Beberapa tahun lalu, sekitar
2005-2009, SBI di atas angin. Orang tua siswa berebut memasukkan anaknya ke
sekolah Rintisan SBI itu. Nyaris, tak ada kritikan terhadap program itu. Namun, Satria Dharma, Ketua IGI sudah
menyatakan sikap jelas untuk menolak program itu dengan alasan begitu rasional.
Bukan penulis menerima pengaruh pikiran Satria Dharma, yang telah
malang-melintang di dunia pendidikan. Akan tetapi, kemudian SBI menjadi dilematis panjang. Seperti ada
kejanggalan dan kesenjangan dengan cita-cita pendidikan. Dalam hal ini, penulis
sepakat dengan alasan Satria Dharma, yang kembali disampaikannya secara tegas tentang 10 utama
kelemahan SBI dalam petisi pendidikan di hadapan anggota komisi X DPR RI, pada
Maret lalu. Namun demikian, penulis lebih cendrung melihat dilemma itu dengan kontruksi pemikiran yang berkembang.
Bias SBI ini, jangankan siswa, guru
yang mengajar di sekolah pun merasa bangga, serasa di atas dari guru sekolah
lain. Tak dinyana, orang tua siswa merasa anaknya sudah ngeh betul. Seolah-olah, sekolah di SBI menjadi life
style dalam harkat orang-orang kelas ekonomi atas. Kontruksi yang terbangun ditengah-tengah
masyarakat, “anaknya lebih hebat”.
Konstruksi yang terbangun tanpa dikonsensuskan itu
adalah bias yang tak terelakkan. Program non regular itu, sangat besar
kemungkinannya untuk menjauhkan karakter siswanya dengan budaya nenek-moyangnya.
Sebab SBI lebih mengedepankan materialistik, dan bukan nilai-nilai. Kontruksi yang berkembang itu sarat memengaruhi karakter siswa. Apalagi siswa tingkat SMP
yang berusia 12-15 tahun. Akan cepat
sekali animo itu terkontruksi dalam dirinya. Karena, masa remaja awal 12-15
tahun adalah masa paling labil dalam diri seseorang, yang sibuk mencari siapa
dirinya. Prilaku lebih dari orang lain, akan terpola dengan sendirinya kedalam
diri siswa, lalu tumbuh selamanya.
Tentu saja kontruksi ini berpengaruh, lambat
laun lekat hingga benar-benar menjadi
karakternya. Ini membahayakan. Kalimat “semakin berisi semakin merunduk”,
ibarat padi, tidak berlaku dalam konsep ini.
Jika ini berkembang sedemikian rupa, terkontruksikan
SBI menjadi hal yang paling wah,
sedangkan sekelompok siswa yang tidak disentuh oleh sekolah internasional
menjadi terpinggir. Disinilah, sekolah
gagal menanamkan orientasi pendidikan kepada siswanya. Substansi pendidikan yang hendak dicapai, jauh
panggang dari api sedangkan sekolah bagaikan api dalam sekam. Bukankah sekolah
menanamkan nilai-nilai? Pertanyaan semacam ini, patut untuk dilempar kepada
(R)SBI.
Selama empat bulan mengamati proses
belajar mengajar di salah satu sekolah RBI di Sumatera Barat ini. Ada
kesimpulan. Sekolah SBI memang disiplin terhadap waktu, tetapi ada beberapa
kelemahan. Pertama, siswa RSBI begitu
“dimanjakan”, mempunyai fasilitas serba lengkap dan mewah. Kalau mengajar di lokal SBI mesti hati-hati
benar, jangan sampai marah-marah, karena
siswanya terpola dengan khusus. Kedua,
ada sedikit pembedaan—mungkin hanya
pemandangan yang jarang tersingkap—perhatian guru antara siswa RSBI
dengan tidak RSBI. Hal ini, cukup menyentuh sanubari dan menyinggung satu sisi
kemanusiaan kita yang paling dalam.
Anehnya, ada kasus yang tak masuk akal. Seorang ibu-ibu berseragam
jaksa ngomel-ngomel bukan karuan kepada
beberapa orang guru di sekolah RSBI. Puluhan kata-kata penghinaan berhamburan
dari mulut ibu-ibu bertubuh jangkung itu. Serasa tak berharga safari guru-guru itu
dibuatnya. Mereka diam dan sesekali saja menjelaskan dengan nada begitu santun
sambil tertunduk cemas. Begitu miris kejadian itu.
Hanya perihal guru dan siswa SBI. Terjadi
kesalahpahaman yang sama sekali guru bersangkutan tidak terjerat oleh UU
kekerasan terhadap siswa. Hanya dis
komukasi antara guru dengan siswa SBI, akibatnya sisi manusiawi dibuang
jauh-jauh. Begitu istimewa siswa SBI itu. Si guru tidak berkutik dibuatnya.
Makanya, perlu hati-hati benar mengajar siswa program khusus nge-internasional itu.
Dengan mengedepankan kejadian itu,
penulis bukan bermaksud mengeneralisir bahwasanya SBI adalah “jelek” betul.
Akan tetapi, hanya kontruksi pemikiran yang terlanjur dibangun, bahwa SBI
sekolah paling ekslusif, istimewa, khusus, bagus sekali dan seterusnya dan
seterusnya. Setelah kejadian itu, memang sedikit tercipta ‘adat’, agar guru-guru
hati-hati mengajar siswa SBI.
Bukankah ini mengurangi nilai
kemanusiaan di lingkup pendidikan?. Bukankah ini pendidikan yang salah
orientasi? Lantas, pertanyaan mendasar, masih perlukah anak kita bersekolah,
jika kontruksi yang terbangun, sekolah adalah milik “orang-orang berada”?
Kita jenguk awal abad 20 an. Terjadi
perseteruan sengit antara pribumi dengan penjajah. Orang-orang asli tidak
dikasih kesempatan bersekolah di sekolah-sekolah Belanda. Katakan, HIS, Mulo
dan sejenisnya. Gara-gara tidak lurus menggunakan bahasa Belanda, murid dipecat
dari sekolah. Pedih nian zaman itu. Tetapi ulama-ulama membangun kelompok halaqah di surau-surau, menampung
setiap anak yang mau belajar dari setiap golongan.
Sebut saja, Syech Abbas Abdullah
Padang Japang, menghabiskan waktu ke tanah suci mencari sedikit ilmu kemudian
ia “telorkan” kegenerasinya yang dibilang bodoh oleh Belanda. Akhirnya, basis pendidikan suraunya menjalar. Menghantarkan perkumpulan itu
menjadi sekolah memakai sistem kalssikal, setelah bersikeras arang dengan
ulama-ulama tarekat, Sulaiman Arrusuli dan Syech Sa’ad Mungka. Mutunya, tidak
ketinggalan dengan sekolah-sekolah Belanda yang ada, bahkan melebihi. Itulah
pesantern-pesantren. Pada hari ini, pesantren-pesantren itu pun nyaris ditinggalkan,
kecuali pesantren-pesantren mahal yang juga dipenuhi santri dari golongan orang
kaya.
Sesungguhnya perseteruan antara ulama
dengan penjajah sudah kembali. Dimana, nilai-nilai mulai terpisah dari kebutuhan
material.
Kembali
ke SBI. Betul yang dikatakan Mora Dingin dalam tulisannya;SBI, Kebijakan yang
Kurang Bijak, beberapa waktu lalu di Koran Haluan tercinta ini, bahwa tidak
sedikit media memberitakan orang tua dan siswa keluhkan soal pembiayaan masuk
SBI. Sedangkan output tidak ada jaminan.
Maka
tidak cukup mengaji SBI dengan jawaban normatif belaka. Sangat perlu
mempertanyakan filosofi SBI dan menjenguk filosofi pendidikan lalu
mengawinkannya.
Tentu
saja, dalam hal ini, alasan Muhammad Kosim tidak dapat disalahkan, bahwa SBI
berupaya untuk menciptakan daya saing bagi siswanya di kancah internasional.
Mereka dipersiapkan lebih unggul di bidang sains dan matematika. Karena itu,
dibutuhkan input yang memiliki kecerdasan lebih untuk dapat menguasai bidang
ini, dalam tulisannya; SBI, Antara Cita dan Realita disalah satu media local
beberapa hari waktu lalu.
Akan
tetapi, program SBI adalah cara pandang membangun generasi dari kacamata barat,
yang mengenyampingkan nilai-nilai, dan mengutamakan materi-materi. Sedangkan karakter
siswa harus diteropong dari budayanya sendiri yang penuh nilai-nilai. Karena,
memahami budaya sendiri, akan “merantaukan” pikiran kita kenegeri jauh, negeri
tak berpeta. Justru itu, membangun karakter siswa sama dengan memperkuat
karakter bangsa tanpa mengurangi wawasan global. (terbit di harian haluan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Berikan Komentar Anda, tanpa ada unsur fitnah, dan menyinggung SARA!