”Mari kita main sekolah-sekolahan! Siapa yang mau jadi
guru?” Semua anak-anak itu angkat tangan. ”Kenapa kalian berebut menjadi
guru?”, mereka serentak menjawab, ”kan ada sertifikasinya..hahaha...”. (sebuah
percakapan dalam pementasan teater ”Tanah Ibu”).
Orang kembali berbondong-bondong ingin menjadi guru. Kabar
tersiar, menjadi guru menatap masa depan yang gemilang. Karena seorang guru
bisa mendapat gaji 5-6 juta rupiah per bulan
setelah dinyatakan guru profesional.
Perguruan tinggi keguruan (FIP/FKIP/Tarbiyah), setiap
tahun ajaran baru, selalu ”bengkak” diserbu oleh calon-calon mahasiswa. Peluang
lakunya fakultas keguruan, menjadi rencana strategis bagi kampus-kampus swasta
yang mulai ditinggalkan peminat, untuk membuka fakultas keguruan atau menambah
jurusan/program studi (Prodi). Dengan harapan, kampus itu akan diminati
kembali. Tak ayal, kampus-kampus negeripun tidak ketinggalan untuk tidak
menyia-nyiakan peluang itu. Menambah kuota penerimaan mahasiswa baru. Dengan
cara memperbanyak jurusan dan Program Studi (Prodi) serta membuka
selebar-lebarnya peluang non reguler (NR)/ ekstensi. Meskipun bayarnya mahal, yang
penting status(ijazah)nya negeri.
Padahal sebelumnya, ada stigma negatif tentang
guru. Menjadi guru, bukanlah pekerjaan yang menjanjikan, dalam ukuran kaya.
Guru, hanya pekerjaan rendahan, apabila dibandingkan dengan pekerjaan di
lingkup BUMN, kantoran, pegawai di lingkup Polhukam, Hakim dan lain sebagainya.
Guru hanyalah pilihan terakhir dari sebuah pekerjaan. Sudah berkali-kali
melamar berbagai pekerjaan, mengabdi sebagai tenaga honorer di suatu sekolah, pun
menjadi solusi paling akhir, bahkan menyelamatkan diri dari titel pengangguran.
Pandangan ini menjamur ditengah-tengah kehidupan masyarakat yang tergolong menengah keatas, yang mementingkan
prestise, materialistik, serta mempertuhankan harta benda.
Lima tahun terakhir, pandangan serupa itu agak mulai
bergeser. Akibat kompleksnya kehidupan, dahsyatnya persaingaan, kejamnya
kompetisi. Pemerintah pun membuka lebar peluang pegawai negeri sipil (PNS)
untuk tenaga pengajar/guru. Menghendaki, guru-guru profesional dengan
pekerjaannya. Niat baik pemerintah ini, implikasinya meningkatkan kualitas
guru, bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan yang bermuara pada kualitas
bangsa. Kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen (UUGD) yang disahkan tanggal 30 Desember 2005 dan dijadikan
dasar hukum untuk pelaksanaan sertifikasi pendidik. Sertifikasi pendidik ini
mencakup guru dan dosen. Untuk guru disebut serifikasi guru, untuk dosen
disebut sertifikasi dosen.
Sertifikasi guru/dosen hanya sebagai metode atau sarana terujinya
seorang guru dalam pengabdiannya untuk mendidik anak-anak bangsa serta
menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran
demi terwujudkan tujuan pendidikan nasional. Untuk itu, sangat ditegaskan bahwa
sertifikasi guru bukanlah tujuan,
melainkan hanya sebongkah metode, jalan atau semacam cara yang dipandang
strategis oleh pemerintah.
Manfaat sertifikasi guru ini dibatasi dalam beberapa
item. Selain untuk mengangkat citra guru—sebagai ejawantahan dari tujuan yang
hendak dicapai—juga berkeinginan menyelamatkan pendidikan dari praktek-praktek
yang salah, baik di lembaga pendidikan sendiri maupun pada pandangan masyarakat.
Item terakhir, juga memuat perihal kenaikan gaji guru, setelah dinyatakan lulus
oleh Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan (LPTK). Muatan yang terakhir ini menyebabkan
guru-guru salah pemahaman tentang sertifikasi yang (akan) dilaluinya. Pada
akhirnya tujuan sertifikasi pun bergeser dari sebuah metode atau sarana
peningkatan keterujian (seorang guru) menjadi metode / sarana peningkatan gaji.
Ahmad Rizali, ketua Dewan pembina the center for the
betterment of education (CBE) menilai, bahwa sertifikasi guru tidak perlu,
andai kata LPTK serius dalam menjalankan perannya sebagai pendidik guru. Bayangkan,
guru yang berhak mengikuti sertifikasi adalah, mereka yang telah mengantongi
S-1, masa kerja cukup (Honorer/PNS), dan diajukan oleh kabupaten /kota
masing-masing sesuai dengan kuota yang ditetapkan Mendiknas. Kemudian
kompetensi mereka (guru)
diuji melalui uji portofolio dari dokumen sertifikat pelatihan,
kemampuan membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), penghargaan prestasi
dan keikutsertaan dalam berbagai seminar.
Jika nilai uji
portofolio melebihi 850, mereka dinyatakan lulus, jika kurang dari 850 mereka
dinyatakan tidak lulus tetapi berhak mengikuti pendidikan dan latihan (Diklat)
profesi guru selama 90 jam. Setelah itu dinyatakan lulus, dan berhak memperoleh
sertifikat profesi pendidik dan tunjangan profesional.
Ahmad Rizal (staf ahli klub guru) mengatakan Diklat sertifikasi
guru ini hanya Diklat ”abal-abal”. Fasilitator dihampir semua institusi
penyelenggara Diklat, umumnya masih kurang peduli dengan esensi Diklat.
Persoalannya, penyelenggara terkesan tidak terlalu siap, dengan cara mengorting
jam-jam Diklat. Seminggu Diklat kadang berjalan hanya empat hari, sedangkan
honor fasilitator tetap dalam ukuran waktu sepekan. Ahmad Rizal berani
mengatakan, hal demikian adalah korupsi dalam penggunaan uang negara serta
terjadi manipulasi jumlah jam berlatih.
Dalam hal ini, penulis bukan tidak setuju dengan
ditingkatkannya kesejahteraan guru. Sebagai orang yang pernah di tempa di dunia
pendidikan, penulis malah sangat mendukung, jika kesejahteraan guru
diperhatikan, demi mencapai tujuan pendidikan itu sendiri. Hanya saja,
mempertanyakan, bagaimana praktek guru-guru dalam usahanya untuk mencapai lulus
sertifikasi? Dan bagaimana pula, kompetensi guru setelah lulus sertifikasi?
Tidak dapat (kita) menutup mata dalam hal ini. Ketika
sertifikasi adalah kepentingan pribadi guru yang bersangkutan, maka mereka
sibuk menyiapkan persyaratan yang justru mengabaikan tugas dan tanggungjawabnya
sebagai agen pembelajaran, yang semestinya tidak hanya mentranformasikan ilmu
dalam bobot mata pelajaran yang diasuhnya kepada peserta didik semata. Akan
tetapi, lebih dari itu. Membina, membimbing serta memonitoring peserta didik
untuk kesempurnaan pencapaian target afektif, kognitif dan psikomotorik.
Beberapa kasus dapat dilihat. Pada salah satu sekolah
menengah, yang dikategorikan sekolah faforit di Kota Padang. Untuk melengkapi
bahan ajar seorang guru mata pelajaran, sebagai salah satu syarat sertifikasi
baginya, malah dibebankan kepada guru-guru magang (PPL). Apa jadinya hal
demikian tidak diungkap. Lain lagi dengan perebutan jam pelajaran. Misalnya,
seorang guru harus mengajar 90 jam/bulan. Untuk sebuah syarat sertifikasi, guru
yang bersangkutan, ingin mempercepat proses. Sekiranya ia hanya punya jatah 12
jam per minggu, maka harus dicari celah bagaimana cara melebihkan, walaupun
tidak sesuai dengan mata pelajaran yang dipegangnya.
Ironis memang, cara yang demikian dikatakan meningkatkan
kompetensi dan profesional guru. Jika dilihat betul prakteknya, membuat RPP,
mendapatkan piagam seminar, dan syarat-syarat lain, justru mengapungkan ribuan
pertanyaan. Apa ukuran RPP yang baik, serta betulkah guru yang bersangkutan
yang membuat, atau jangan-jangan kopi paste dari karya orang lain?
Mengikuti seminar dengan harapan piagam, sejauh apa partisipasi guru yang
bersangkutan terhadap seminar yang dilakukan, atau hanya sekedar hadir, atau
hanya sekedar ingin mendapatkan piagam, untuk menambah tumpukan piagam sebagai
prasyarat sertifikasi? Wallahualam bisshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Berikan Komentar Anda, tanpa ada unsur fitnah, dan menyinggung SARA!