisa membiarkan dia berselimut sepi.
Pemandangan itu memaksa persendianku bergegas.
Kenakan
mantel milik bapak, tak lupa pakai sebo, penutup kepala anti dingin
udara, dan menyeret payung milik ibu yang bersandar di balik pintu
rumah. Aku berjalan terhuyung-huyung di bawah hujan dan petir yang
menggelegar. Jalan tanah sudah becek parah. Jalan-jalan di kampung kami
memang begitu dari dulu, tidak pernah dikecap aspal, apalagi beton. Bila
hujan lebat begini, lumpur bisa setinggi lutut kami.
Aku menghampiri Sirah, ikut duduk di sampingnya, menyandar di dinding
yang sama. Angin kian kencang, seakan merobohkan pertahanan tubuhku.
Sirah, sedikitpun tak gemetar oleh hujan.
“Ah, hanya
hujan lebat. Hadapi dengan gagah berani,” katanya memecah sepi. “Tahukah
kau, gadis yang sudah memakai cincin di jari manisnya adalah gadis yang
sudah terikat. Perikatan itu harus dipatuhi, kalau tidak, perikatan itu
akan mengutukku seumur hidup, aib besar dalam keluarga, cela dari orang
banyak.
Untuk itu, aku harus menyibukkan diri untuk belajar menjadi istri yang
baik dalam menjalani rumah tangga. Setidaknya, persiapan agar suami
betah, agar besan tidak menilai jelek, serta perdalam pengetahuan adat.
Kau
kan tahu juga, di adat kita Minangkabau ini, perempuan harus bijak,
patuh tinggal di rumah, mendidik anak-anak. Sedangkan lelaki mencari
nafkah dirantau orang nun jauh entah di mana. Jika memang apa yang tak
kuhendaki ini terjadi, si pemberi cincin ini jadi menjadi jodohku ,
tentu aku bernasib “menunggu”. Supaya tidak cela rumah tangga, anak
keturunan jadi cerdik pandai, perempuan penunggu harus banyak belajar,
menjadi limpapeh Rumah Gadang jauh-jauh sebelum akad
dilangsungkan.”kata-katanya mengalir bak air bah mengamuk.
“Apa
maksudmu? Kenapa kau tiba-tiba bermuram durja seperti ini? Bukankah kau
telah lama menjalin hubungan dengan Sekar? Bukankah sudah dua tahun
pula lamanya? Bukankah Mak mu dan mamanya telah sama-sama menyetujui?
Pemberian cincin, bukankah suatu kemajuan dalam hubungan percintaan,
pertanda keseriusan keluarga Sekar yang akan berbesanan dengan keluarga
mu? Dan kau, sudah cukup tahu pula, apa yang akan kau lakukan sebelum
akad. Bukankah…?”
“Tidak ada sesuatu yang membuat cinta
ku jatuh padanya,” dia memotong. “Hanya saja, dua tahun lalu, pada
pesta perkawinan sepupunya, aku dikenalkan Mak. Sejak itu, dia mulai
tertarik padaku. Aku kira, ketertarikan itu, hanya ketertarikan
biasa-biasa saja. Seperti diriku, tertarik atas kebaikan keluarganya,
keluhuran budinya, kematangan pekerjaannya, kedewasaan dan kepatuhannya
dalam menjalankan kehidupan sesuai adat istiadat. Dia hanya lelaki yang
menjalankan hidup sebagaimana adanya. Tidak lebih dari rutinitas
seorang pekerja diperusahaan dengan upah yang sangat memadai. Hidupnya
jauh dari kehidupan seorang penyair sunyi semacam aku. Ketertarikan ku,
lebih kepada dekatnya persahabatan Mak dengan mamanya. Sama sekali,
ketertarikan itu tidak bersenyawa kearah cinta picisan semacam yang kau
pahami. Sedang laki-laki yang ku harapkan sebelumnya, sedikitpun tidak
memberi tanda-tanda.
Selanjutnya, Mago, hubungan kami berjalan sebagaimana adanya.
Sebagaimana persahabatan baru dua orang manusia dimulai. Berjalan
sewajarnya persahabatan, sebagai warisan sahabat Mak dan mamanya, hingga
dua tahun pula lamanya. Dalam pada itu, ternyata Mak dan mamanya, punya
rencana yang sama sekali tidak kuduga. Kiranya hubungan kami akan
dilangsungkan pada ikatan suami istri. Pun sudah menjadi kesepakatan Mak
dan mamanya.
Mago, sungguh aku tahu, pertunangan
sangatlah mengikat. Apabila seorang perempuan sudah di pinang oleh
laki-laki—sebagaimana kebiasaan orang kita, bertukar cincin—maka sudah
haram kalau perempuan itu menikah dengan yang lain. Kecuali, pinangan
dibatalkan, dan pihak perempuan membayar denda dua kali lipat biaya
pinangan yang ditanggung pihak lelaki.
Cincin yang terpaksa ku pakai ini membuat hatiku lebih bergemuruh,
berdentang-dentang. Detak jantungku jauh lebih menakutkan dari bunyi
petir dan akar-akar kilat yang bergelantungan di langit yang gelap itu.
Kadang-kadang terasa disayat-sayat, ngilu.” Kata-katanya terus
berhamburan dari bibir yang pucat, namun matanya tetap tajam menatap
kedepan, tanpa menatap wajahku sedikitpun.
“Sirah, aku
belum paham benar apa yang membuat kau dicabik-cabik seperti ini? Apa
Sekar memang meminangmu, dan pemberian cicncin itu adalah tanda
pinangannya?
“Aku tidak menganggap ini pinangan menurut
agama. Kami tidak pernah bertunangan semacam yang kau anggap. Sekar
memberikan cicncin ini kepadaku dalam bentuk kado yang disaksikan Mak
dan mamanya. Sudah itu, dia dan mamanya berlalu pulang ke kota. Meski
hanya demikian, Mak menganggap ini adalah keseriusan yang tak boleh
ditolak.
“Sirah, cincin itu adalah simbol pada janji setia sebelum pernikahan.
Dan cincin itu sudah menjadi cincin pertunangan kalian. Sekarang, kau
telah berada dalam pinangan orang,” begitu kata Mak berulang-ulang.
Hatiku ngilu, seperti tersangkut pada sembilu.
“Mago,”
katanya. “Menurut agama yang ku pahami, tidak akan berdosa bila
melangar janji setia yang Mak maksud itu. Sebabnya, aku tidak berada
dalam pinangan Sekar. Barangkali, Sekar mencintaiku, tapi sama sekali
aku tidak paham tentang itu. Tidak, aku hanya diberi hadiah, itu saja.
Tapi, aku merasa sangat berdosa kepada Mak, bila menolak ini. Mak sangat
harap Mago, karena bagi Mak, menjaga hubungan baik dengan keluarga
Sekar yang sudah terjalin sejak nenek-datuk kami, amatlah penting,
amatlah beharga. Ikatan kedekatan keluarga kami, bukan dalam soal bisnis
dan usaha perdagangan, namun hubungan manusiawi yang terjalin sejak
dahulu.
Demi kelangsungan hubungan baik, Mak dan
mamanya, memang menganggap kami telah saling mencintai, sehingga rencana
perjodohanku dengan Sekar menjadi rencana penting bagi kedua belah
pihak. Bila aku menolak, Mak akan dikatakan berkhianat atas janji setia.
Aku tak ingin demikian, sunguh.
Sementara, pertunangan merupakan masa peralihan antara lamaran dengan
pernikahan. Ini bukanlah budaya dan adat istiadat kita, Mago.
Pertunangan berawal dari bangsa Romawi, ribuan tahun silam. Akupun tidak
paham, kenapa Mak merasakan pemberian cincin itu sudah tunangan, dan
aku sudah berada dalam perikatan sebuah pinangan. Pangkal persoalan ini,
dalam adat dan budaya kita, sungguh tidak ku pahami. Secara umum,
memang dalam pertunangan terdapat tradisi saling memberikan hadiah.
Tradisi pertunangan pun berbeda, di India Barat misalnya, pasangan itu
saling tukar Anak Angsa, sementara wanita Tiongkok pada awal abad ke-20
dituntut memberikan hadiah yang pas bagi calon suaminya dalam waktu
seminggu setelah pertunangan, kalau tidak mau, pernikahannya kandas.
Sementara di adat kita, tidak terdapat kata-kata tunangan, kecuali
meminang. Sedangkan Sekar, sama sekali tidak meminangku, Mago”.
Aku mengangguk saja, mendengar penjelasan Sirah yang kian dalam saja.
“Kemudian,
pertunangan yang panjang pernah menjadi umum dalam tetek bengek
pernikahan yang resmi, namun tidak umum bagi orang tua mempertunangkan
anaknya hingga beberapa tahun sebelum pasangan yang bertunangan itu
cukup umur untuk menikah. Selanjutnya, tidak umum bagi orang tua
mempertunangkan anaknya tanpa persetujuan dan cinta”.
Bibir
Sirah yang kaku terus saja bergerak, dia tak berhenti berkata. Kali
ini, matanya semakin melotot, tangannya mulai bergerak, sementara hujan
semakin deras saja. Kami hanya terlindung oleh sedikit atap dapur yang
menjorok keluar.
Saya terhenyak ketika dia bilang;
“Mago, jemputlah kapak kerumah mu sebentar, aku ingin mencincang kisah
ini. Jika kau punya sebilah belati, pinjamlah aku dulu, untuk mengubak
hati yang kian terkelupas ini. Sejak sebulan lalu, ku rangkai kata demi
kata, ku jadikan bait-bait dalam sajak. Namun, tak pernah runcing
menusuk hati Mak,” tangisnya pecah, isak dan sedunya menjadi-jadi. Dia
telah karam dalam gelombang cinta, aku genggam tangannya, darahnya
serasa membeku.
“Mago,” serak suaranya menyebut namaku.
“Menolak keinginan Mak, pantangan benar bagiku sejak kecil. Aku tak
sanggup jika tidak memenuhi apa yang diinginkan Mak. Kau tahu bukan?
Keluargaku hanya keluarga yang hidup pas-pasan. Mak rela melakukan
pekerjaan sekasar apapun demi kami anak-anaknya. Mak selalu penuhi
kehendak kami. Tidak sedikitpun Mak menolak apa yang ku inginkan sejak
kecil hingga sekarang. Sekarang, Mak sudah cukup ringkih untuk
membanting tulang. Perjuangan Mak telah mengantarkanku jadi seorang
sarjana, seorang perempuan terpelajar di kampung ini. Mak selalu
memberikan hal-hal yang layak bagi ku. Sebagai seorang ibu yang
bijaksana, tentu saja Mak memikirkan, agar masa depan ku, pun ditopang
oleh kehidupan yang layak, tidak melarat, dan tidak menanggung gelisah
karena kebutuhan hidup. Sederhananya, Mak menginginkan agar aku selalu
menang dalam setiap perkelahian dalam kehidupan ini. Sekarang, patutkah
aku menolak permintaan Mak? Tidak Mago, tidak!
Mago,
maukah kau mendengar cerita ku?” katanya seraya mengulum nasib.
“Setahun lalu, sudah dalam berhubungan juga dengan Sekar, tiba-tiba
sebait puisi hadir dalam layar Ponsel ku, dari nomor yang tak ku kenal.
Tapi, dari gaya dan karakter kalimat-kalimatnya, aku menduga-duga, puisi
siapa pula yang telah sesat ke layar ponselku itu. Hatiku serasa
ditikam oleh kalimat-kalimatnya, runcing benar. Sampai sekarang, puisi
itu masih ku simpan, bahkan ku ketik ulang, lalu ku pajang di dinding
kamar. Agar setiap kali menjelang tidur , aku bisa membaca bait runcing
yang sederhana itu. Setidaknya runcing menusuk hati ku seorang.”
“Perempuan/
dalam hati ini/
terhampar gurun yang tandus/
dan, tak kutemukan sedikit cinta/ di sini
jika benar ditakdirkan/ kelak aku jadi pasir/
kuharap kau menanam kaktus di punggungku
agar tumbuh sedikit cinta/
sedikit hidup bagi musafir lalu,”
Begitu saja bunyi
puisi itu. Hingga Sembilan bulan lamanya, aku mencari siapa yang
mengarangnya? Asal kau tahu, penyair itu baru tiga bulan belakangan
menemui ku. Persis dan tepat sekali, dialah dugaanku, lelaki yang ku
kenal sejak empat tahun lalu, dia pun begitu. Namun, kami tak pernah
saling berani untuk membagi rasa kearah cinta. Sampai sekarang, senyawa
cinta kami belum bertemu, sedang hati kami saling berpadu. Aku yakin
betul, Mago. Pasalnya, dia selalu hadir menjenguk ku, mengguncang hati
ku, bahkan dialah yang pertama membuat ku begitu tertusuk. Rasanya Mago,
hati ini jatuh.
Mago, bukan nasib yang membuat ku
bermuram durja begini. Tapi, kebodohanku melawan penjara cinta atas nama
adat dan sopan santun. Sungguh aku perempuan yang lemah, sedikitpun
tidak mampu melawan adat dan sopan santun yang sejak lama dianut
keluarga. Tahukah kau, lelaki yang membuatku berlayar dalam setiap bait
sajaknya, adalah lelaki merdeka yang tak bisa terbelenggu oleh tetek
bengek intelektual manapun, partai politik manapun, konsepsi kebudayaan
manapun, kecuali pada tambatan Tuhan.
Alangkah
merdekanya dia, sajaknya mampu menembus pandang setiap lekukan kotornya
sistem negara, adat istiadat, kebudayaan dan bahkan berkesenian.
“Jiwa-jiwa pemberontaknya, Kahlil Gibran, telah tumbuh secara alamiah
dalam hidupnya. Hanya saja, ketokohan Wardah Hani, perempuan pejuang,
tak mengalir dalam darah ku. Entah sudah berapa kali ku tamatkan buku
itu. Apa jadinya, sebuah karya besar dari pengarang berkelas dunia,
tidak menjadi konsepsi yang mengalir dalam diri ku? Sungguh Mago, aku
merasa menjadi perempuan paling lemah.
Mago, di mataku, dia sederhana tapi sempurna. Perempuan mana yang tidak
tertarik dengan konsepsi hidup dan pemikirannya? Kau tahu? Aku ini
penyair sunyi, penyair yang jauh dari gaya hidup abad ini, sehingga
penjajal kue di pasar ini menganggap aku perempuan aneh, perempuan yang
mengherankan.
Sejak lelaki itu tahu, keluarga Sekar tiba-tiba datang memberikan
cicncin ini kepada ku. Aku merasa telah di koyak-koyak. Bayangan
kehidupan masa depan yang penuh bait-bait puisi seperti telah
meninggalkanku, jauh. Sungguh aku tak bisa memberontak kepada Mak. Aku
hanya memberontak dalam diri sendiri. Waktu kian tajam menghujam kasih
ku dengan lelaki yang dari dulu ku dambakan itu.
Mago,
mungkin menurutmu, urusan pertunangan adalah hal biasa, cincin pertanda
keterikatan adalah adat istiadat saja. Jenguklah nurani mu barang
sejenak untukku Mago, rasakanlah betapa tidak adilnya adat-istiadat
kepada ku. Tidak berpihaknya “sopan santun” yang kujalani sejak lama.
Sementara, aku masih ingin menjadi perempuan terhormat di sisinya, bukan
di sisi Sekar dan keluarganya yang kaya melimpah-limpah itu. Karena
bagi ku, sebait puisi mampu menembus-pandang ribuan tahun kedepan
adalah harta yang tak ternilai harganya.”
Aku merinding
mendengarkan setiap ucapan Sirah. Setiap perkataannya mengesankan
pemberontakan. Aku merasakan kengiluan seorang gadis yang jatuh cinta
pada bait sajak lelaki merdeka. Dia kuyup, namun matanya tetap tajam
mengulum kejamnya hidup yang dia rasakan. Hanya cincin. Dia cabik-cabik
oleh cinta.
Senja kian membenam, gemuruh dan petir
silang berkabar di angkasa. Hujan semakin lebat saja. Sirah, masih
terpaku menatap waktu. Enam bulan, tidaklah waktu yang panjang. Sebentar
lagi dirinya akan bersanding dipelaminan demi marwah keluarga.
***