Oleh: Mayonal Putra
Untuk membangkitkan kesejahteraan bersama
memang tidak semudah mengumbar janji-janji
politis, meski setiap program dan agenda kerja politisi di manapun menyematkan
tentang kesejahteraan. Sedangkan, perkembangan perekonomian secara umum di
kota-kota berkembang dijajah oleh pemilik modal besar. Menjamurnya supermarket
dan mini market dengan brand merek yang sama sudah membunuh usaha kecil warga
di pulau Jawa. Berbagai investor retail yang bersifat monopoli, mulai mendesak untuk
masuk kota Pekanbaru karena khalayak menilai masyarakat kota kita ini lebih
bersifat konsumtif.
Tak ayal, warung-warung tradisional
milik warga bisa dikatakan “mati” akibat franchise mini market yang buka selama
24 jam itu. Untuk pulau Jawa saja, Alfa Mart dan Indo Maret sudah mengantongi
lebih 5 ribu minimarket di hampir seluruh kabupaten kota. Monopoli bisnis
retail ini membuat sejumlah usaha harian warga yang dikemas secara tradisional keok. Belum lagi super market-super
market dari luar negeri yang merambah kota setiap kota maupun kota kabupaten.
Sudah barang pasti Pekanbaru juga menjadi incaran investor untuk mengembangkan bisnis retail. Sebetulnya ini sangat berbahaya. Pertama, perputaran uang dari setiap belanja masyarakat tidak kembali untuk masyarakat setempat. Kedua, usaha rumah tangga—kemasan dan pengelolaan secara tradisional—tidak lagi bisa menjadi penopang hidup mereka. Sementara persaingan kian hari kian buas. Ketiga, selera dan pola hidup masyarakat semakin konsumtif karena dipengaruhi oleh barang-barang brand modern, sementara pendapatan konsumen relatif stagnan. Sadar atau tidak, masyarakat yang sudah lama tinggal di kota ini akan terus tereduksi oleh prilaku bisnis kapitalis. Pertanyaannya, sampai kapan kita hidup sebagai masyarakat konsumtif? Sementara produksi-produksi yang secara tradisional lambat laun terkikis oleh kelompok-kelompok produksi modern. Dan sebagian besar, pekerja/buruh pada kelompok produksi bermodal biasanya ditempati oleh masyarakat sekitar. Secara kasar, ini lah yang disebut “pembantu di rumah sendiri”. Padahal seharusnya, kesejahteraan harus dicapai secara bersama-sama tanpa mematikan pihak lain.
Gerai Terpadu Indonesia
Meski belum semua masyarakat
mendengar istilah “Gerakan Warung Terpadu Indonesia (GTI)”bahkan masih sangat
asing ditelinga. Namun, gerakan warung ini sudah mulai merambah Pekanbaru.
Survey untuk warung-warung yang telah menjadi sub penyalur LPG 3 kg sedang
berlangsung. Karena, dari 310 sub penyalur yang telah mengantongi daftar izin,
yang selama ini dikelola oleh konsultan Migas KESDM, PT. Kanta Karya Utama,
menjadi target utama dari program GTI. Dari 310 warung—yang nota benenya,
warung tradisional—akan direngking, sehingga target warung live dari hasil
besutan GTI untuk 2012 ini minimal berjumlah 22 warung.
Pasalnya, sebanyak 310 sub penyalur
yang terdaftar sebagai pangkalan resmi untuk kebutuhan energi gas rumah tangga
dan UKM, hampir 90 persen di antaranya adalah warung masyarakat kecil.
Sedangkan keuntungan dari penjualan gas tersebut masih dikeluhkan sub penyalur.
Untuk satu tabung LPG 3 Kg, pangkalan hanya mendapat untung kurang lebih seribu
rupiah. Selanjutnya, karena masih banyaknya pengecer yang tidak terdaftar di
sepanjang jalan kota Pekanbaru berpengaruh bagi sub penyalur terdaftar. Pengaruh
ini sangat signifikan dari target penjualan hariannya. Rata-rata satu Sub
penyalur hanya bisa menjual
15 tabung isi ulang perhari, dengan keuntungan rata-rata 15 ribu per hari.
Program GTI dengan visi untuk membangkitkan kesejahteraan masyarakat dengan pola membina kemandirian kelompok pengguna atau komunitas sekitar warung, adalah wajah baru untuk Pekanbaru. Karena, gerakan ini berusaha membuat jaringan warung seluruh Indonesia dengan mengedepankan potensi UMKM perdaerah. Misalnya, pengelolaan kripik nenas yang selama ini terkesan mempunyai rantai suplaier pendek, melalui gerakan warung terpadu Indonesia bisa dihantarkan keseluruh kabupaten kota di Indonesia yang sudah berjalan program GTI-nya.
UKM berbasis komunitas
Untuk mengatasi berbagai persoalan, jaringan UMKM di
seluruh daerah harus terpola dan terpadu. Hasil produksi UMKM di Pekanbaru
harus bisa di pasarkan ke daerah Jawa. Hal ini lah yang sedang dilakukan oleh
Gerai Terpadu Indoensia (GTI) melalui gerakan warung terpadu Indonesia, di
delapan kabupaten/kota se Indonesia yang salah satunya adalah Pekanbaru.
Untuk menghadapi persaingan produk yang kian ganas, GTI
melakukan pembinaan-pembinaan UMKM dan warung milik masyarakat yang selama ini
dikelola secara tradisional dan mulai disingkirkan oleh gaya-gaya pasar
modern. Sebelumnya, kita sebagai
masyarakat Pekanbaru terlebih dahulu harus menyadari bahwa masyarakat itu ialah keseluruhan hubungan -
hubungan ekonomis, baik produksi maupun konsumsi, yang berasal dari
kekuatan-kekuatan produksi ekonomis, yakni teknik dan karya
(Marx).
Sedangkan, komunitas/
masyarakat sekitar UMKM atau setidaknya warung bisa menjalani hubungan-hubungan
dan interaksi sosial yang mengedepankan kesejahteraan bersama, sehingga setiap
belanja kebutuhan masyarakat tidak lagi lari ke pasar-pasar modern, justru di
warung sebagai basis kebutuhan masyarakat sekitarnya. Agar perputaran uang
tidak jauh-jauh dari masyarakatnya sendiri, secara otomatis produksi dan
permintaan masyarakat selalu seimbang. Jika misi GTI ini terwujud di Pekanbaru,
dapat dikatakan wajah baru menuju kesejahteraan bersama.
Penulis adalah Pengurus Institute of Social
Empowerment and Development (ISED)- Riau