Label

Senin, 16 Januari 2012

SBI, Membangun Kontruksi Nilai atau Materi



Beberapa tahun lalu, sekitar 2005-2009, SBI di atas angin. Orang tua siswa berebut memasukkan anaknya ke sekolah Rintisan SBI itu. Nyaris, tak ada kritikan terhadap program itu.  Namun, Satria Dharma, Ketua IGI sudah menyatakan sikap jelas untuk menolak program itu dengan alasan begitu rasional. Bukan penulis menerima pengaruh pikiran Satria Dharma, yang telah malang-melintang di dunia pendidikan. Akan tetapi, kemudian SBI  menjadi dilematis panjang. Seperti ada kejanggalan dan kesenjangan dengan cita-cita pendidikan. Dalam hal ini, penulis sepakat dengan alasan Satria Dharma, yang kembali disampaikannya secara tegas tentang 10 utama kelemahan SBI dalam petisi pendidikan di hadapan anggota komisi X DPR RI, pada Maret lalu. Namun demikian, penulis lebih cendrung melihat dilemma  itu dengan kontruksi pemikiran  yang berkembang.

Bias SBI ini, jangankan siswa, guru yang mengajar di sekolah pun merasa bangga, serasa di atas dari guru sekolah lain. Tak dinyana, orang tua siswa merasa anaknya sudah ngeh betul. Seolah-olah, sekolah di SBI  menjadi life style dalam harkat orang-orang kelas ekonomi atas.  Kontruksi yang terbangun ditengah-tengah masyarakat, “anaknya lebih hebat”. 

Konstruksi  yang terbangun tanpa dikonsensuskan itu adalah bias yang tak terelakkan. Program non regular itu, sangat besar kemungkinannya untuk menjauhkan karakter siswanya dengan budaya nenek-moyangnya. Sebab SBI lebih mengedepankan materialistik, dan bukan nilai-nilai. Kontruksi  yang berkembang itu sarat memengaruhi  karakter siswa. Apalagi siswa tingkat SMP yang berusia  12-15 tahun. Akan cepat sekali animo itu terkontruksi dalam dirinya. Karena, masa remaja awal 12-15 tahun adalah masa paling labil dalam diri seseorang, yang sibuk mencari siapa dirinya. Prilaku lebih dari orang lain, akan terpola dengan sendirinya kedalam diri siswa, lalu tumbuh selamanya. 

 Tentu saja kontruksi ini berpengaruh, lambat laun lekat  hingga benar-benar menjadi karakternya. Ini membahayakan. Kalimat “semakin berisi semakin merunduk”, ibarat padi, tidak berlaku dalam konsep ini.
Jika ini berkembang sedemikian rupa, terkontruksikan SBI  menjadi hal yang paling wah, sedangkan sekelompok siswa yang tidak disentuh oleh sekolah internasional menjadi terpinggir.  Disinilah, sekolah gagal menanamkan orientasi pendidikan kepada siswanya.  Substansi pendidikan yang hendak dicapai, jauh panggang dari api sedangkan sekolah bagaikan api dalam sekam. Bukankah sekolah menanamkan nilai-nilai? Pertanyaan semacam ini, patut untuk dilempar kepada (R)SBI.

Selama empat bulan mengamati proses belajar mengajar di salah satu sekolah RBI di Sumatera Barat ini. Ada kesimpulan. Sekolah SBI memang disiplin terhadap waktu, tetapi ada beberapa kelemahan. Pertama, siswa RSBI begitu “dimanjakan”, mempunyai fasilitas serba lengkap dan mewah.  Kalau mengajar di lokal SBI mesti hati-hati benar,  jangan sampai marah-marah, karena siswanya terpola dengan khusus. Kedua, ada sedikit pembedaan—mungkin hanya  pemandangan yang jarang tersingkap—perhatian guru antara siswa RSBI dengan tidak RSBI. Hal ini, cukup menyentuh sanubari dan menyinggung satu sisi kemanusiaan kita yang paling dalam. 

Anehnya, ada kasus  yang tak masuk akal. Seorang ibu-ibu berseragam  jaksa ngomel-ngomel bukan karuan kepada beberapa orang guru di sekolah RSBI. Puluhan kata-kata penghinaan berhamburan dari mulut ibu-ibu bertubuh jangkung itu. Serasa tak berharga safari guru-guru itu dibuatnya. Mereka diam dan sesekali saja menjelaskan dengan nada begitu santun sambil tertunduk cemas. Begitu miris kejadian itu.
Hanya perihal guru dan siswa SBI. Terjadi kesalahpahaman yang sama sekali guru bersangkutan tidak terjerat oleh UU kekerasan terhadap siswa.  Hanya dis komukasi antara guru dengan siswa SBI, akibatnya sisi manusiawi dibuang jauh-jauh. Begitu istimewa siswa SBI itu. Si guru tidak berkutik dibuatnya. Makanya, perlu hati-hati benar mengajar siswa program khusus  nge-internasional itu. 

Dengan mengedepankan kejadian itu, penulis bukan bermaksud mengeneralisir bahwasanya SBI adalah “jelek” betul. Akan tetapi, hanya kontruksi pemikiran yang terlanjur dibangun, bahwa SBI sekolah paling ekslusif, istimewa, khusus, bagus sekali dan seterusnya dan seterusnya. Setelah kejadian itu, memang sedikit tercipta ‘adat’, agar guru-guru hati-hati mengajar siswa SBI. 

Bukankah ini mengurangi nilai kemanusiaan di lingkup pendidikan?. Bukankah ini pendidikan yang salah orientasi? Lantas, pertanyaan mendasar, masih perlukah anak kita bersekolah, jika kontruksi yang terbangun, sekolah adalah milik “orang-orang berada”?

Kita jenguk awal abad 20 an. Terjadi perseteruan sengit antara pribumi dengan penjajah. Orang-orang asli tidak dikasih kesempatan bersekolah di sekolah-sekolah Belanda. Katakan, HIS, Mulo dan sejenisnya. Gara-gara tidak lurus menggunakan bahasa Belanda, murid dipecat dari sekolah. Pedih nian zaman itu. Tetapi ulama-ulama membangun kelompok halaqah di surau-surau, menampung setiap anak yang mau belajar dari setiap golongan. 

Sebut saja, Syech Abbas Abdullah Padang Japang, menghabiskan waktu ke tanah suci mencari sedikit ilmu kemudian ia “telorkan” kegenerasinya yang dibilang bodoh oleh Belanda.  Akhirnya, basis pendidikan suraunya  menjalar. Menghantarkan perkumpulan itu menjadi sekolah memakai sistem kalssikal, setelah bersikeras arang dengan ulama-ulama tarekat, Sulaiman Arrusuli dan Syech Sa’ad Mungka. Mutunya, tidak ketinggalan dengan sekolah-sekolah Belanda yang ada, bahkan melebihi. Itulah pesantern-pesantren. Pada hari ini, pesantren-pesantren itu pun nyaris ditinggalkan, kecuali pesantren-pesantren mahal yang juga dipenuhi santri dari golongan orang kaya.

Sesungguhnya perseteruan antara ulama dengan penjajah sudah kembali. Dimana, nilai-nilai mulai terpisah dari kebutuhan material.

Kembali ke SBI. Betul yang dikatakan Mora Dingin dalam tulisannya;SBI, Kebijakan yang Kurang Bijak, beberapa waktu lalu di Koran Haluan tercinta ini, bahwa tidak sedikit media memberitakan orang tua dan siswa keluhkan soal pembiayaan masuk SBI. Sedangkan output  tidak ada jaminan.
Maka tidak cukup mengaji SBI dengan jawaban normatif belaka. Sangat perlu mempertanyakan filosofi SBI dan menjenguk filosofi pendidikan lalu mengawinkannya.

Tentu saja, dalam hal ini, alasan Muhammad Kosim tidak dapat disalahkan, bahwa SBI berupaya untuk menciptakan daya saing bagi siswanya di kancah internasional. Mereka dipersiapkan lebih unggul di bidang sains dan matematika. Karena itu, dibutuhkan input yang memiliki kecerdasan lebih untuk dapat menguasai bidang ini, dalam tulisannya; SBI, Antara Cita dan Realita disalah satu media local beberapa hari waktu lalu. 

Akan tetapi, program SBI adalah cara pandang membangun generasi dari kacamata barat, yang mengenyampingkan nilai-nilai, dan mengutamakan materi-materi. Sedangkan karakter siswa harus diteropong dari budayanya sendiri yang penuh nilai-nilai. Karena, memahami budaya sendiri, akan “merantaukan” pikiran kita kenegeri jauh, negeri tak berpeta. Justru itu, membangun karakter siswa sama dengan memperkuat karakter bangsa tanpa mengurangi wawasan global. (terbit di harian haluan)






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Berikan Komentar Anda, tanpa ada unsur fitnah, dan menyinggung SARA!