Begitu Ironis. Kusut
masai perizinan Pembangunan Riau Town Square (Ritos) di kawasan Bandar Seni Raja Ali Haji (Bandar
Serai) belum juga jelas ujung pangkalnya. Sementara pembangunan terus
dilakukan. Rapat dengar pendapat(hearing) lanjutan antara DPRD Riau dengan
Setraprov dan pemerintahan kota Pekanbaru serta perusahaan kontraktor, PT.
Bangun Megah Mandiri Propertindo, Senin (4/6) pekan lalu, di medium DPRD Riau
dapat dikatakan sama dengan nihil. Karena, masing-masing perwakilan instansi
terkait, tidak berani mengemukakan sikap yang tegas. Apakah Ritos terus
dibangun atau dihentikan? Rapat tanpa kesimpulan itu menyematkan kekecewaan
pada wajah DPRD Riau.
Hal tersebut
terus ditanggapi oleh DPRD provinsi. Hasilnya, melalui komisi A dan Komisi B ,
DPRD Riau akhirnya merekomendasikan agar proses pembangunan dihentikan untuk
sementara waktu. Tetapi, rekomendasi itu boleh disebut sama dengan tunggul di
atas abu. Sekali angin berhembus, abu hilang entah kemana. Bahkan, Pemprov Riau
sama sekali mengangkangi rekomendasi
tersebut. Apa jadinya jika DPRD tidak dianggap. Itu tindakan penyepelean rakyat.
Karena, DPRD adalah perpanjangan tangan masyarakat Riau.
Dewasa ini, Jika
kita cermati berita di media masa, proses pembangunan pusat belanja dengan
rencana 17 lantai itu sungguh sangat mengherankan. Kenapa tidak, Ketua komisi B
DPRD Riau, T. Rusli Ahmad, jauh-jauh hari sebelumnya sudah mengatakan kepada
sejumlah media bahwa proses pembangunan tersebut tidak memiliki payung hukum.
Tetapi pernyataan tersebut dibantah oleh Biro Perlengkapan Setdaprov Riau.
Pemprov mengatakan bangunan tersebut sudah memiliki IMB sementara dan izin
prinsip dari Pemko Pekanbaru. Dalam hal ini, Saya meragukan apa kekuatan IMB sementara dan izin prinsip? Ini proses pemudahan
demi ‘segerobak ‘ proyek Pemprov dan Pemko
atau permainan apa? Sehingga, banyak pihak yang bertanya, seperti apa Pemprov
Riau dan Pemko Pekanbaru memahami proses hukum? Padahal IMB tidak bisa terbit
kalau surat peruntukan tanah belum kelar.
Bahkan, DPRD
Riau sudah mengatakan di media massa kalau pembangunan itu melanggar hukum.
Lagi pula, sudah nyata-nyata kawasan Bandar
Serai (eks. MTQ) adalah kawasan untuk pengembangan kebudayaan Riau. Yayasan Seni
Raja Ali Haji (Serai) sudah 12 tahun lamanya menghuni dan bekerja untuk
pengembangan kebudayaan di sana. Tiba-tiba, kawasan tersebut mau disulap
menjadi pusat bisnis dan komersial. Ambiguitas sikap pemangku-kepentingan,
sebenarnya melemahkan peran kebudayaan. Bahkan dapat disinyalir bangunan
tersebut meredusir kebudayaan melayu yang tercinta ini.
Sebelumnya,
Komisi A dan Komisi B, DPRD Riau, dalam rapat tersebut mendesak pemprov Riau
dan Pemko Pekanbaru untuk menunda pembangunan selama perizinan belum selesai.
"Kami tidak mau terseret dengan hukum," tegas ketua Komisi B, DPRD
Riau, T.Rusli Ahmad, seperi yang saya kutip di salah satu pemberitaan media
lokal. Kemudian, Rusli juga mengatakan bahwa perobohan tiga (3) anjungan di
kawasan Bandar Serai oleh kontraktor lokal, pun belum dibayar pihak pengembang
Ritos. Untuk itu, DPRD meminta agar PT. Bangun Megah Mandiri Propertindo segera
membayar hutang-hutang tersebut.
Rusli
menyebutkan, karyawan kontraktor lokal yang telah bekerja untuk meruntuhkan
tiga anjungan bangunan kebudayaan untuk pembangunan Ritos, sudah dua kali
mendatangi kantor DPRD. Para karyawan, kata Rusli, menuntut haknya yang belum
diberikan PT. Bangun Megah Mandiri Propertindo.
Menanggapi hal
tersebut, Direktur Utama (Dirut) PT. Bangun Megah Mandiri Propertindo, Haryo
Bimo berjanji untuk segera melunasi hutang kepada kontraktor lokal sebagai
pihak ketiga.
Tentang IMB sementara dan izin prinsip tadi,
ditanggapi pula oleh Ketua komisi A, DPRD Riau H. Masnur. Menurutnya, izin
prinsip yang diberikan Walikota Pekanbaru bukan merupakan tindakan hukum. Itu
hanya berdasarkan kemurahan hati Walikota Pekanbaru saja. Hukum dan perasaan
sebetulnya harus terpisah untuk melahirkan kebijakan.
Amat
disayangkan, nyaris tidak ada sikap penolakan dari unsur dan lembaga apapun.
Memang, dalam tulisan ini saya tidak menghendaki ada percekcokan tanpa arti.
Hanya saja, di surat tanah, peruntukan tanah Bandar Serai itu adalah untuk
pengembangan kebudayaan Riau, bukan sebagai pusat bisnis dan komersial, hotel,
kolam renang dan arena permainan lainnya. Tetapi mudah saja, tiga anjungan
sudah diratakan dengan tanah, meski masih bermasalah perizinannya. Penolakan
yang saya maksud adalah Penolakan demi mewujudkan kebudayaan. Hal ini hendaknya
datang dari pemangku adat, seniman dan budayawan sebagai perpanjangantangan
masyarakat yang cinta akan kebudayaan itu sendiri. Ini nyaris tidak ada. Apakah
pihak Pemprov dan Pemko serta pemangku kepentingan lainnya mengemas isu sedemikian
rupa sehingga tidak banyak dari unsur masyarakat yang peduli.
Saya sangat
merasakan kesedihan hati tokoh adat kita. H. Tenas Efendy yang pernah hadir
dalam rapat dengar pendapat (hearing)kedua bersama DPRD dan unsur Pemprov Riau.
Saya dapat mengutip apa yang disampaikannya, karena waktu rapat itu saya juga
hadir sebagai pendengar.
“Saya sangat
sedih, perih terasa. Tapi. Demi pengembangan pembangunan di Riau, biarlah.
Meskipun hati nurani saya bertentangan dengannya. Meski pun pedih perih terasa,
saya tetap diurutan paling depan menjaga marwah Riau,” ungkapnya dihapan DPRD
dan pemerintahan.
Betapa dalam
kalimatnya. Tetapi Ritos meski tanpa izin itu hingga kini diteruskan juga.
Tidak hanya itu, gencarmya pembangunan di Riau ini, mengorbankan hati nurani
tetua-tetua kita. Seperti keputusan yang disampaikan budawan Riau, Al Azhar.
Pihaknya menolak pembangunan Ritos di Bandar Serai, baik sebagian apalagi
keseluruhan. Karena, bangunan itu adalah pusat bisnis dan komersial. Meski pada
akhirnya, budawan kita ini melunak. Dia menyebutkan, jika benar tidak dapat
lagi dibatalkan, biarlah. Dia juga mengajukan sarat yang intinya, bangunan
Ritos harus bersinergi dengan pengembangan budaya. Kemudian, arsitekturnya
harus mencerminkan nilai-nilai kebudayaan Riau.
Sikap itu
akhirnya mengatasnamakan budawan dan seniman Riau, yang ditanda tangani oleh
ketua umum H. Tenas Effendy dan ketua DPH LAMR, Al Azhar. Pemangku adat kita
mengalah demi kemajuan generasinya. Saya kira, tidak ada lagi yang paling bijak
mengenai kusut massai pembangunan Ritos selain budayawan itu. Yang mempunyai
sikap, dan menerima risiko bahwa 12 tahun yayasan Seni Raja Ali Haji (Serai) di
kawasan purna MTQ itu akhirnya mengalah selangkah untuk pembangunan pusat
bisnis dan komersial yakni Riau Town Square (Ritos).
Saya meragukan
hal ini. Permintaan untuk mensinergikan dengan kebudayaan dan bangunan yang
akan disesuaikan dengan nilai-nilai kebudayaan Riau tentu tidak punya ukuran.
Lambat laun, kebudayaan akan teredusir dari tanahnya sendiri. Jika pusat bisnis
itu terus dibangun tanpa izin yang jelas, kontroversial antara idealitas dengan
realitas, Ritos convention centre itu
akan menguras nilai-nilai kebudayaan kita.
Oleh: Mayonal Putra
(Penulis adalah Pengurus Institutte of
Social Empowerment and Development (ISED)-Pekanbaru )