Label

Selasa, 17 Januari 2012

Menyoal Sertifikasi Guru




”Mari kita main sekolah-sekolahan! Siapa yang mau jadi guru?” Semua anak-anak itu angkat tangan. ”Kenapa kalian berebut menjadi guru?”, mereka serentak menjawab, ”kan ada sertifikasinya..hahaha...”. (sebuah percakapan dalam pementasan teater ”Tanah Ibu”).

Orang kembali berbondong-bondong ingin menjadi guru. Kabar tersiar, menjadi guru menatap masa depan yang gemilang. Karena seorang guru bisa mendapat gaji  5-6 juta rupiah per bulan setelah dinyatakan guru profesional. 

Perguruan tinggi keguruan (FIP/FKIP/Tarbiyah), setiap tahun ajaran baru, selalu ”bengkak” diserbu oleh calon-calon mahasiswa. Peluang lakunya fakultas keguruan, menjadi rencana strategis bagi kampus-kampus swasta yang mulai ditinggalkan peminat, untuk membuka fakultas keguruan atau menambah jurusan/program studi (Prodi). Dengan harapan, kampus itu akan diminati kembali. Tak ayal, kampus-kampus negeripun tidak ketinggalan untuk tidak menyia-nyiakan peluang itu. Menambah kuota penerimaan mahasiswa baru. Dengan cara memperbanyak jurusan dan Program Studi (Prodi) serta membuka selebar-lebarnya peluang non reguler (NR)/ ekstensi. Meskipun bayarnya mahal, yang penting status(ijazah)nya negeri. 

Padahal sebelumnya, ada stigma negatif tentang guru. Menjadi guru, bukanlah pekerjaan yang menjanjikan, dalam ukuran kaya. Guru, hanya pekerjaan rendahan, apabila dibandingkan dengan pekerjaan di lingkup BUMN, kantoran, pegawai di lingkup Polhukam, Hakim dan lain sebagainya. Guru hanyalah pilihan terakhir dari sebuah pekerjaan. Sudah berkali-kali melamar berbagai pekerjaan, mengabdi sebagai tenaga honorer di suatu sekolah, pun menjadi solusi paling akhir, bahkan menyelamatkan diri dari titel pengangguran. Pandangan ini menjamur ditengah-tengah kehidupan masyarakat  yang tergolong menengah keatas, yang mementingkan prestise, materialistik, serta mempertuhankan harta benda. 

Lima tahun terakhir, pandangan serupa itu agak mulai bergeser. Akibat kompleksnya kehidupan, dahsyatnya persaingaan, kejamnya kompetisi. Pemerintah pun membuka lebar peluang pegawai negeri sipil (PNS) untuk tenaga pengajar/guru. Menghendaki, guru-guru profesional dengan pekerjaannya. Niat baik pemerintah ini, implikasinya meningkatkan kualitas guru, bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan yang bermuara pada kualitas bangsa. Kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) yang disahkan tanggal 30 Desember 2005 dan dijadikan dasar hukum untuk pelaksanaan sertifikasi pendidik. Sertifikasi pendidik ini mencakup guru dan dosen. Untuk guru disebut serifikasi guru, untuk dosen disebut sertifikasi dosen. 

Sertifikasi guru/dosen hanya sebagai metode atau sarana terujinya seorang guru dalam pengabdiannya untuk mendidik anak-anak bangsa serta menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran demi terwujudkan tujuan pendidikan nasional. Untuk itu, sangat ditegaskan bahwa sertifikasi guru bukanlah  tujuan, melainkan hanya sebongkah metode, jalan atau semacam cara yang dipandang strategis oleh pemerintah.

Manfaat sertifikasi guru ini dibatasi dalam beberapa item. Selain untuk mengangkat citra guru—sebagai ejawantahan dari tujuan yang hendak dicapai—juga berkeinginan menyelamatkan pendidikan dari praktek-praktek yang salah, baik di lembaga pendidikan sendiri maupun pada pandangan masyarakat. Item terakhir, juga memuat perihal kenaikan gaji guru, setelah dinyatakan lulus oleh Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan (LPTK). Muatan yang terakhir ini menyebabkan guru-guru salah pemahaman tentang sertifikasi yang (akan) dilaluinya. Pada akhirnya tujuan sertifikasi pun bergeser dari sebuah metode atau sarana peningkatan keterujian (seorang guru) menjadi metode / sarana  peningkatan gaji.

Ahmad Rizali, ketua Dewan pembina the center for the betterment of education (CBE) menilai, bahwa sertifikasi guru tidak perlu, andai kata LPTK serius dalam menjalankan perannya sebagai pendidik guru. Bayangkan, guru yang berhak mengikuti sertifikasi adalah, mereka yang telah mengantongi S-1, masa kerja cukup (Honorer/PNS), dan diajukan oleh kabupaten /kota masing-masing sesuai dengan kuota yang ditetapkan Mendiknas. Kemudian kompetensi mereka (guru)

diuji melalui uji portofolio dari dokumen sertifikat pelatihan, kemampuan membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), penghargaan prestasi dan keikutsertaan dalam berbagai seminar.
 Jika nilai uji portofolio melebihi 850, mereka dinyatakan lulus, jika kurang dari 850 mereka dinyatakan tidak lulus tetapi berhak mengikuti pendidikan dan latihan (Diklat) profesi guru selama 90 jam. Setelah itu dinyatakan lulus, dan berhak memperoleh sertifikat profesi pendidik dan tunjangan profesional.  

Ahmad Rizal (staf ahli klub guru) mengatakan Diklat sertifikasi guru ini hanya Diklat ”abal-abal”. Fasilitator dihampir semua institusi penyelenggara Diklat, umumnya masih kurang peduli dengan esensi Diklat. Persoalannya, penyelenggara terkesan tidak terlalu siap, dengan cara mengorting jam-jam Diklat. Seminggu Diklat kadang berjalan hanya empat hari, sedangkan honor fasilitator tetap dalam ukuran waktu sepekan. Ahmad Rizal berani mengatakan, hal demikian adalah korupsi dalam penggunaan uang negara serta terjadi manipulasi jumlah jam berlatih.

Dalam hal ini, penulis bukan tidak setuju dengan ditingkatkannya kesejahteraan guru. Sebagai orang yang pernah di tempa di dunia pendidikan, penulis malah sangat mendukung, jika kesejahteraan guru diperhatikan, demi mencapai tujuan pendidikan itu sendiri. Hanya saja, mempertanyakan, bagaimana praktek guru-guru dalam usahanya untuk mencapai lulus sertifikasi? Dan bagaimana pula, kompetensi guru setelah lulus sertifikasi?

Tidak dapat (kita) menutup mata dalam hal ini. Ketika sertifikasi adalah kepentingan pribadi guru yang bersangkutan, maka mereka sibuk menyiapkan persyaratan yang justru mengabaikan tugas dan tanggungjawabnya sebagai agen pembelajaran, yang semestinya tidak hanya mentranformasikan ilmu dalam bobot mata pelajaran yang diasuhnya kepada peserta didik semata. Akan tetapi, lebih dari itu. Membina, membimbing serta memonitoring peserta didik untuk kesempurnaan pencapaian target afektif, kognitif dan psikomotorik. 

Beberapa kasus dapat dilihat. Pada salah satu sekolah menengah, yang dikategorikan sekolah faforit di Kota Padang. Untuk melengkapi bahan ajar seorang guru mata pelajaran, sebagai salah satu syarat sertifikasi baginya, malah dibebankan kepada guru-guru magang (PPL). Apa jadinya hal demikian tidak diungkap. Lain lagi dengan perebutan jam pelajaran. Misalnya, seorang guru harus mengajar 90 jam/bulan. Untuk sebuah syarat sertifikasi, guru yang bersangkutan, ingin mempercepat proses. Sekiranya ia hanya punya jatah 12 jam per minggu, maka harus dicari celah bagaimana cara melebihkan, walaupun tidak sesuai dengan mata pelajaran yang dipegangnya. 

Ironis memang, cara yang demikian dikatakan meningkatkan kompetensi dan profesional guru. Jika dilihat betul prakteknya, membuat RPP, mendapatkan piagam seminar, dan syarat-syarat lain, justru mengapungkan ribuan pertanyaan. Apa ukuran RPP yang baik, serta betulkah guru yang bersangkutan yang membuat, atau jangan-jangan kopi paste dari karya orang lain? Mengikuti seminar dengan harapan piagam, sejauh apa partisipasi guru yang bersangkutan terhadap seminar yang dilakukan, atau hanya sekedar hadir, atau hanya sekedar ingin mendapatkan piagam, untuk menambah tumpukan piagam sebagai prasyarat sertifikasi? Wallahualam bisshawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Berikan Komentar Anda, tanpa ada unsur fitnah, dan menyinggung SARA!