(puisi)
sesembahan apa seharusnya kami ujudkan, menanti mu pulang ke halaman,
yang sudah tua menunggu hatimu,
dan bagaimana bisa kita tak sekeras arang,
anak cucumu mengganti gonjong dan rangkiang rumah gadang kami,
merurutkan buah saluang -rabab yang sering menidurkan kita di padang gembala, ketika buyung belum kaya, dulu,
kami sungguh ragu seribu kali,
setiap tahun saja mulut kami tergagap-gagap mendengar celotehan mu dengan menantumu, kami ternganga,
sawah yang berpiring, serta ladang yang berpetak,
tidak menanti isi sakumu,
sementara surau kami sudah tua menunggu,
kamu mencabik sirih dan gatok pinang, yang sudah menjadi aneh dalam adat hidup anak cucumu,
lalu, apa sesembahan kami semestinya, menantimu bertahun-tahun.
Payakumbuh, 2010
sesembahan apa seharusnya kami ujudkan, menanti mu pulang ke halaman,
yang sudah tua menunggu hatimu,
dan bagaimana bisa kita tak sekeras arang,
anak cucumu mengganti gonjong dan rangkiang rumah gadang kami,
merurutkan buah saluang -rabab yang sering menidurkan kita di padang gembala, ketika buyung belum kaya, dulu,
kami sungguh ragu seribu kali,
setiap tahun saja mulut kami tergagap-gagap mendengar celotehan mu dengan menantumu, kami ternganga,
sawah yang berpiring, serta ladang yang berpetak,
tidak menanti isi sakumu,
sementara surau kami sudah tua menunggu,
kamu mencabik sirih dan gatok pinang, yang sudah menjadi aneh dalam adat hidup anak cucumu,
lalu, apa sesembahan kami semestinya, menantimu bertahun-tahun.
Payakumbuh, 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Berikan Komentar Anda, tanpa ada unsur fitnah, dan menyinggung SARA!