Oleh: Mayonal Putra/Pekanbaru
Apa jadinya ketika suatu wilayah
tidak mempunyai warung, kalau sampai hari ini, kita masih sepakat bahwa warung
merupakan tempat berjualan barang harian, makanan dan minuman atau barang
kebutuhan lain. Pentingnya keberadaan warung, memang tidak pernah
dikonsesuskan, namun dia hidup dan selalu dibutuhkan.
“Warung”, begitu orang-orang di Pulau
Jawa menyebutnya. Kalau di Riau, warung disebut Kedai, sedangkan di Sumatera
Barat dinamakan Lapau/lepau. Meski nama dan penyebutannya berbeda di hampir
setiap daerah, namun fungsi dan maksudnya sama.
Manusia sebagai kelompok sosial,
ternyata telah memberikan arti lebih dari keberadaan warung selama ini.
Setidaknya, warung mempunyai fungsi sosial dengan jalinan hubungan emosional
masyarakat sekitarnya. Konsepsi hidup bersama yang selaras, berat sama dipikul
ringan sama dijinjing, berlaku dalam adat berwarung masyarakat. Pada setiap
daerah ternyata warung juga mempunyai arti dan bentangan sejarah yang
berbeda-beda. Sebut saja di perkampungan Melayu dan Minangkabau di Sumatra Indonesia,
misalnya. Konon, warung menjadi pusat informasi
bagi masyarakat sekitarnya. Posisi warung di sebuah wilayah boleh dikatakan
pokok bagi perkembangan fungsi sosial kemasyarakan. Kabarnya, ketika informasi
publik secara moderen belum menyentuh wilayah Melayu Riau dan Minangkabau,
kedai atau lepaulah yang menjadi iklim berita perkembangan daerah. Meski hari
ini, fungsi sosial dari keberadaan warung tersebut mulai terguras oleh
perkembangan peradaban. Hal ini juga pernah saya tulis di Harian
Singgalang-Padang: Keberadaan Lapau dalam
Masyarakat Minang (Agustus 2011).
Satu sisi, kita tentu ingin
mengembalikan fungsi sosial dari bisnis warung. Bukan mengecilkan arti
ketertingggalan pengelolaan dari aspek bisnis termutakhir, warung-warung
seperti dulu, kini mulai disulap menjadi market-market indivudual, tanpa
mengedepankan konsepsi humanis.
Sedangkan, market-market tersebut, baik
skala kecil maupun besar telah merambah di hampir setiap kabupaten kota. Tidak
sedikit pula, warung-warung warga yang dikelola secara tradisional menjadi
pilihan nomor kemudian, atau hanya semacam jalan alternatif bagi pembelinya. Di
mana pelanggan dulu, yang selalu berbagi cerita di warung-warung warga, berbagi
informasi antar sesama, tempat memusyawarahkan segala sesuatu untuk kepentingan
bersama, tempat pengembangan ide-ide dan kreatifitas, nyaris tidak ditemukan.
Patut pula kiranya, kita mempertanyakan, semangat hidup bersama yang dimulai
dari warung, kini di mana ada?. Di mana warung semacam kedai kopi yang
diceritakan Andrea Hirata dalam Dwilogi Padang Bulan? Di mana warung yang bisa
mentolerir pembeli yang bersaku tipis? Nyaris tidak ditemukan lagi. Bahkan,
orang pun enggan menyebut warung, namanya sudah mini market, atau toko-toko berbagai
merek dengan cara penjualan yang hebat. ‘Warung” seolah-olah menjadi kasta
terbawah dari kehidupan berjual beli.
Oleh karenanya, patut kita jenguk
konsep-konsep yang melahirkan fungsi sosial pada warung-warung warga. Ide ini
tentu harus selaras dan mengimbangi saingan bisnis. Berangkat dari kebutuhan
masyarakat pasar dan psikologis zaman, tentu keberadaan warung ideal harus
dibubuhi dengan berbagai pertanyaan kritis. Misalnya, bagaimana keberimbangan
fungsi sosial masyarakat yang dikoopetasi sebuah warung dengan keuntungan
dagang? Menjawab ini, pemetaan untuk mengukur tempat strategis keberadaan
warung perlu dipertimbangkan. Karena, warung—hari ini—mesti mengkoopetasi
masyarakat terdekat supaya adanya persaingan bisnis yang sehat antar pemilik
warung. Kemudian, fasilitas dan jenis barang dagangan. Apa harus menyaingi
supermarket atau mini market yang menjamur dan menguasai bisnis barang harian?
Tentu tidak harus. Sudah semestinya, ada pasokan berbagai barang sesuai
kebutuhan masyarakat yang dikoopetasinya. Selanjutnya, fasilitas yang bisa
mengakomodir pelanggan untuk membangun interaksi sosial yang bermanfaat.
Kemudian teknologi, seperti wifi, alat pendeteksi harga barang secara moderen
dan hal-hal lain menyangkut hidupnya warung secara bisnis dan sosial masyarakat
setempat.