Label

Rabu, 27 Juni 2012

Mengurai Kusut Masai Pembangunan Ritos







Begitu Ironis. Kusut masai perizinan Pembangunan Riau Town Square (Ritos)  di kawasan Bandar Seni Raja Ali Haji (Bandar Serai) belum juga jelas ujung pangkalnya. Sementara pembangunan terus dilakukan. Rapat dengar pendapat(hearing) lanjutan antara DPRD Riau dengan Setraprov dan pemerintahan kota Pekanbaru serta perusahaan kontraktor, PT. Bangun Megah Mandiri Propertindo, Senin (4/6) pekan lalu, di medium DPRD Riau dapat dikatakan sama dengan nihil. Karena, masing-masing perwakilan instansi terkait, tidak berani mengemukakan sikap yang tegas. Apakah Ritos terus dibangun atau dihentikan? Rapat tanpa kesimpulan itu menyematkan kekecewaan pada wajah DPRD Riau.

Hal tersebut terus ditanggapi oleh DPRD provinsi. Hasilnya, melalui komisi A dan Komisi B , DPRD Riau akhirnya merekomendasikan agar proses pembangunan dihentikan untuk sementara waktu. Tetapi, rekomendasi itu boleh disebut sama dengan tunggul di atas abu. Sekali angin berhembus, abu hilang entah kemana. Bahkan, Pemprov Riau sama sekali mengangkangi  rekomendasi tersebut. Apa jadinya jika DPRD tidak dianggap. Itu tindakan penyepelean rakyat. Karena, DPRD adalah perpanjangan tangan masyarakat Riau.

Dewasa ini, Jika kita cermati berita di media masa, proses pembangunan pusat belanja dengan rencana 17 lantai itu sungguh sangat mengherankan. Kenapa tidak, Ketua komisi B DPRD Riau, T. Rusli Ahmad, jauh-jauh hari sebelumnya sudah mengatakan kepada sejumlah media bahwa proses pembangunan tersebut tidak memiliki payung hukum. Tetapi pernyataan tersebut dibantah oleh Biro Perlengkapan Setdaprov Riau. Pemprov mengatakan bangunan tersebut sudah memiliki IMB sementara dan izin prinsip dari Pemko Pekanbaru. Dalam hal ini, Saya meragukan apa kekuatan  IMB sementara dan izin prinsip? Ini proses pemudahan demi  ‘segerobak ‘ proyek Pemprov dan Pemko atau permainan apa? Sehingga, banyak pihak yang bertanya, seperti apa Pemprov Riau dan Pemko Pekanbaru memahami proses hukum? Padahal IMB tidak bisa terbit kalau surat peruntukan tanah belum kelar.

Bahkan, DPRD Riau sudah mengatakan di media massa kalau pembangunan itu melanggar hukum.
Lagi pula, sudah nyata-nyata kawasan Bandar Serai (eks. MTQ) adalah kawasan untuk pengembangan kebudayaan Riau. Yayasan Seni Raja Ali Haji (Serai) sudah 12 tahun lamanya menghuni dan bekerja untuk pengembangan kebudayaan di sana. Tiba-tiba, kawasan tersebut mau disulap menjadi pusat bisnis dan komersial. Ambiguitas sikap pemangku-kepentingan, sebenarnya melemahkan peran kebudayaan. Bahkan dapat disinyalir bangunan tersebut meredusir kebudayaan melayu yang tercinta ini. 

Sebelumnya, Komisi A dan Komisi B, DPRD Riau, dalam rapat tersebut mendesak pemprov Riau dan Pemko Pekanbaru untuk menunda pembangunan selama perizinan belum selesai. "Kami tidak mau terseret dengan hukum," tegas ketua Komisi B, DPRD Riau, T.Rusli Ahmad, seperi yang saya kutip di salah satu pemberitaan media lokal. Kemudian, Rusli juga mengatakan bahwa perobohan tiga (3) anjungan di kawasan Bandar Serai oleh kontraktor lokal, pun belum dibayar pihak pengembang Ritos. Untuk itu, DPRD meminta agar PT. Bangun Megah Mandiri Propertindo segera membayar hutang-hutang tersebut. 

Rusli menyebutkan, karyawan kontraktor lokal yang telah bekerja untuk meruntuhkan tiga anjungan bangunan kebudayaan untuk pembangunan Ritos, sudah dua kali mendatangi kantor DPRD. Para karyawan, kata Rusli, menuntut haknya yang belum diberikan PT. Bangun Megah Mandiri Propertindo.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Utama (Dirut) PT. Bangun Megah Mandiri Propertindo, Haryo Bimo berjanji untuk segera melunasi hutang kepada kontraktor lokal sebagai pihak ketiga. 

 Tentang IMB sementara dan izin prinsip tadi, ditanggapi pula oleh Ketua komisi A, DPRD Riau H. Masnur. Menurutnya, izin prinsip yang diberikan Walikota Pekanbaru bukan merupakan tindakan hukum. Itu hanya berdasarkan kemurahan hati Walikota Pekanbaru saja. Hukum dan perasaan sebetulnya harus terpisah untuk melahirkan kebijakan.

Amat disayangkan, nyaris tidak ada sikap penolakan dari unsur dan lembaga apapun. Memang, dalam tulisan ini saya tidak menghendaki ada percekcokan tanpa arti. Hanya saja, di surat tanah, peruntukan tanah Bandar Serai itu adalah untuk pengembangan kebudayaan Riau, bukan sebagai pusat bisnis dan komersial, hotel, kolam renang dan arena permainan lainnya. Tetapi mudah saja, tiga anjungan sudah diratakan dengan tanah, meski masih bermasalah perizinannya. Penolakan yang saya maksud adalah Penolakan demi mewujudkan kebudayaan. Hal ini hendaknya datang dari pemangku adat, seniman dan budayawan sebagai perpanjangantangan masyarakat yang cinta akan kebudayaan itu sendiri. Ini nyaris tidak ada. Apakah pihak Pemprov dan Pemko serta pemangku kepentingan lainnya mengemas isu sedemikian rupa sehingga tidak banyak dari unsur masyarakat yang peduli. 

Saya sangat merasakan kesedihan hati tokoh adat kita. H. Tenas Efendy yang pernah hadir dalam rapat dengar pendapat (hearing)kedua bersama DPRD dan unsur Pemprov Riau. Saya dapat mengutip apa yang disampaikannya, karena waktu rapat itu saya juga hadir sebagai pendengar. 

“Saya sangat sedih, perih terasa. Tapi. Demi pengembangan pembangunan di Riau, biarlah. Meskipun hati nurani saya bertentangan dengannya. Meski pun pedih perih terasa, saya tetap diurutan paling depan menjaga marwah Riau,” ungkapnya dihapan DPRD dan pemerintahan. 

Betapa dalam kalimatnya. Tetapi Ritos meski tanpa izin itu hingga kini diteruskan juga. Tidak hanya itu, gencarmya pembangunan di Riau ini, mengorbankan hati nurani tetua-tetua kita. Seperti keputusan yang disampaikan budawan Riau, Al Azhar. Pihaknya menolak pembangunan Ritos di Bandar Serai, baik sebagian apalagi keseluruhan. Karena, bangunan itu adalah pusat bisnis dan komersial. Meski pada akhirnya, budawan kita ini melunak. Dia menyebutkan, jika benar tidak dapat lagi dibatalkan, biarlah. Dia juga mengajukan sarat yang intinya, bangunan Ritos harus bersinergi dengan pengembangan budaya. Kemudian, arsitekturnya harus mencerminkan nilai-nilai kebudayaan Riau. 

Sikap itu akhirnya mengatasnamakan budawan dan seniman Riau, yang ditanda tangani oleh ketua umum H. Tenas Effendy dan ketua DPH LAMR, Al Azhar. Pemangku adat kita mengalah demi kemajuan generasinya. Saya kira, tidak ada lagi yang paling bijak mengenai kusut massai pembangunan Ritos selain budayawan itu. Yang mempunyai sikap, dan menerima risiko bahwa 12 tahun yayasan Seni Raja Ali Haji (Serai) di kawasan purna MTQ itu akhirnya mengalah selangkah untuk pembangunan pusat bisnis dan komersial yakni Riau Town Square (Ritos).

Saya meragukan hal ini. Permintaan untuk mensinergikan dengan kebudayaan dan bangunan yang akan disesuaikan dengan nilai-nilai kebudayaan Riau tentu tidak punya ukuran. Lambat laun, kebudayaan akan teredusir dari tanahnya sendiri. Jika pusat bisnis itu terus dibangun tanpa izin yang jelas, kontroversial antara idealitas dengan realitas, Ritos convention centre itu akan menguras nilai-nilai kebudayaan kita.




Oleh: Mayonal Putra
(Penulis adalah Pengurus Institutte of Social Empowerment and Development (ISED)-Pekanbaru )





Senin, 25 Juni 2012

“Apa Orang Cacat Seperti Saya Boleh Temui Wakil Rakyat"



Syaher Jamil Mengadukan Nasib Ke Kantor Dewan


Terik matahari kian membakar. Mobil mewah berjejer di halaman depan kantor DPRD provinsi Riau, Jumat (22/6) siang. Pegawai DPRD Riau dengan pakaian adat Melayu hilir mudik, sibuk dengan tugas masing-masing. Satu-satu anggota DPRD turun dari mobil-mobil mewah. Sambil menenteng buku harian dan telephone genggam, dia pun langsung memasuki ruang komisi masing-masing. Karena, hari Jumat tersebut hearing komisi dengan Dinas terkait memang padat.

Tetamupun mulai berdatangan dari berbagai Dinas dilingkungan setdaprov Riau, guna membahas dan melaporkan kerja masing-masing ke DPRD. Sebab, sebelumnya, Ketua DPRD menggesa masing-masing komisi untuk merampungkan RAPBD perubahan tahun 2012 ini. Pasalnya, sejumlah pembangunan dan agenda provinsi bergantung di APBD perubahan itu. Terlihat pejabat-pejabat turun dari mobil sambil menenteng buku-buku agenda yang akan dibahas dengan komisi di DPRD.

Tidak seperti biasanya, hari itu, juga terlihat orang tua memakai baju Melayu dan kain sarung lusuh. Peci nasional terpasang rapi di kepalanya. hidungnya menahan kaca mata tebal. Tas bahan kain menggantung di lehernya. Bapak itu Tergopoh-gopoh berjalan dengan dibantu dua tongkat, kiri dan kanan. Dia melewati mobil-mobil mewah di halaman kantor DPRD itu.

Dengan sekuat tenaga, dia naiki jenjang depan gedung DPRD. Setelah tiba di pintu masuk, dia kelihatan ragu. Dia terhenti dan mondar mandir selama kurang lebih 15 menit di pintu itu.

Saat dihampiri Harian Vokal, dia mulai angkat bicara. "Apa orang cacat seperti saya ini boleh menemui wakil rakyat, nak?" tanyanya dengan nada yang amat lirih.

Syaher Jamil, begitu nama Bapak yang telah berusia 58 tahun itu.  Bapak asal Batu Basurek Bangkinang itu mulai bercerita;

Dulu hidupnya bertani. Ada kebun yang digarapnya di sekitar Panam-Pekanbaru. Dengan begitu, dia bisa menghidupi istri dan tiga orang anaknya. Kehidupan ini dilaluinya dalam keluarga yang amat sederhana tapi cukup bahagia.

"Rasanya, dulu aku tak pernah mengadukan nasib, mendatangi pejabat seperti hari ini. Dulu kehidupanku memang tidak mewah, namun cukup untuk makan sehari-hari, setiap lebaran datang, baju kami pun sekeluarga tak pernah tak berganti," ceritanya dengan mata yang berlinang.

Namun, Tuhan berkata lain pada dirinya. Tahun 1995, sedang mengarap kebun milik orang, dia terjatuh, kakinya patah. Tidak mendapatkan pengobatan yang berarti, akhirnya kakinya membusuk. Penderitaan ini lah yang dia tanggung hingga kaki kanannya terpaksa diamputasi dokter tahun 2003. Istri dan 3 orang anaknya, sudah pulang kekampung, dan tak pernah mendatangi Syaher lagi.

"Hidup sendiri dengan satu kaki, yang dibantu 2 tongkat ini sudah saya lalui sejak 12 tahun lalu. Saya memaksa diri saya untuk tidak merepotkan orang lain. Tapi apa daya. Tuhan maha kuasa. Ternyata kehidupan saya ditopang atas belas kasih para tetangga," katanya lagi.

Syaher Jamil yang hobi memakai baju melayu ini tinggal di sebuah pondok kecil yang dipinjamkan warga RW 8 RT 4 Kelurahan Tuah Karya-Pekanbaru. Dia mengaku tidak kuat lagi. Sudahlama dia hendak mengadukan nasinya ke DPRD. Tapi niat itu belum pernah dilakukannya karena dia mengaku belum berani. Namun, kali ini dia berusaha mendatangi kantor DPRD provinsi Riau.


"Aku tak hendak mengadukan nasib ke wakil Rakyat. Tapi aku merasa malu. Apakah patut aku berada di gedung ini sekarang? Maksud ku kesini bukan untuk meminta belas kasih dari pejabat di sini. Aku hanya ingin mengadukan nasib saja. Aku tidak punya siapa-siapa lagi. Tenaga tidak kuat untuk bekerja lagi. Kalau dikasihnya alhamdulillah, kalaupun tidak dikasih aku tetap bersyukur asalkan keluhan aku ini ada yang mendengar," lirihnya.

Dia juga mengaku tidak punya keahlian selain bertani. dikataknnya, pendidikannya hanya beberapa tahun saja di Sekolah Dasar. Namun demikian, dia tidak ingin lagi menyusahkan tetangganya. Dia merasa kalau sudah terlalu lama hidupnya merepotkan orang lain. "Sudahlah pondok dipinjamkan orang untuk berlindung dari panas dan hujan, makan dan uang pun diberi tetangga," katanya.

Kalau bisa, ada yang memberikannya sedikit modal, untuk membuka lapak atau berjual kecil-kecilan di pinggir jalan. Hal itu diutarakannya kepada Harian Vokal. Dia ingin berusaha di sisa usianya ini. Untuk bisa menyalurkan keinginannya itu, tentu pilihannya kepada wakil rakyat. Berapalah modal untuk membuka lapak sekedar berjualan rokok dan kacang-kacangan di pinggir jalan.

Namun demikian, hari itu bukanlah hari yang beruntung bagi Syaher Jamil. Dari siang -hingga sore, dia tak kunjung bisa menemui satupun anggota DPRD. Dan, tidak satupun pula orang yang mempedulikannya. Akhirnya dia pulang dengan tangan hampa.  Tetapi, dia masih bertekad, akan  kembali mendatangi kantor DPRD untuk mengadukan nasibnya.

Warga Pulau Padang; Sepekan di DPRD Riau, Sudah itu Bakar Diri Di Istana


Warga Pulau Padang kembali membangun tenda di depan kantor DPRD Riau, Senin (25/6). Rencananya, hingga sepekan ke depan tetap di Pekanbaru sambil membagikan selebaran dan menyampaikan ancaman bakar diri kepada masyarakat Riau. Setelah itu, baru mereka akan bertolak ke Istana Negara di Jakarta untuk melakukan aksi bakar diri.

Dikatakan ketua Serikat Tani Riau (STR), Muhammad Riduan, pihaknya telah mempersiapkan 10 orang warga pulau padang untuk melakukan aksi bakar diri itu. Tujuh orang di antaranya sudah mendapatkan izin dari keluarganya. Sementara 3 orang lagi masih dalam meminta restu dengan anak istri beserta sanak familinya.

Adapun 7 orang tersebut adalah M. Riduan (27) warga Bagan Desa Melibur, Ahli Wahyudi (28) warga Desa Anak Kamal, Syafrudin (38) warga Desa Lukit, Swagiyo (40) warga Mengkirau, Amri (41) warga kelurahan Teluk Belitung, Joni Setiawan (34) warga desa Mekar Sari dan Jumani (28) warga Bagan Melibur.

Aksi Pembakaran diri tersebut masih terkait dengan Surat Keputusan No.327/2009 tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) kepada RAPP pada pertengahan 2009 di Pulau Padang. Hal tersebut, telah merugikan masyarakat. Lebih dari 2000 hektare hutan milik warga di Pulau Padang habis dibabat PT. RAPP.

Sejak lahirnya SK 327/Menhut-II/2009, masyarakat Pulau Padang sejak Desember 2009 lalu hingga saat ini secara berkesinambuangan melakukan penolakan atas beroperasinya PT. RAPP. Penolakan dengan berbagai cara sudah ditempuh, baik tingkat kabupaten, propinsi dan bahkan sampai adanya aksi jahit mulut dan kemah massal masyarakat Pulau padang di depan gedung DPR RI. Namun, kata dia hingga kini belum terlihat adanya tanggungjawab pemerintah. 

"Kami melihat Pemerintah Daerah (Pemda) tidak lagi berpihak pada warganya. Sudah berbagai upaya kami lakukan untuk memperjuangkan hak-hak kami. Hal tersebut justru membenturkan kami sebagai warga dengan penegak hukum, " ujar Muhammad Riduan.

Lanjutnya, aksi bakar diri bukanlah sebuah pilihan, namun keniscayaan karena ulah pemerintah yang tidak punya rasa keadilan. Ketika warga dibenturkan dengan aparat keamanan, perusahaan akan terus berdiri dan melanjutkan aktifitasnya.

"kami tahu aksi bakar diri ini merugikan pribadi kami. Tapi kami tidak punya pilihan lain. Ini
kami lakukan supaya tidak ada lagi korban berjatuhan di Pulau Padang. Biarlah kami membakar diri kami dari pada alam kami terus diguras," katanya lagi.

Saat ditanya tentang pembiayaan, mereka bersumpah kalau tidak ada penyumbang dana dari pihak yang
berkepentingan. Mereka melakukan aksi berhari-hari di Depan Gedung DPRD Riau dan akan melanjutkan perjalanan ke Istana Negara, untuk mengeksekusi pembakaran diri, M. Riduan bersumpah kalau dana itu murni swadaya masyarakat Pulau Padang.

Dikatakannya, berhari-hari dan berbulan-bulan, masyarakat pulau padang menabung yang kemudian dikumpulkan di masjid-masjid hanya untuk mendukung aksi tersebut. Katanya, tidak satu persen pun perjuangan ini demi kepentingan pribadi, atau kelompok lain. 

"Aksi kami murni karena mengutuk ketidakadilan. Jika anda masih curiga dengan kami, silahkan datang sendiri ke Pulau Padang, tanya sama warganya," kata M. Ridwan lagi.

Selanjutnya, mereka menekan dan menitik beratkan bahwa presiden SBY adalah orang yang paling harus bertanggungjawab jika nantinya aksi bakar diri "10 nyawa untuk SBY" benar-benar dilakukan oleh petani pulau padang.

Syafrudin Saan, anggota DPRD Riau mendukung perjuangan masyarakat tersebut namun tidak dengan cara membakar diri. Karena, menurutnya, membakar diri sama saja dengan merugikan diri sendiri.

"Memang kita dituntut untuk berjuang sampai mati, tapi jangan bunuh diri kita. Saya tidak setuju masyarakat melakukan itu. Tapi jika  memperjuangkan hak sampai titik darah penghabisan, saya setuju," kata Syafrudin Saan.

Dia mengharapkan agar aksi bakar diri itu tidak terjadi. Dia juga meminta kepada pemerintah agar tuntutan masyarakat Pulau Padang kabulkan.

"Tuntutan masyarakat Pulau Padang adalah hak mereka. Pemerintah  harus memberikan hak mereka
tersebut sebelum aksi bakar diri di depan istana benar-benar dilakukannya," pungkas Syafrudin Saan. (ynl)


Minggu, 24 Juni 2012

Optimalisasi Guru Konseling di Sekolah

Oleh: Mayonal Putra

5 Juni 2012 - 09.01 WIB > Dibaca 1.213 kali


Sekolah sebagai wadah dan lembaga pendidikan, tidak serta-merta bertanggung jawab untuk mengenbangkan aspek kognitif semata.

Kognitif, afektif dan psikomotorik seorang siswa harus seimbang sehingga hasil pendidikan benar-benar mencapai sasaran.

Namun, sistem pendidikan, kadang kala membuat sekolah “memaksa” untuk lebih mengembangkan satu aspek saja, yakni kognitif. Karena, ukuran keberhasilan sekolah secara nasional dinilai dari hasil ujian akhir saja.

Penilaian yang bersifat kepribadian tidak lagi menarik.  Hasil pendidikan seperti ini cenderung bersifat materialis, dan mengabaikan attitud peserta didik.  Perihal moral-spiritual berada pada urutan bawah.

Adalah hal yang wajar ketika siswa nakal, egois dan rentan menjadi pembicaraan miring mempunyai IQ yang tinggi. Sedangkan siswa yang penurut, mematuhi peraturan sekolah dan selalu patuh, menyandang IQ yang lebih rendah.

Memang klausul ini tidak 100 persen benar, tetapi nyata adanya. Realitas ini harus dipecahkan untuk menjadikan pendidikan benar-benar berkarakter.

Secara sederhana tugas dan tanggung jawab “sekolah” adalah pencapaikan tiga aspek individu (kognitif, afektif dan psikomotorik) dengan berbagai pengayaannya.

Masing-masing sekolah mesti menciptakan formula keseimbangan tersebut dan menggiring siswa untuk menyelaraskan struktur kepribadian individu, yakni ego dan super ego.

Harapan Terhadap Pendidikan
Harapan dan kontribusi pendidikan Indonesia, terangkum dalam UU Sisdiknas tahun 2003 pasal (3), yang sarat akan idiologi bangsa, moral-spiritual dan keahlian individu.

Pencapaian ini, tidak bisa dilakukan sepenuhnya oleh guru mata pelajaran. Dewasa ini, tanggung jawab guru mata pelajaran seperti telah terpisah dengan tanggung jawab “sekolah”, yaitu agar siswa pandai dengan mata pelajaran yang diajarkannya.

Di sinilah letaknya peranan besar dan fungsi guru pembimbing/bimbingan konseling.

Bagaimana bisa mengembangkan karakter peserta didik, mengoptimalkan potensi serta meminimalisasi masalah peserta didik, bila sekolah tidak mengarah kepada harapan pendidikan itu.

Dalam hal ini, peranan besar guru konseling sudah disadari oleh pemangku kepentingan bangsa ini.

Guru pembimbing/bimbingan konseling adalah bagian integral dari pendidikan itu sendiri, yang mempunyai hak penuh untuk pengembangan mutu pendidikan, yang mempunyai tugas yang berbeda dengan guru lain, namun dengan tujuan yang sama-sama mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pengakuan bahwa guru pembimbing adalah bagian integral dari pendidikan, dicantumkan dalam UU Sisdiknas 2003.

Kebutuhan pemerintah terhadap guru pembimbing yang benar-benar berasal dari Fakultas Pendidikan/Tarbiyah dengan Jurusan/Prodi Bimbingan Konseling, akhir-akhir ini meningkat.

Tetapi, masih terkesan bahwa kebutuhan itu hanya sebagai kebutuhan pemerintah, bukan kebutuhan sekolah.

Pandangan beberapa tahun silam, bahwa guru konseling hanya sebagai pelengkap di sekolah, penyelesai masalah kenakalan siswa dan menggelar razia, sehingga siswa menjadi benci dan takut dengan guru konseling.

Pandangan itu belum lenyap dari kaca mata sebagian  guru-guru mata pelajaran dan bahkan kepala sekolah sendiri. Sehingga kerap guru pembimbing tidak melaksanakan peran dan tugas ke-BK-an yang sesungguhnya.

Pengertian Guru Konseling
Guru konseling adalah guru yang mempunyai tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh dalam kegiatan bimbingan dan konseling terhadap sejumlah peserta didik.

Layaknya orang yang bertugas dan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan bimbingan dan konseling di sekolah, mulai dari penyusunan program sampai tindak lanjut dari pelaksanaan program itu, seharusnya didukung dan tidak boleh diintervensi oleh pihak-pihak lain.

Tugas dan tanggung jawab guru konseling tidaklah jauh berbeda dengan guru mata pelajaran lainnya, hanya saja perbedaannya terletak pada metode dan tata pelaksanaannya.

Sesuai dengan ketentuan SKB Mendikbud dan Kepala BAKN No 0433/P/1993 dan No 25 tahun 1993 tentang petunjuk pelaksanaan fungsional guru dan angka kreditnya dijelaskan bahwa guru konseling adalah guru yang mempunyai tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh dalam kegiatan bimbingan dan konseling terhadap sejumlah peserta didik.

Sejatinya, seorang guru pembimbing, bertanggung jawab terhadap 150 orang siswa. Maka, ketika satu sekolah mempunyai siswa 700-800 siswa, guru pembimbing yang benar-benar dari bimbingan konseling harusnya berjumlah lima orang.

Tugas Guru Konseling
Karena guru pembimbing tidaklah sama dengan guru mata pelajaran, maka wawasan guru pembimbing harus luas, senantiasa inovatif, kreatif, dinamis, luwes dan bersahaja.

Sebagai pelaksana dan penyelenggara kegiatan bimbingan dan konseling di sekolah, guru pembimbing seharusnya memiliki berbagai pengetahuan, pemahaman serta keahlian di bidang bimbingan dan konseling itu sendiri, serta perkembangan baik keilmuan ataupun kejadian yang berhubungan dengan pengayaan metode serta penambahan wawasan terhadap siswa asuh, sehingga layanan bimbingan dan konseling dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan sebagaimana yang tercantum dalam SK Menpan No 84/1993 pasal (3) bahwa tugas pokok guru pembimbing itu adalah menyusun program bimbingan konseling, melaksanakan program, evaluasi pelaksanaan program, analisis hasil pelaksanaan bimbingan dan konseling dan tindak lanjut dalam program bimbingan dan konseling terhadap peserta didik yang menjadi tanggung jawabnya.

Peran guru konseling adalah, pertama, peranan dalam bimbingan.  Tugasnya adalah membuat catatan mengenai peserta didik untuk dipelajari, mendapatkan kepercayaan dari individu yang bersangkutan, menjelaskan masalah-masalah yang dihadapinya terutama kesulitan di sekolah, harus memimpin dan memberikan saran-saran pemecahan masalah yang positif, dan sebagainya.

Kedua, guru konseling dalam pengawasan organisasi bimbingan dan konseling. Dalam hal ini guru konseling harus memiliki kemampuan untuk memahami dan mengetahui sifat-sifat seseorang.

Selain itu guru konseling harus simpati dan bersifat objektif, harus tajam perasaannya dan memancarkan cahaya yang dapat membuat jiwa seseorang bergelora, senang dan gembira dan selalu bijaksana dalam melayani orang lain.***

Mayonal Putra Aktif di  Institute of Social Empowerment and Development, Pekanbaru.

Rabu, 20 Juni 2012

Jembatan Siak IV, Anggaran 460 Miliar Terkendala di KPA

PEKANBARU (VOKAL)--Pembangunan jembatan Siak IV yang direncanakan rampung jelang PON XVIII Riau, ternyata diundur. Karena anggaran senilai Rp 460 Miliar masih terkendala di Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Hal itu disampaikan kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU), SF. Haryanto dalam rapat dengar pendapat dengan komisi C, DPRD Riau, Rabu (20/6) di ruang komisi C, DPRD Riau.

"Sebenarnya kita telah minta agar anggaran pembangun jembatan Siak IV ini segera dicairkan. Namun, hingga sekarang belum juga. Kita berharap kementrian PU berurusan langsung dengan KPA," kata SF. Haryanto.

Selanjutnya, SF. Haryanto mengaku kalau kesalahan terbengkalainya pembangunan jembatan Siak IV tersebut bukan pada Dinas PU provinsi Riau. Oleh karenanya, dia meminta kepada DPRD Riau dana antisipasi supaya pembangunan fisik jembatan terus berjalan. Dana antisipasi itu, sebagaimana permintaan Kadis PU, diambil dari APBD Provinsi. Caranya, dengan memasukkan dulu dalam RAPBD Perubahan 2012 yang bakal dibahas dewan dalam waktu dekat ini. Alasannya, supaya pembangunan tidak terhenti yang kemudian pemakaian dana APBD provinsi tersebut diganti kembali bila mana dana APBN sudah cair untuk jembatan tersebut.

Sekretaris komisi C, DPRD Riau Abu Bakar Siddiq menolak tawaran kadis PU tersebut. Abu menilai tidak mudah mengalihkan penggunaan anggaran meski untuk pembangunan jembatan Siak IV. Dia juga mempertanyakan prosedur seperti apa yang akan ditempuh untuk memakai APBD dalam penanggulangan dana sebesar Rp 460 Miliar itu.

"Antisipasi anggaran dengan menggunakan APBD Provinsi ini tidak mudah. Bahkan, hal tersebut tidak mungkin dilalukan. APBD ini tak bisa lagi dialihkan. Ini hal yang sangat rentan. Lagi pula, APBD ini juga untuk pembangunan lain," kata Abu.

Dinas PU dan Dewan Berbeda Pendapat

Terdapat perbedaan antara Dinas Pekerjaan Umum (PU) dengan DPRD Provinsi tentang penyelesaian jembatan Siak IV. Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU), SF Haryanto mengatakan pembangunan jembatan Siak IV bakal selesai akhir tahun ini. Sedangkan ketua Komisi C, DPRD Riau, Aziz Zainal menegaskan pembangunan jembatan Siak IV tersebut belum bisa selesai kahir tahun ini.

"Jembatan Siak IV akan selesai akhir tahun. Bulan Desember itu pembangunan sudah rampung. Kita hanya terkendala dana saja. Jika ada penanggulangan dana, saya jamin akan selesai desember mendatang. Materialnya pun sudah lengkap," kata SF Haryanto.

Berdasarkan pertemuan komisi C, DPRD Riau dengan kontraktor utama proyek pembangunan, penyelesaian jembatan tersebut harus diundur hingga Maret 2013 tahun depan. Dia juga meragukan pendapat Kadis PU menyatakan pembangunan jembatan Siak IV Selesai akhir tahun.

"Informasi yang saya dapat langsung dari kontraktor utama pembangunan jembatan itu. Bagaimana bisa selesai bulan Desember mendatang. Sedangkan besinya saja masih di Cipinong. Saya pesimis dengan ucapan Kadis PU," terangnya kepada wartawan usai hearing.

Tidak sinerginya Dewan dengan Dinas PU selama ini juga diakui Aziz Zainal. Dia menilai dinsa PU dengan pihaknya sering terjadi miskomunikasi sehingga berbeda informasi pada setiap pembangunan di Riau. Padahal, Dinas PU provinsi adalah mitra kerja komisi C DPRD Riau. Sebab, Pembangunan merupakan domain kedua belah pihak.Aziz Zainal, selaku ketua komisi menjadwalkan kembali pertemuan dengan Dinas PU. Dikatakannya, minggu depan, pihaknya memmanggil dinas PU kembali guna membahas jembatan siak IV.

"Kita panggil kembali Dinas PU paling lambat minggu depan. Supaya tidak terjadi lagi miskomunikasi. Kita akan minta skedul yang benar-benar fiks penyelesaian jembatan tersebut dari Dinas PU."pungkas Aziz Zainal.(ynl)





Senin, 18 Juni 2012

Mengenang Syeikh Abbas Padang Japang, Ulama Besar Minang yang hampir Terlupakan


Mengenang Syeikh Abbas Padang Japang,
Ulama Besar Minang yang hampir Terlupakan

Oleh: Mayonal Putra

Refleksi sejarah Padang Japang— yang terkenal kemana-mana itu—tidaklah kita rasakan sekarang ini. Dulu, nuansa intelektual dan agamis, mengurat-mengakar tumbuh menjadi karakter masyarakatya, sehingga sempat bertahun-tahun lamanya nagari itu disebut-sebut orang. Para orang tua di semenanjung Pulau Sumatera ini, rindu menyekolahkan anaknya di kampung itu.
Konon kabarnya, Ir. Soekarno pernah datang menemui Syeikh Abbas Abdullah, di perguruan Darul Funun El Abbasiyah Padang Japang, tahun 1943 lalu. Bung Karno, begitu panggilan akrab presiden pertama RI itu hanya meminta petuah dengan mengajukan pertanyaan;
“jika kelak Indonesia benar-benar telah merdeka, apakah kira-kira bentuknya negara ini?”
“Negara yang hendak didirikan kelak haruslah berketuhanan yang maha esa,” jawab Syeikh singkat.
Bisa jadi hal ini pulalah inspirasi bagi perumus pancasila di negara yang kemudian bermekaran bunga-bunga korupsi. Selama bangsa dan negara ini masih ada, dan selama pancasila menjadi dasar, tak seharusnya (kita) melupakan Syeikh Abbas Padang Japang.

Jaranglah kita tahu bagaimana cerita sebenarnya. Saya tidak mendapatkan data pasti. Namun yang jelas, Padang Japang sangat berjasa dalam menumbuh-kembangkan ilmu pengetahuan dan membela kemerdekaan Republik Indonesia ini.
Namun, ada cerita lain yang bergulir dari mulut ke telinga di tengah masyarakat nagari itu. Ada yang mengatakan bahwa Soekarno pernah datang untuk belajar di sekolah Syeikh Abbas Abdullah itu. Ada pula yang mengatakan, Soekarno berpacaran dengan gadis nagari itu, kemudian gadis itu ditinggalkannya setelah ia berangkat kembali ke Jakarta.
Memang, sekarang, ada perempuan tua yang agak cacat mental, yang dipercayai orang-orang bahwa dialah pacar Soekarno dulu. Kebenaran cerita yang berkembang di tengah masyarakat itu sulit juga di percaya. Haruslah diluruskan, bahwa kedatangan Ir.Soekarno, hanya meminta saran dan pituah Syeikh Abbas Abdullah yang mendunia ilmu dan namanya ketika itu.

Sejarah

Syeihk Abbas Abdullah yang lebih di kenal dengan Syeikh Abbas Padang Japang, dalam buku yang pernah diterbitkan oleh Islamic Centre Sumatra Barat, tahun 1981 bahwa ia termasuk salah satu dari 20 ulama terkemuka Minang Kabau. Popularitasnya sekaliber dengan H. Agus Salim, Syeihk Sulaiman Arrasuli  (Inyiak Canduang), Ahmad Khatib Alminangkabawi, Imam Masjidil Haram yang terkenal itu, buya HAMKA dan sederatan ulama terkemuka lainnya. Ia dilahirkan di Padang Japang, Kabupaten Lima Puluh Kota pada tahun 1883. Ayahnya Syeikh Abdullah yang ikut berjuang bersama Tuanku nan biru dalam perang Paderi yang di pimpin oleh Tuanku Imam Bonjol.

Sejak berumur 13 tahun beliau memberanikan diri mencapai keinginannya untuk menjadi ulama besar. Maka berangkatlah ia ke tanah suci bersama pamannya yang ingin menunaikan ibadah haji. Ketika syeikh berumur 21 tahun, setelah banyak belajar dari ulama besar di tanah suci, muncullah kerinduannya untuk pulang ke kampung halaman. Delapan tahun ia di tanah suci, Mekkah, ia pun pulang kampung. Membawa kitab-kitab besar. Menjadi bahan tertawaanlah bagi orang-orang sekampungnya ketika itu, banyak mempertanyakan untuk apa kitab-kitab besar ini.

Semangatnya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan tidak pernah luntur. Ia pun menjadi guru di sekolah ayahnya. Ketika itu masih sangat sederhana, sistem halaqah di dalam masjid. Syeihk Abbas tidak puas dengan sistem itu, ia ingin mengubah sistem dari tradisonal menjadi sistem yang lebih modern. Ia berangkat ke Bukittinggi menemui Syeihk Ibrahim Musa Parabek, dilanjutkannya perjalanannya ke Padang Panjang menemui Syeikh Abdul Karim Amrullah yang kemudian lebih dikenal buya Hamka, dan syeikh Thaib Umar di Sengayang Batu Sangkar. Dapatlah kata sepakat bahwa sistem halaqah harus diganti dengan sistem klassikal dengan kurikulum yang teratur dan bahan bacaan yang mendalam.

Kemudian, nama sekolahnya diganti dengan Madrasah Thawalib Padang Japang, setelah dapat bekerja sama dengan sekolah di Parabek, Padang Panjang dan Sungayang yang berada dalam naungan oragnisasi Sumatera Thawalib. Pembaharuannya ketika itu di sambut hangat oleh masyarakat Minang, walupun ada bertentangan dengan Syeikh Saad Mungka, Syeikh Sulaiman Arrasuli Canduang, dan Syeikh Muhammad Djamil Jaho, dan syeikh yang menganut ilmu tarekat lainnya.
Syeikh Abbas Padang Japang pun ingin mengubah paradigma masyarakat, bahwa memakai jas, dasi dan sistem belajar klassikal bukanlah hal yang diharamkan agama. Sebab, pemahaman masyarakat sebelumnya “haram” karena meniru gaya kolonial Belanda yang non muslim.
Syeikh Abbas merasa belum cukup ilmu dalam pertentangan pendapat itu, maka ia putuskanlah untuk berangkat lagi ketanah suci. Dalam perjalanan yang kedua ini , Syeikh Abbas mengunjungi negara-negara Islam lainnya, seperti Syria, Lebanon dan bahkan sekular Swiss. Di Swiss itulah beliau bertemu dengan Mahmud Yunus pada tahun 1924. Beliaupun melanjutkan perjalanan ke Mesir, Universitas Islam terkemuka, Al Azhar. Disanalah ia banyak belajar, walaupun hanya sebagai Mutsami’ namun beliau aktif dalam organisasi.

Setelah banyak mendapat ilmu pengetahuan, iapun pulang ketanah air. Sebelum sampai di Padang Japang, ia berkunjung ke pesantren-pesantren di tanah Jawa. Perjalanan itu mempertemukannya dengan pemimpin Islam terkemuka, H. Agus Salim.

Sesampainya di Padang Japang, ia menikah dengan siti Hulimah, gadis senagarinya. Rasanya, telah lama benar ia membujang dan berpetualang ke manca negara dalam mencari ilmu pengetahuan.
 Syeikh Abbas melihat perkembangan sekolah-sekolah yang didirikan Belanda seperti HIS, MULO, AMS dan sebagainya, hanya teruntuk bagi bangsawan dan orang- orang kaya saja. Tersentaklah hati Syeikh Abbas untuk menggerakkan kembali Madrasah Thawalibnya dulu yang pernah ia tinggalkan. Perubahan sistempun terjadi, alat-alat banyak bertukar sesuai dengan pengalamannya di Al Azhar, Mesir.
Hal tersebut membuat perguruan Thawalibnya menjadi pesat dan menjadi pusat pendidikan agama terkemuka dan modern di Ranah Minang. Padang Japang ramai di kunjungi orang dari berbagai daerah untuk mencari ilmu agama. Alumninya tersebar keseluruh pelosok negeri dengan berbagai keahlian. Untuk mengemukakan alumninya, dapat di sebutkan Zainudin Labay El Yunusi, yang kemudian menjadi ilmuwan yang dikenal dengan filosof dari Timur. Zainudin Hamidiy yang berhasil mendirikan Ma’had islami di Payakumbuh dan Nashrudin Thaha yang berperan sebagai ulama, pengarang dan politikus yang jakhirnya menjadi menantu Syeikh Abbas.

Pada tahun 1930, Thawalib Padang Japang menyatakan keluar dari Sumatera Thawalib yang berganti nama menjadi Persatuan Muslimin Indonesia atau PERMI setelah berlangsungnya kongres Sumatera Thawalib. Maka Syeikh Abbas mengganti nama madrsahnya menjadi madrasah Darul Funun El Abbasyiyah, tidak berinduk lagi  kepada PERMI.
Perkembangan pun semakin meningkat, mengundang orang berdatangan dari luar daerah bahkan luar propinsi. Kolonial Belanda yang memang tidak pernah senang dengan pribumi, keiri-dengkian atas prestasi syeikh Abbas membuat Belanda berang, merasa tertandingi. Maka dituduhkanlah hal yang macam-macam ke Syeikh Abbas. Terjadilah penggeledahan pada tahun 1934, yang mengakibatkan terhentinya kegiatan madrasah untuk beberapa saat lamanya. Delapan tahun setelah penggeledahan itu, barulah Soekarno tergerak hatinya untuk datang meminta saran dan pendapat Syeikh Abbas.

Padang Japang Berjasa

Sesudah kemerdekaan, bermacam-macam barisan rakyat untuk membela kemerdekaan bermunculan. Syeikh Abbas pun pernah diangkat menjadi Imam Jihad untuk daerah Minang Kabau. Pada masa agresi militer Belanda II, tahun 1947-1949, Darul Funun pernah menjadi pusat pemerintahan propinsi. Mr. Teuku Muhammad Hasan, gubernur Sumatera Tengah ketika itu, berkantor di Darul Funun itu. Setelah terbentuknya PDRI, Darul Funun menjadi kantor mentri PPK dan mentri Agama PDRI. Ketika Muhammad Natsir dan Dr.J.Leimeina menjemput ketua PDRI, Mr.Syafrudin Prawiranegara, Darul Funun menjadi pusat pertemuan, orang-orang membicarakan dan merumuskan nasib tanah air ini, Indonesia ini, di situ di Darul Funun itu.

Darul Funun Kini

Syeikh Abbas Abdullah Padang Japang, meninggal pada tahun 1957. Orang-orang terkejut, perih yang sangat dalam, Minang Kabau menangis kehilangan putra terbaiknya, Darul Funun kehilangan pengasuhnya, ya, kehilangan separuh nafasnya.

Amatlah miris hati kita, melihat sekolah yang diperjuangkan seorang pahlawan, yang tak pernah ada nama jalan seperti namanya di Ranah Minang ini. Hampir tidak ada seorangpun dari kampung Padang Japang itu, anaknya bersekolah di sana sekarang, dan siswanya pun boleh dihitung pakai jari tangan saja. Dunia telah meodern. Semuanya serba digital, canggih. Sekolah-sekolah modern buatan pemerintah, saling berpacu menjadi sekolah internasional, dengan peralatan, sarana dan prasarana yang serba canggih pula, uang sekolahnya pun mahal.
Seperti HIS, MULO, AMS dan sederetan sekolah Belanda lainnya, yang teruntuk buat orang kaya-kaya saja. Sementara keberadaan darul funun El abbasiyah kini semakin di pinggirkan, sekolah yang pernah mengangkat harkat martabat anak-anak miskin, sebagai sebuah perpacuan intelektual dengan penjajah dulu, kini teredusir oleh arus globalisasi, arus yang membuat generasi Padang Japang menjadi “latah”. Sejarah telah bergulir, dengan pelaku dan latar yang berbeda, namun, penjajahan pendidikan itu sama saja dengan kolonial.
Sudah lama sekali Syeikh Abbas meninggal dunia, tahun 1957 lalu, namun ia tetap hidup dalam sanubari kita. Hanya bagi kita yang tahu sedikit saja. Atau sejarah ini tidak diturunkan oleh ninik mamak, bapak, atau ibu kepada anak-kemenakan mereka. Sehingga nyaris kita merasakan Syeikh Abbas benar-benar telah tiada. Nyaris kita kehilangan benar dan benar-benar melupakannya.