Label

Minggu, 22 Januari 2012

Kisi-kisi saya saja


Mayonal Putra, lahir di Jopang, Payakumbuh, tanggal tiga puluh satu mei seribu sembilan ratus delapan puluh enam. 


Ayah dan ibu adalah petani di kampuang.. 







Sabtu, 21 Januari 2012

Tradisi Buka Bersama Antar Mahasiswa Di Sekre HMI Komisariat Tarbiyah



“Puasa Tua”, pasti setiap orang menginginkan berada di kampung bersama keluarga masing-masing. Begitupun setiap mahasiswa yang nge kos di Padang, juga menginginkan bisa berada di rumah bersama orang tua pada “puasa tua” itu. Paling tidak berkumpul bersama keluarga dapat mempererat kembali tali silaturrahmi.

Padang, yang lekat dengan kota pendidikan—karena diukur oleh banyaknya fasilitas pendidikan yang tersedia—tentu ditandai oleh banyaknya pelajar/mahasiswa yang tinggal. Meski dalam tulisan ini, tidak menyebutkan data pasti berapa jumlah mahasiswa yang berasal dari non kota Padang, namun cukup mengirakan jumlah itu sudah cukup besar.

Adalah hal yang wajar, ketika puasa tua (puasa pada minggu pertama Ramadhan) mahasiswa lebih memiilih pulang kampung. Dengan tujuan agar bisa berbuka dengan keluarga di rumah. Tidak pula dapat dipungkiri, ada sebagian mahasiswa tidak dapat pulang kampung saat “puasa tua” karena diikat oleh procedural-prosedural akademik.

Namun, bagi sejumlah mahasiswa di kawasan Anduring yang tidak dapat pulang kampung membuat tradisi yang sulit ditemui di tempat lain. Tepatnya di sekre HMI komisariat Tarbiyah, IAIN Imam Bonjol Padang, yang berada di jalan Mahmud yunus 12 kelurahan Anduring. Setiap sore terlihat aktivitas sebagaimana layaknya sebuah keluarga.

Meraka yang tidak dapat pulang kampung dengan alasan ikatan akademik atau yang bertugas mengelola pesantren ramadhan sengaja menggelar masak untuk hidangan berbuka. Masakan yang dipilih oleh sekelompok mahasiswa ini juga masakan tradisional orang minang. Ternyata, HMI Komisariat Tarbiyah selalu mengakomodasi mahasiswa yang tidak dapat pulang kampong dari tahun-ke tahun.

Hebatnya lagi, sejumlah mahasiswa yang menggelar aksi kekeluargaan itu bukan dari satu kampus saja. Paling tidak, mereka terdiri dari mahasiswa IAIN IB, Unand, UPI YPTK serta beberapa orang eks mahasiswa. sebagian besar mereka tersebut memang sengaja tidak pulang kampong karena kebiasaan buka bersama ala sebuah keluarga dengan rekan-rekannya itu sudah menjadi pilihan tersendiri.

Datanglah sesekali ke Sekre HMI itu. Anda akan melihat kesibukan pada sore hari. Sejumlah anak laki-laki itu memasak berbagai makanan kesukaannya. Mulai dari “pabukoan” atau semacam makanan untuk berbuka sebelum makan malam, sampai masak sambal atau gulai yang tidak kalah sensasi dari masakan ibu-ibu rumah tangga.

Bahan masakan ini dibeli atas sumbangan dari masing-masing orang yang dating pada sore itu. Karena pada siangnya, amsing-masingnya juga mempunyai tugas tersendiri. Hal ini, tidak bagi mahasiswa atau pemuda yang berasal dari organisasi HMI saja. Ya, sama sekali tidak ada hal yang rasis. Berbeda kampus, berbeda organisasi apalagi berbeda kampong, bagi mereka sama saja. Yang penting, mereka bagaikan sebuah keluarga di mana ada orang tua dan ada anak-anak.
Dikatakan sekretaris HMI Komisariat tarbiyah, Dino Candra bahwa kegiatan ini tidak diprogramkan sedemikian rupa. Akan tetapi ada proses kultural yang saling mengikat persaudaraan, terjadi dengan sendirinya saja.

“Hal ini bukanlah aksi narsis-narsisan. Masak bersama, buka bersama dan sahur bersama bisa menghemat biaya. Selain itu, kami juga bertekad untuk selalu belajar masak-memasak,” tukas Dino.

Selanjutnya, kegiatan ini juga tidak hanya sekedar masak dan makan. Sholat magrib berjamaah, dengan imam bergantian antar orang yang hadir, juga selalu dilakukan. Kemudian, di ruang 8x4 m itu juga digelar diskusi-diskusi penting untuk menambah wawasan. Mulai dari kajian agama, sosial serta membahas isu-isu hangat, baik di kampus masing-masing, ataupun isu-isu di negara ini.

Pada puasa pertama, Senin (1/8) mereka hadirkan hidangan Goreng maco bulat dan jengkol tua, sedangkan untuk minuman, mereka sediakan teh cincau dingin. Masakan ini diracik secara bersama-sama. Menu setiap harinya selalu berubah-ubah. Pada puasa kedua, mereka membuat gulai pucuak ubi, udang sayiah, kentang dan telor. Sensasi masakan tradisional ini benar-benar luar biasa, yang dikerjakan oleh sekelompok mahasiswa tersebut.

Rigo, salah seorang mahasiswa sejarah Fakultas tarbiyah IAIN IB semester dua, mengaku bahwa kegiatan ini benar-benar bermanfaat. Menurutnya, ada banyak pergaulan yang didapat. Selain itu, juga mendapatkan wawasan pengetahuan, keilmuan serta sedikit pengetahuan masak-memasak.

“Saya merasa beruntung, Ramadhan kali ini dapat berbaur dengan orang-orang yang berasal dari berbagai kampus dan organisasi,” ujarnya.

Sedangkan Fuad Nari, yang bekerja di Primagama quantum kids juga selalu hadir setiap kali sebelum berbuka. Dia juga mengakui, bahwa aksi ini jarang ditemui ditempat lain. Walaupun kegiatan hanya dilakukan sekelompok orang, namun orang yang hadir tidak selalu itu ke itu saja. Fuad nari juga mengharapkan, agar kelompok-kelompok mahasiswa lain juga bisa mencontoh kegiatan yang selalu diakomodasi oleh HMI Komisariat tarbiyah IAIN. Soalnya, kegiatan ini sangat efektif bagi mahasiswa untuk menghemat biaya. Selain itu, kelompok ini juga selalu membahas hal hal penting yang wajib dikaji mahasiswa sebagai agent of change.

“jadi, mahasiswa itu bukan harus demonstrasi saja. Meningkatkan kreatifitas adalah hal yang wajib,” katanya.

Ronal, sebagai ketua mum HMI komisariat UPI YPTK juga merasakan sensasi buka bersama di sekre HMI komisariat tarbiyah sama halnya dengan buka di rumah sendiri. Menurutnya, kegiatan yang dibarengi dengan pembahasan yang menyegarkan, juga tidak ketinggalan anak-anak yang tergabung juga digiring supaya bisa menulis apa yang minati. Siapa saja yang membawa karya tulisnya, akan dibahas secara berama-sama. (Harian Singgalang/mayonal puerta)

Laut Sebotol Fanta Merah


di bibir laut yang kau sebut pantai,
ada riak menggetarkan jantung, menghenyak ubun –ubun, dalam igau, pada jingga di ujung laut petang hari:

Kepantailah,
ada riak menepis sejumput ciuman di bibir pasir,

kepantailah,
aku tungggu cinta dalam selaksa rona merah,
di laut yang sebotol fanta merah,

;kepantai lah, kita jaga laut, agar gelombang adalah arisan makna,

kepantailah,
melepuhkan segala hasrat dalam cinta

kita taklukkan pinggang bukit,
kita bersenandung desah, pada bibir yang basah,


aku kepantai,
menjemput seribu patahan bangkai yang melepuh,
menjemput yang hanyut bersama sebotol fanta merah,
menjemput sisa-sisa ciumanmu yang tercecer di bawah atap rumbia,
menjajaki anyir lendir yang menyeruak,

aku ke pantai, kepantai lah, ke pantai

Padang, 2011

Jumat, 20 Januari 2012

MAHASISWA SEBAGAI KEKUATAN PEMBAHARU



Saya tertarik dengan tulisan JE.Syawaldi Ch yang berjudul “Mahasiswa, antara kritis dan anarkis” yang di muat oleh Singgalang dalam edisi Minggu (27/6). Dalam tulisan itu sepertinya JE.Syawaldi ingin mengkritisi pola laku, tingkah serta sikap mahasiswa kebanyakan. Sepertinya JE.Syawaldi dalam alinea ke -4 pada tulisannya tersebut menjadikan dirinya sebagai representasi masyarakat yang sudah bosan dan jeli terhadap tindakan mahasiswa yang sering melakukan aksi demo lalu mempertanyakan bentuk aksi itu apakah kritis atau anarkis? Tergambar mahasiswa merupakan musuh—dari sebuah kedamaian bangsa—dalam tulisan itu, yang hanya menampilkan kekerasan sehingga JE.Syawaldi mengkhawatirkan masa depan bangsa jika mahasiswa seperti hari ini suatu saat menjadi tampuk pimpinan pemerintahan untuk generasi berikutnya.

Wajar saja jika ada elemen masyarakat berpikir seperti JE.Syawaldi, yang mesti dicari jawaban yang tepat, sehingga mahasiswa tidak lagi menjadi musuh dalam masyarakat. Menurut saya, sudah selayaknya kita melakukan reorientasi serta rekonstruksi terhadap karakter yang berkembang hari ini serta mengkaji ulang hakikat, fungsi, serta peran mahasiswa di tengah masyarakat bangsa. Jika kita tilik arti sederhana dari maha dan siswa—seperti sedikit di singgung oleh JE.Syawaldi—tampak sebenarnya sebuah nilai yang harus di bawa oleh mahasiswa dalam kehidupan. Sebab kata-kata maha memberi makna “ter”atau “paling” yang berada pada puncak tertinggi. Sementara siswa insan-insan pelajar yang mempunyai hak penuh untuk mendapatkan ilmu. Walau kadang kala banyak yang mengartikan bahwa belajar merupakan kewajiban siswa.

Dengan begitu berarti mahasiswa bukan sekedar sebuah predikat tetapi jauh lebih substantif dari itu. Menurut saya, jika ada orang yang sudah duduk di bangku kuliah tetapi tidak mengimplementasikan nilai-nilai subsantif dan hakikat yang dia sandang berarti sesungguhnya ia bukanlah mahasiswa. Karena mahasiswa merupakan orang dewasa sadar yang mempunyai hak menuntut ilmu serta tanggung jawab dalam mewujudkan masyarakat adil makmur tanpa mendahulukan kepentingan pribadi dan hegemoni politik namun berpihak kepada kebenaran.

Dalam mengimplementasikan nilai-nilai itu, mahasiswa sebagai mahasiswa sebenarnya harus sadar akan posisi, fungsi dan tanggung jawabnya. Jika JE.Syawaldi mengatakan menuntut ilmu adalah sebuah kewajiban bagi mahasiswa maka saya mengatakan sebuah hak. Mahasiswa mempunyai posisi di tengah yaitu antara rakyat banyak dengan elit pemerintahan, jika kita pinjam istilah Jean Jaqques Rosseau maka mahasiswa berada antara proletar dan penguasa, yang berfungsi sebagai titi atau jembatan penghubung antara keduanya. Istilah yang kerap kita dengar adalah penyalur atau penyampai aspirasi rakyat jika dalam kajian dan analisis tajam dari mahasiswa menilai kebijakan penguasa tidak berpihak kepada rakyat maka kewajiban mahasiswa untuk bertindak. Bertindak bukan bermaksud hanya berdemonstrasi tetapi ada jalan-jalan yang elegan—seperti yang diharapkan JE.Syawaldi—yang harus di tempuh. Gaya dan diplomasi mahasiswa sangat diharapkan. Namun kebanyakan diplomasi itu telak gagal dan tidak membuahkan hasil yang memihak kepada kebenaran. Maka demonstrasi merupakan jalan terakhir yang harus di lakukan mahasiswa. Apakah ini haram? Saya kira, jika jalan lain yang bernuansa lebih elegan dan intelektual sudah di tempuh namun tetap gagal, aksi demonstrasi sudah halal untuk di lakukan.

JE.Syawaldi sudah menggambarkan sedikit dari refleksi sejarah mahasiswa pada tahun 1966 dan 1998 yang keduanya dari pergerakan itu menjatuhkan korban namun mampu merubah sistem. Hasil 1998 inilah yang menjadi pijakan dan kekuatan hukum bagi mahasiswa berikutnya untuk bergerak karena dihasilkan undang-undang yang melegalkan menyampaikan pendapat di tengah masyarakat umum oleh pemerintah. Artinya mahasiswa bukan hanya melakukan aksi tanpa ada dasar hukum yang jelas. Kalaupun ada mungkin itu oknum mahasiswa yang belum mengerti apa-apa.

Jika kita lihat sejarah lebih jauh peran besar yang di agung-agungkan atas tindakan mahasiswa tidak hanya 66 dan 98 saja. 1908, lahir sebuah organisasi pergerakan yang mengatasnamakan pemuda, 1926, 1928, 1945, 1971, dan seterusnya itu tidak bisa di lepaskan dari peran dan fungsi mahasiswa.

Saya sangat sepakat dengan pandangan JE.Syawaldi yang mengatakan bahwa mahasiswa tidak mementingkan kerapian, tauladan dan sebagainya dalam kontek kekinian. Namun perlu juga di sadari bahwa mereka secara lahiriyah memang mahasiswa namun secara substansi mereka bukanlah mahasiswa melainkan orang-orang yang terjebak sebagai
korban sinetron dan iklan-iklan televisi. Mahasiswa-mahasiswa seperti inilah yang mesti di berikan reorientasi serta merekonstruksi kultur yang telah jauh dari hakikat. Inilah persoalannya bahwa nama besar mahasiswa yang sering di sebut elit minority, agent of change, dan lain-lain itu hanya sebagai slogan saja.

Patut kita sadari bersama, apalagi mahasiswa, bahwa elemen bangsa yang terdiri dari rakyat banyak, pemuda dan/atau mahasiswa, elit pemerintahan/penguasa, maka peran mahasiswa itulah sebagai kekuatan pembaharu dalam menegakkan kebenaran di atas bangsa ini. Yang namanya elit pemerintahan, yang kerap dengan politisasi, memperjuangkan golongan lalu disandarkan memperjuangankan rakyat, maka yakinlah bahwa hal kolusi, nepotisme, korupsi, makelar, suap dan seterusnya itu tidak dapat tidak dihindarkan. Karena begitulah manusiawi yang mempunyai kesempatan dan peluang besar untuk melakukankannya walaupun dari awal niat tidak ada.

Disini pulalah mahasiswa tidak boleh diam, tidak boleh tidak tahu dengan persoalan bangsa, yang harus cepat dianalisis dan bergerak untuk menyelamatkan bangsa. Satu sisi mahasiswa merupakan representasi rakyat untuk memperjuangkan kebenaran. Bukan musuh rakyat. Mahasiswa dan rakyat harus bersatu. Menurut saya, kejam nian jika mahasiswa hanya menyelesaikan tugasnya demi kepentingan pribadi saja sementara umat dan bangsa menjadi dipinggirkan.

Jika JE.Syawaldi mengharapkan agar mahasiswa bersikap menyimak ketika dosen menerangkan, maka saya berpendapat agar mahasiswa juga berpartisipasi terhadap apa yang diterangkan dosennya dengan pikiran tajam yang punya landasan. Sangat rugi jika sebuah perguruan tinggi menghendaki mahasiswanya patuh, tenang dan menoton tanpa dinamisasi intelektual. Soe Hock Gie mengatakan “guru bukan dewa, siswa bukan kerbau”. Sebab menyimak menurut saya bukanlah sebuah sikap mahasiswa, karena sikap mahasiswa itu ditandai dengan suka-atau tidak suka, menolak atau menyokong terhadap kebijakan-kebijakan kampus serta pemerintahan.

Untuk mengembalikan pergerakan mahasiswa kepada khittahnya, agar citra baik mahasiswa dikembalikan, maka perlu reorientasi dan rekonstruksi karakter yang telah berbudaya campur aduk tanpa ideologi yang jelas untuk terciptanya mahasiswa yang berdinamika intelektual dan melahirkan generasi cerdas yang berperadaban tinggi. Hidup Mahasiswa!

Pendam Perkuburan Sunyi


Pendam Perkuburan Sunyi

;hmi

Akulah hijau yang kalian puja di setiap upacara,Akulah hitam yang berkabung, terperosok dalam lembah logika anak bangsa,  Akulah hijau hitam yang kalian puji-benci di setiap malam menganga

Akuilah,
hiruk pikuk yang kalian seruakkan, dari perkarangan wajah yang membatu hantu, Sepanjang musim yang tak pernah berganti, di pendam perkuburan sunyi itu; telah menabur darah perkabungan jantung palu siding, Seperti anjing dalam longlongan mata setan di ujung rembulan, Kalian telah curi tulang rusuk sengketa, lalu kalian tikam dada sejarah yang mengkhitttah,

 
Dari Pendam perkuburan sunyi, tulang tengkorak dan batu nisan abang, membawa segudang tanya; kapan kalian bersimpuh, menutup nganga dari mulut yang menyemai busuk?


 kalian menggigil lalu menyandingkan lusuh hijau ke pudar hitam, Menginjaki alur pucat pasi, Untuk kalian sejarahkan esok atau nanti

Kampus hijau, 12 2009

Selasa, 17 Januari 2012

Cincin

“Pakailah! lentik jari manismu akan semakin cantik. Aku turut berbahagia atas kado itu,” kataku padanya. Matanya tetap saja merah, pipinya basah, sesekali mendengus karena menahan sedu dan isak. Rambutnya kusut, sudah seharian bermuram durja. Wajahnya pucat pasi, sesuap nasi belum tertelan dari pagi. Aku jadi bertanya-tanya dalam hati. Kenapa Sirah begitu sedih? Jauh-jauh Sekar datang dari kota Bertuah sana, cuma mengantarkan selingkar cincin, tanda perikatan hubungan yang enam bulan lagi akan dilangsungkan kepelaminan. Ya, hanya sebagai tanda, kalau Sirah sudah tak boleh lagi menjalin hubungan dan berpandang-pandangan dengan lelaki lain. Bagi Sirah; jodoh sudah di depan pintu.

Bukankah sedetik sebelum pernikahan, setiap gadis masih “milik bersama”? Akh….

***

Langit gelap, akar-akar kilat bergelayut di angkasa, petir menyambar-nyambar. Sore yang seram itu, nyaris tak seorangpun berani keluar rumah di Pasar Senin Agam. Kecuali Sirah, dia tersandar di dinding bambu belakang rumah. Selendang Bali, hadiah dari saudari kembarnya setahun lalu, melingkar di lehernya. Aku tidak sanggup melihatnya melawan dingin, sendiri pula. Sebagai seorang sahabat dari kecil— rumah kami memang berdekatan—tentu saja aku tidak bisa membiarkan dia berselimut sepi. Pemandangan itu memaksa persendianku bergegas.

Kenakan mantel milik bapak, tak lupa pakai sebo, penutup kepala anti dingin udara, dan menyeret payung milik ibu yang bersandar di balik pintu rumah. Aku berjalan terhuyung-huyung di bawah hujan dan petir yang menggelegar. Jalan tanah sudah becek parah. Jalan-jalan di kampung kami memang begitu dari dulu, tidak pernah dikecap aspal, apalagi beton. Bila hujan lebat begini, lumpur bisa setinggi lutut kami. Aku menghampiri Sirah, ikut duduk di sampingnya, menyandar di dinding yang sama. Angin kian kencang, seakan merobohkan pertahanan tubuhku. Sirah, sedikitpun tak gemetar oleh hujan.

“Ah, hanya hujan lebat. Hadapi dengan gagah berani,” katanya memecah sepi. “Tahukah kau, gadis yang sudah memakai cincin di jari manisnya adalah gadis yang sudah terikat. Perikatan itu harus dipatuhi, kalau tidak, perikatan itu akan mengutukku seumur hidup, aib besar dalam keluarga, cela dari orang banyak. Untuk itu, aku harus menyibukkan diri untuk belajar menjadi istri yang baik dalam menjalani rumah tangga. Setidaknya, persiapan agar suami betah, agar besan tidak menilai jelek, serta perdalam pengetahuan adat.

Kau kan tahu juga, di adat kita Minangkabau ini, perempuan harus bijak, patuh tinggal di rumah, mendidik anak-anak. Sedangkan lelaki mencari nafkah dirantau orang nun jauh entah di mana. Jika memang apa yang tak kuhendaki ini terjadi, si pemberi cincin ini jadi menjadi jodohku , tentu aku bernasib “menunggu”. Supaya tidak cela rumah tangga, anak keturunan jadi cerdik pandai, perempuan penunggu harus banyak belajar, menjadi limpapeh Rumah Gadang jauh-jauh sebelum akad dilangsungkan.”kata-katanya mengalir bak air bah mengamuk.

“Apa maksudmu? Kenapa kau tiba-tiba bermuram durja seperti ini? Bukankah kau telah lama menjalin hubungan dengan Sekar? Bukankah sudah dua tahun pula lamanya? Bukankah Mak mu dan mamanya telah sama-sama menyetujui? Pemberian cincin, bukankah suatu kemajuan dalam hubungan percintaan, pertanda keseriusan keluarga Sekar yang akan berbesanan dengan keluarga mu? Dan kau, sudah cukup tahu pula, apa yang akan kau lakukan sebelum akad. Bukankah…?”

“Tidak ada sesuatu yang membuat cinta ku jatuh padanya,” dia memotong. “Hanya saja, dua tahun lalu, pada pesta perkawinan sepupunya, aku dikenalkan Mak. Sejak itu, dia mulai tertarik padaku. Aku kira, ketertarikan itu, hanya ketertarikan biasa-biasa saja. Seperti diriku, tertarik atas kebaikan keluarganya, keluhuran budinya, kematangan pekerjaannya, kedewasaan dan kepatuhannya dalam menjalankan kehidupan sesuai adat istiadat. Dia hanya lelaki yang menjalankan hidup sebagaimana adanya. Tidak lebih dari rutinitas seorang pekerja diperusahaan dengan upah yang sangat memadai. Hidupnya jauh dari kehidupan seorang penyair sunyi semacam aku. Ketertarikan ku, lebih kepada dekatnya persahabatan Mak dengan mamanya. Sama sekali, ketertarikan itu tidak bersenyawa kearah cinta picisan semacam yang kau pahami. Sedang laki-laki yang ku harapkan sebelumnya, sedikitpun tidak memberi tanda-tanda. Selanjutnya, Mago, hubungan kami berjalan sebagaimana adanya. Sebagaimana persahabatan baru dua orang manusia dimulai. Berjalan sewajarnya persahabatan, sebagai warisan sahabat Mak dan mamanya, hingga dua tahun pula lamanya. Dalam pada itu, ternyata Mak dan mamanya, punya rencana yang sama sekali tidak kuduga. Kiranya hubungan kami akan dilangsungkan pada ikatan suami istri. Pun sudah menjadi kesepakatan Mak dan mamanya.

Mago, sungguh aku tahu, pertunangan sangatlah mengikat. Apabila seorang perempuan sudah di pinang oleh laki-laki—sebagaimana kebiasaan orang kita, bertukar cincin—maka sudah haram kalau perempuan itu menikah dengan yang lain. Kecuali, pinangan dibatalkan, dan pihak perempuan membayar denda dua kali lipat biaya pinangan yang ditanggung pihak lelaki. Cincin yang terpaksa ku pakai ini membuat hatiku lebih bergemuruh, berdentang-dentang. Detak jantungku jauh lebih menakutkan dari bunyi petir dan akar-akar kilat yang bergelantungan di langit yang gelap itu. Kadang-kadang terasa disayat-sayat, ngilu.” Kata-katanya terus berhamburan dari bibir yang pucat, namun matanya tetap tajam menatap kedepan, tanpa menatap wajahku sedikitpun.

“Sirah, aku belum paham benar apa yang membuat kau dicabik-cabik seperti ini? Apa Sekar memang meminangmu, dan pemberian cicncin itu adalah tanda pinangannya?

“Aku tidak menganggap ini pinangan menurut agama. Kami tidak pernah bertunangan semacam yang kau anggap. Sekar memberikan cicncin ini kepadaku dalam bentuk kado yang disaksikan Mak dan mamanya. Sudah itu, dia dan mamanya berlalu pulang ke kota. Meski hanya demikian, Mak menganggap ini adalah keseriusan yang tak boleh ditolak. “Sirah, cincin itu adalah simbol pada janji setia sebelum pernikahan. Dan cincin itu sudah menjadi cincin pertunangan kalian. Sekarang, kau telah berada dalam pinangan orang,” begitu kata Mak berulang-ulang. Hatiku ngilu, seperti tersangkut pada sembilu.

“Mago,” katanya. “Menurut agama yang ku pahami, tidak akan berdosa bila melangar janji setia yang Mak maksud itu. Sebabnya, aku tidak berada dalam pinangan Sekar. Barangkali, Sekar mencintaiku, tapi sama sekali aku tidak paham tentang itu. Tidak, aku hanya diberi hadiah, itu saja. Tapi, aku merasa sangat berdosa kepada Mak, bila menolak ini. Mak sangat harap Mago, karena bagi Mak, menjaga hubungan baik dengan keluarga Sekar yang sudah terjalin sejak nenek-datuk kami, amatlah penting, amatlah beharga. Ikatan kedekatan keluarga kami, bukan dalam soal bisnis dan usaha perdagangan, namun hubungan manusiawi yang terjalin sejak dahulu.

Demi kelangsungan hubungan baik, Mak dan mamanya, memang menganggap kami telah saling mencintai, sehingga rencana perjodohanku dengan Sekar menjadi rencana penting bagi kedua belah pihak. Bila aku menolak, Mak akan dikatakan berkhianat atas janji setia. Aku tak ingin demikian, sunguh. Sementara, pertunangan merupakan masa peralihan antara lamaran dengan pernikahan. Ini bukanlah budaya dan adat istiadat kita, Mago. Pertunangan berawal dari bangsa Romawi, ribuan tahun silam. Akupun tidak paham, kenapa Mak merasakan pemberian cincin itu sudah tunangan, dan aku sudah berada dalam perikatan sebuah pinangan. Pangkal persoalan ini, dalam adat dan budaya kita, sungguh tidak ku pahami. Secara umum, memang dalam pertunangan terdapat tradisi saling memberikan hadiah. Tradisi pertunangan pun berbeda, di India Barat misalnya, pasangan itu saling tukar Anak Angsa, sementara wanita Tiongkok pada awal abad ke-20 dituntut memberikan hadiah yang pas bagi calon suaminya dalam waktu seminggu setelah pertunangan, kalau tidak mau, pernikahannya kandas. Sementara di adat kita, tidak terdapat kata-kata tunangan, kecuali meminang. Sedangkan Sekar, sama sekali tidak meminangku, Mago”.

Aku mengangguk saja, mendengar penjelasan Sirah yang kian dalam saja.

“Kemudian, pertunangan yang panjang pernah menjadi umum dalam tetek bengek pernikahan yang resmi, namun tidak umum bagi orang tua mempertunangkan anaknya hingga beberapa tahun sebelum pasangan yang bertunangan itu cukup umur untuk menikah. Selanjutnya, tidak umum bagi orang tua mempertunangkan anaknya tanpa persetujuan dan cinta”.

Bibir Sirah yang kaku terus saja bergerak, dia tak berhenti berkata. Kali ini, matanya semakin melotot, tangannya mulai bergerak, sementara hujan semakin deras saja. Kami hanya terlindung oleh sedikit atap dapur yang menjorok keluar.

Saya terhenyak ketika dia bilang; “Mago, jemputlah kapak kerumah mu sebentar, aku ingin mencincang kisah ini. Jika kau punya sebilah belati, pinjamlah aku dulu, untuk mengubak hati yang kian terkelupas ini. Sejak sebulan lalu, ku rangkai kata demi kata, ku jadikan bait-bait dalam sajak. Namun, tak pernah runcing menusuk hati Mak,” tangisnya pecah, isak dan sedunya menjadi-jadi. Dia telah karam dalam gelombang cinta, aku genggam tangannya, darahnya serasa membeku.

“Mago,” serak suaranya menyebut namaku. “Menolak keinginan Mak, pantangan benar bagiku sejak kecil. Aku tak sanggup jika tidak memenuhi apa yang diinginkan Mak. Kau tahu bukan? Keluargaku hanya keluarga yang hidup pas-pasan. Mak rela melakukan pekerjaan sekasar apapun demi kami anak-anaknya. Mak selalu penuhi kehendak kami. Tidak sedikitpun Mak menolak apa yang ku inginkan sejak kecil hingga sekarang. Sekarang, Mak sudah cukup ringkih untuk membanting tulang. Perjuangan Mak telah mengantarkanku jadi seorang sarjana, seorang perempuan terpelajar di kampung ini. Mak selalu memberikan hal-hal yang layak bagi ku. Sebagai seorang ibu yang bijaksana, tentu saja Mak memikirkan, agar masa depan ku, pun ditopang oleh kehidupan yang layak, tidak melarat, dan tidak menanggung gelisah karena kebutuhan hidup. Sederhananya, Mak menginginkan agar aku selalu menang dalam setiap perkelahian dalam kehidupan ini. Sekarang, patutkah aku menolak permintaan Mak? Tidak Mago, tidak!

Mago, maukah kau mendengar cerita ku?” katanya seraya mengulum nasib. “Setahun lalu, sudah dalam berhubungan juga dengan Sekar, tiba-tiba sebait puisi hadir dalam layar Ponsel ku, dari nomor yang tak ku kenal. Tapi, dari gaya dan karakter kalimat-kalimatnya, aku menduga-duga, puisi siapa pula yang telah sesat ke layar ponselku itu. Hatiku serasa ditikam oleh kalimat-kalimatnya, runcing benar. Sampai sekarang, puisi itu masih ku simpan, bahkan ku ketik ulang, lalu ku pajang di dinding kamar. Agar setiap kali menjelang tidur , aku bisa membaca bait runcing yang sederhana itu. Setidaknya runcing menusuk hati ku seorang.”

“Perempuan/ dalam hati ini/ terhampar gurun yang tandus/ dan, tak kutemukan sedikit cinta/ di sini jika benar ditakdirkan/ kelak aku jadi pasir/ kuharap kau menanam kaktus di punggungku agar tumbuh sedikit cinta/ sedikit hidup bagi musafir lalu,”

Begitu saja bunyi puisi itu. Hingga Sembilan bulan lamanya, aku mencari siapa yang mengarangnya? Asal kau tahu, penyair itu baru tiga bulan belakangan menemui ku. Persis dan tepat sekali, dialah dugaanku, lelaki yang ku kenal sejak empat tahun lalu, dia pun begitu. Namun, kami tak pernah saling berani untuk membagi rasa kearah cinta. Sampai sekarang, senyawa cinta kami belum bertemu, sedang hati kami saling berpadu. Aku yakin betul, Mago. Pasalnya, dia selalu hadir menjenguk ku, mengguncang hati ku, bahkan dialah yang pertama membuat ku begitu tertusuk. Rasanya Mago, hati ini jatuh.

Mago, bukan nasib yang membuat ku bermuram durja begini. Tapi, kebodohanku melawan penjara cinta atas nama adat dan sopan santun. Sungguh aku perempuan yang lemah, sedikitpun tidak mampu melawan adat dan sopan santun yang sejak lama dianut keluarga. Tahukah kau, lelaki yang membuatku berlayar dalam setiap bait sajaknya, adalah lelaki merdeka yang tak bisa terbelenggu oleh tetek bengek intelektual manapun, partai politik manapun, konsepsi kebudayaan manapun, kecuali pada tambatan Tuhan.

Alangkah merdekanya dia, sajaknya mampu menembus pandang setiap lekukan kotornya sistem negara, adat istiadat, kebudayaan dan bahkan berkesenian. “Jiwa-jiwa pemberontaknya, Kahlil Gibran, telah tumbuh secara alamiah dalam hidupnya. Hanya saja, ketokohan Wardah Hani, perempuan pejuang, tak mengalir dalam darah ku. Entah sudah berapa kali ku tamatkan buku itu. Apa jadinya, sebuah karya besar dari pengarang berkelas dunia, tidak menjadi konsepsi yang mengalir dalam diri ku? Sungguh Mago, aku merasa menjadi perempuan paling lemah. Mago, di mataku, dia sederhana tapi sempurna. Perempuan mana yang tidak tertarik dengan konsepsi hidup dan pemikirannya? Kau tahu? Aku ini penyair sunyi, penyair yang jauh dari gaya hidup abad ini, sehingga penjajal kue di pasar ini menganggap aku perempuan aneh, perempuan yang mengherankan. Sejak lelaki itu tahu, keluarga Sekar tiba-tiba datang memberikan cicncin ini kepada ku. Aku merasa telah di koyak-koyak. Bayangan kehidupan masa depan yang penuh bait-bait puisi seperti telah meninggalkanku, jauh. Sungguh aku tak bisa memberontak kepada Mak. Aku hanya memberontak dalam diri sendiri. Waktu kian tajam menghujam kasih ku dengan lelaki yang dari dulu ku dambakan itu.

Mago, mungkin menurutmu, urusan pertunangan adalah hal biasa, cincin pertanda keterikatan adalah adat istiadat saja. Jenguklah nurani mu barang sejenak untukku Mago, rasakanlah betapa tidak adilnya adat-istiadat kepada ku. Tidak berpihaknya “sopan santun” yang kujalani sejak lama. Sementara, aku masih ingin menjadi perempuan terhormat di sisinya, bukan di sisi Sekar dan keluarganya yang kaya melimpah-limpah itu. Karena bagi ku, sebait puisi mampu menembus-pandang ribuan tahun kedepan adalah harta yang tak ternilai harganya.”

Aku merinding mendengarkan setiap ucapan Sirah. Setiap perkataannya mengesankan pemberontakan. Aku merasakan kengiluan seorang gadis yang jatuh cinta pada bait sajak lelaki merdeka. Dia kuyup, namun matanya tetap tajam mengulum kejamnya hidup yang dia rasakan. Hanya cincin. Dia cabik-cabik oleh cinta.

Senja kian membenam, gemuruh dan petir silang berkabar di angkasa. Hujan semakin lebat saja. Sirah, masih terpaku menatap waktu. Enam bulan, tidaklah waktu yang panjang. Sebentar lagi dirinya akan bersanding dipelaminan demi marwah keluarga. ***

SBI, Dilanjutkan atau Dihentikan



(Respon terhadap tulisan Muhammad Kosim)
.....terbitdiPadangekspres

Menarik membaca tulisan Muhammad Kosim, “SBI, Bertaraf atau Bertarif Internasional”, Padang Ekspres, Kamis (17/3). SBI (Sekolah Bertaraf Internasional) salah satu program yang berkeinginan memajukan pendidikan Indonesia, agar lulusan mampu bersaing untuk menembus perguruan tinggi luar negeri. Sudah lima tahun berjalan, agaknya perlu dipertanyakan. Apa betul SBI akan mampu mengejar ketertinggalan pendidikan Indonesia?. Sedangkan praktik yang terjadi, mengesankan  bahwa SBI hanyalah program prestisius belaka. Asumsi tentang SBI justru menjungkir-balikkan nilai-nilai nasionalisme dan hakikat pendidikan. Sederhananya, hakikat pendidikan adalah untuk menjenguk nilai-nilai kemanusiaan manusia/menjadikan manusia sesungguhnya/insan kamil/paripurna/memanusiakan manusia. 

Sedangkan yang dapat menikmati program ini, adalah mereka yang tergolong kaya. Lebih  diidentikkan dengan fasilitas lengkap dan perlakuan/pelayanan serba khusus. Sesuai dengan temuan/hasil survei Pusat Penelitian dan Kebijakan (Puslitjak) Balitbang Kemendiknas, akhir-akhir ini.

Bagaimana mungkin klausul ini hanya sekedar paradigma masyarakat bawah, yang tidak mengerti betul tentang perkembangan pendidikan tanah air. Di-identikan-nya RSBI/SBI dengan alat/fasilitas yang ekstra lengkap dan mewah,  seperti memakai media canggih yang mutakhir, LCD, Laptop dll. bahkan Satria Dharma menemukan, ada ide yang paling “gila”, yaitu membuat toilet di dalam lokal, dengan sendirinya, ini telah menciptakan stratafikasi sosial dalam pendidikan. Sedangkan sekolah-sekolah maju di Amerika Serikat sana, masih ada yang menggunakan kapur tulis hingga sekarang. Kualitasnya, tidak diragukan lagi.

Kemudian, “memaksa” guru-guru mempelajari Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam PBM. Apakah benar, sekolah bertaraf internasional harus menggunakan pengantar Bahasa Inggris? Bahkan, terkadang siswa tidak dibolehkan menggunakan Bahasa Indonesia. Hasil riset Hywel Coleman dari University of Leeds UK menunjukkan, bahwa penggunaan Bahasa Inggris dalam proses belajar-mengajar telah merusak kompetensi berbahasa Indonesia. Bahasa Indonesia, kerap diabaikan, padahal, Bahasa Indonesia merupakan “doktrin” untuk menumbuhkan kecintaan terhadap bangsa. Bahasa adalah salah satu bentuk karakter bangsa, seperti kata pepatah,”bahasa menunjukkan bangsa”. Negara-negara maju, seperti Jepang, Finlandia, Korea, Italia, Prancis, Jerman, Cina dan lain-lain, tidak perlu menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar untuk memajukan pendidikan mereka.

Permendiknas Nomor 78 tahun 2009 pada pasal 16 ayat (2) tentang SBI wajib mengalokasikan beasiswa atau bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik warga negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi tetapi kurang mampu secara ekonomi, paling sedikit 20 persen dari jumlah seluruh peserta didik. Jika ini pula yang menjadi alasan bagi Muhammad Kosim, apa bedanya  andai kata UU BHP tidak jadi digagalkan? 20 persen minimal untuk siswa miskin berprestasi bukan serta merta alasan untuk menyamakan hak warga negara, untuk memperoleh pendidikan yang setara. Dapat disinyalir, bahwa peraturan ini memberi ruang untuk praktik nepotisme. Permendiknas hanya menjadi lips service untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis serta alasan yang disembunyikan dibalik peraturan. Agak bisa di tolerir, jika dibuat betul UU—setara dengan UU diberlakukan SBI ini—yang termuat sebagai salah satu pasal di dalam UU Sisdiknas 2003, dan mewajibkan kepala sekolah betul-betul mencari 20 persen siswa miskin, yang dilengkapi berbagai dokumen, serta dengan ketentuan-ketentuan lain yang tidak diragukan keabsahannya.

SBI seakan-akan hanya berupaya membangun fantasi nginternasional bagi orang tua siswa, siswa dan pihak sekolah (prestisius oriented). Kenapa tidak, input SBI adalah siswa-siswa unggul, yang memiliki IQ 120 (di atas rata-rata), bagi yang tidak memenuhi maka tidak layak masuk ke SBI. Ini menyiratkan bahwa SNP (Standar Nasional Pendidikan) hanya teruntuk bagi mereka yang kurang cerdas, jika tidak mungkin disebut bodoh. Satu sisi ini dapat dikategorikan “penghianatan” terhadap SNP.

Temuan/hasil survei Pusat Penelitian dan Kebijakan (Puslitjak) Balitbang Kemendiknas itu musti dipertimbangkan kembali. Karena SBI sampai sekarang masih menjadi perdebatan yang sesungguhnya merugikan esensi pendidikan itu sendiri, jika tidak ada penyelesaiannya yang benar-benar disepakati oleh seluruh pelaku pendidikan. Sementara tahun ajaran pendidikan terus bergulir.

Tulisan Muhammad Kosim itu, menimbulkan interpretasi yang berbeda bagi saya, ketika dia katakan bahwa, SBI itu kan amanah UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas tepatnya pada pasal 50 ayat (3). Benar sekali, SBI akan menjadi amanah, sekiranya (kita) menyerah kepada UU yang menguatkan hasrat untuk meng-SBI-kan sekolah yang telah memenuhi SNP (Standar Nasional Pendidikan). Namun, akan tidak mau (kita) mengikuti UU itu ketika (kita) mencoba menjajaki praktik SBI itu disekolah –sekolah yang bersangkutan sejak lima tahun lalu. Paling tidak, harus dipertanyakan asbabunnuzul UU itu. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa pelaksanaan program SBI tidak didahului dengan riset yang mendalam, konsepnya pun lemah. Dengan menyatakan SBI =SPN + X.  X diartikan untuk memperkuat, memperkaya, mengembangkan, men-dalam-kan, dan lain-lain. Sebetulnya konsep ini tidak memiliki bentuk dan arah yang jelas. Apa yang diperkaya, apa yang didalami, apa yang dikembangkan dan sebagainya, sungguh sangat absurd tentunya,  yang berujung pertanyaan. UU Sisdiknas pasal 50 ayat 3 ini terlanjur dipersepsikan harus mengadopsi kurikulum Cambridge.

Atau tawarkan alternatif tentang hal ini, semisal pasal tersebut perlu diamandemen, disesuaikan bunyinya agar tidak menimbulkan pesepsi yang keliru atau merumuskan kembali apa yang disebut Satuan Pendidikan yang Bertaraf Internasional itu. Ini pulalah yang menjadi alasan utama Satria Dharma, dalam mengemukakan usulannya untuk menghentikan program SBI terlebih dahulu.

Wacana pemberhentian sementara SBI ini sudah “mengapung” sejak Mendiknas Muhammad Nuh, berjanji untuk mengevaluasi program ini yang dijadwalkan Juli 2010 lalu. Setidaknya ada empat parameter yang harus dievaluasi, yakni akuntabilitas keuangan, proses rekrutmen siswa, prestasi akademik yang dihasilkan, dan apakah persyaratan RSBI sudah terpenuhi? Akuntabilitas yang dimaksud adalah apakah SBI dalam mengelola sumberdaya termasuk keuangan bisa dipertanggungjawabkan? Bagaimana proses rekrutmennya? apakah yang direkrut benar-benar siswa berprestasi? atau karena mereka membayar? Apakah prestasi akademik siswanya menonjol atau lebih bagus dibandingkan dengan sekolah reguler?. Selain itu, perlu dievaluasi pula bagaimana pelaksanaan standar sumber daya pengajar?. Apabila sekolah yang bersangkutan tidak bisa memenuhi persyaratan dan terjadi penyimpangan, akan dijatuhkan sanksi berupa mengembalikan ke sekolah reguler.(edukasi.kompas.com,11/3)

Satria Dharma, Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI), sudah sejak awal kemunculan program RSBI (2006) mengemukakan pendapatnya, bahwa SBI itu adalah program yang salah.  Persoalan SBI  menjadi topik yang hangat di Komisi X DPR RI (8/3/2011) kemarin. Permintaan Satria Dharma, agar segera menghentikan sementara program SBI itu. Karena perlu dievaluasi secara rijit dan UU no 20 tahun 2003 pada pasal 50 ayat 3 perlu diamandemen

Selain dipicu temuan dari survey Puslitjak Balitbang, ada beberapa alasan ketua umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) dan direktur  the center for the betterment of education (CBE) ini untuk menghentikan sementara program SBI itu. Misalnya, SBI adalah program yang salah model. Kemdiknas membuat panduan model pelaksanaan untuk SBI baru (news developed), tetapi yang terjadi justru pengembangan pada sekolah-sekolah yang telah ada (existing school). Program SBI telah salah asumsi. Kemdiknas mengasumsikan, bahwa untuk dapat mengajar hard science dalam pengantar bahasa Inggris, seorang guru harus memiliki TOEFL > 500. Padahal, tidak ada hubungannya antara nilai TOEFL dengan kemampuan mengajar hard science dalam Bahasa Inggris. TOEFL bukanlah ukuran kompetensi pedagogis. Akan terjadi kekacauan dalam proses belajar-mengajar dan kegagalan didaktik. Guru tidak mungkin disulap dalam waktu yang singkat agar bisa mengajarkan materinya dalam Bahasa Inggris. Akibatnya, banyak siswa SBI justru gagal dalam ujian nasional (UN) karena mereka tidak memahami materi bidang studinya (Kompas).

Saya sangat setuju dengan tawaran Muhammad Kosim, dibagian akhir dalam tulisannya itu, bahwa banyak hal yang patut didiskusikan dalam penyelesaian SBI ini. Namun, sebelum tergilas oleh waktu, pelaku pendidikan yang melaksanakan program ini, sudah saatnya menjawab berbagai pertanyaan, dan mengambil sikap yang tegas,  RSBI/SBI, dilanjutkan atau dihentikan!
Penulis adalah Ketua HMI Cabang Padang