(Respon terhadap tulisan
Muhammad Kosim)
.....terbitdiPadangekspres
.....terbitdiPadangekspres
Menarik membaca tulisan Muhammad Kosim, “SBI, Bertaraf
atau Bertarif Internasional”, Padang Ekspres, Kamis (17/3). SBI (Sekolah
Bertaraf Internasional) salah satu program yang berkeinginan memajukan
pendidikan Indonesia, agar lulusan mampu bersaing untuk menembus perguruan
tinggi luar negeri. Sudah lima tahun berjalan, agaknya perlu dipertanyakan. Apa
betul SBI akan mampu mengejar ketertinggalan pendidikan Indonesia?. Sedangkan praktik
yang terjadi, mengesankan bahwa SBI
hanyalah program prestisius belaka. Asumsi tentang SBI justru menjungkir-balikkan
nilai-nilai nasionalisme dan hakikat pendidikan. Sederhananya, hakikat pendidikan
adalah untuk menjenguk nilai-nilai kemanusiaan manusia/menjadikan manusia sesungguhnya/insan
kamil/paripurna/memanusiakan manusia.
Sedangkan yang dapat menikmati program ini, adalah
mereka yang tergolong kaya. Lebih
diidentikkan dengan fasilitas lengkap dan perlakuan/pelayanan serba khusus.
Sesuai dengan temuan/hasil survei Pusat Penelitian dan
Kebijakan (Puslitjak) Balitbang Kemendiknas,
akhir-akhir ini.
Bagaimana mungkin klausul ini hanya sekedar paradigma
masyarakat bawah, yang tidak mengerti betul tentang perkembangan pendidikan
tanah air. Di-identikan-nya RSBI/SBI dengan alat/fasilitas yang ekstra lengkap
dan mewah, seperti memakai media canggih
yang mutakhir, LCD, Laptop dll. bahkan Satria Dharma menemukan, ada ide yang
paling “gila”, yaitu membuat toilet di dalam lokal, dengan sendirinya, ini
telah menciptakan stratafikasi sosial dalam pendidikan. Sedangkan sekolah-sekolah
maju di Amerika Serikat sana, masih ada yang menggunakan kapur tulis hingga
sekarang. Kualitasnya, tidak diragukan lagi.
Kemudian, “memaksa”
guru-guru mempelajari Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam PBM. Apakah
benar, sekolah bertaraf internasional harus menggunakan pengantar Bahasa
Inggris? Bahkan, terkadang siswa tidak dibolehkan menggunakan Bahasa Indonesia.
Hasil riset Hywel Coleman dari University of Leeds UK menunjukkan, bahwa penggunaan Bahasa Inggris
dalam proses belajar-mengajar telah merusak kompetensi berbahasa Indonesia. Bahasa Indonesia, kerap
diabaikan, padahal, Bahasa Indonesia merupakan “doktrin” untuk menumbuhkan
kecintaan terhadap bangsa. Bahasa adalah salah satu bentuk karakter bangsa,
seperti kata pepatah,”bahasa menunjukkan bangsa”. Negara-negara maju, seperti Jepang, Finlandia, Korea, Italia, Prancis, Jerman,
Cina dan lain-lain, tidak perlu menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa
pengantar untuk memajukan pendidikan mereka.
Permendiknas Nomor 78
tahun 2009 pada pasal 16 ayat (2)
tentang SBI wajib
mengalokasikan beasiswa atau bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik warga
negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi tetapi kurang mampu
secara ekonomi,
paling sedikit 20 persen dari jumlah seluruh peserta didik. Jika ini pula yang menjadi alasan bagi Muhammad
Kosim, apa bedanya andai kata UU BHP
tidak jadi digagalkan? 20 persen minimal untuk siswa miskin berprestasi bukan
serta merta alasan untuk menyamakan hak warga negara, untuk memperoleh
pendidikan yang setara. Dapat disinyalir, bahwa peraturan ini memberi ruang
untuk praktik nepotisme. Permendiknas hanya menjadi lips service untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis serta
alasan yang disembunyikan dibalik peraturan. Agak bisa di tolerir, jika dibuat
betul UU—setara dengan UU diberlakukan SBI ini—yang termuat sebagai salah satu
pasal di dalam UU Sisdiknas 2003, dan mewajibkan kepala sekolah betul-betul
mencari 20 persen siswa miskin, yang dilengkapi berbagai dokumen, serta dengan
ketentuan-ketentuan lain yang tidak diragukan keabsahannya.
SBI seakan-akan hanya berupaya membangun fantasi nginternasional bagi orang tua siswa, siswa dan pihak sekolah
(prestisius oriented). Kenapa tidak, input
SBI adalah siswa-siswa unggul, yang memiliki IQ 120 (di atas rata-rata), bagi
yang tidak memenuhi maka tidak layak masuk ke SBI. Ini menyiratkan bahwa SNP
(Standar Nasional Pendidikan) hanya teruntuk bagi mereka yang kurang cerdas,
jika tidak mungkin disebut bodoh. Satu sisi ini dapat dikategorikan “penghianatan”
terhadap SNP.
Temuan/hasil survei Pusat
Penelitian dan Kebijakan (Puslitjak) Balitbang Kemendiknas itu musti dipertimbangkan kembali. Karena SBI sampai
sekarang masih menjadi perdebatan yang sesungguhnya merugikan esensi pendidikan
itu sendiri, jika tidak ada penyelesaiannya yang benar-benar disepakati oleh
seluruh pelaku pendidikan. Sementara tahun ajaran pendidikan terus bergulir.
Tulisan Muhammad Kosim itu, menimbulkan interpretasi
yang berbeda bagi saya, ketika dia katakan bahwa, SBI itu kan amanah UU No 20 Tahun 2003 tentang
Sisdiknas tepatnya pada
pasal 50 ayat (3). Benar sekali,
SBI akan menjadi amanah, sekiranya (kita) menyerah kepada UU yang menguatkan
hasrat untuk meng-SBI-kan sekolah yang telah memenuhi SNP (Standar Nasional
Pendidikan). Namun, akan tidak mau (kita) mengikuti UU itu ketika (kita)
mencoba menjajaki praktik SBI itu disekolah –sekolah yang bersangkutan sejak
lima tahun lalu. Paling tidak, harus dipertanyakan asbabunnuzul UU itu. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa pelaksanaan
program SBI tidak didahului dengan riset yang mendalam, konsepnya pun lemah.
Dengan menyatakan SBI =SPN + X. X diartikan
untuk memperkuat, memperkaya, mengembangkan, men-dalam-kan, dan lain-lain.
Sebetulnya konsep ini tidak memiliki bentuk dan arah yang jelas. Apa yang
diperkaya, apa yang didalami, apa yang dikembangkan dan sebagainya, sungguh
sangat absurd tentunya, yang berujung pertanyaan.
UU Sisdiknas pasal 50 ayat 3 ini terlanjur dipersepsikan harus mengadopsi
kurikulum Cambridge.
Atau tawarkan alternatif tentang hal ini, semisal
pasal tersebut perlu diamandemen, disesuaikan bunyinya agar tidak menimbulkan
pesepsi yang keliru atau merumuskan kembali apa yang disebut Satuan Pendidikan
yang Bertaraf Internasional itu. Ini pulalah yang menjadi alasan utama Satria
Dharma, dalam mengemukakan usulannya untuk menghentikan program SBI terlebih
dahulu.
Wacana
pemberhentian sementara SBI ini sudah “mengapung” sejak Mendiknas Muhammad Nuh,
berjanji untuk mengevaluasi program ini yang dijadwalkan Juli 2010 lalu.
Setidaknya ada empat parameter yang harus dievaluasi, yakni akuntabilitas keuangan, proses rekrutmen siswa, prestasi
akademik yang dihasilkan, dan apakah persyaratan RSBI sudah terpenuhi? Akuntabilitas yang dimaksud adalah apakah SBI dalam
mengelola sumberdaya termasuk keuangan bisa dipertanggungjawabkan? Bagaimana proses rekrutmennya? apakah yang direkrut benar-benar siswa berprestasi? atau karena mereka membayar? Apakah prestasi akademik siswanya menonjol atau lebih
bagus dibandingkan dengan sekolah reguler?. Selain itu, perlu dievaluasi pula bagaimana pelaksanaan standar sumber
daya pengajar?. Apabila sekolah yang bersangkutan tidak bisa memenuhi persyaratan dan terjadi
penyimpangan, akan dijatuhkan sanksi berupa
mengembalikan ke sekolah reguler.(edukasi.kompas.com,11/3)
Satria
Dharma, Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI), sudah sejak awal kemunculan program RSBI (2006) mengemukakan
pendapatnya, bahwa SBI itu adalah program yang salah. Persoalan SBI
menjadi topik yang hangat di Komisi X DPR RI (8/3/2011) kemarin.
Permintaan Satria Dharma, agar segera menghentikan sementara program SBI itu.
Karena perlu dievaluasi secara rijit dan UU no 20 tahun 2003 pada pasal 50 ayat
3 perlu diamandemen
Selain
dipicu temuan dari survey Puslitjak Balitbang, ada beberapa alasan ketua umum Ikatan Guru Indonesia
(IGI) dan direktur the center for the betterment of education
(CBE) ini untuk menghentikan sementara program SBI itu. Misalnya, SBI adalah program yang salah model. Kemdiknas
membuat panduan model pelaksanaan untuk SBI baru (news developed),
tetapi yang terjadi justru pengembangan pada sekolah-sekolah yang telah ada (existing
school). Program SBI telah salah
asumsi. Kemdiknas mengasumsikan, bahwa untuk dapat mengajar hard science dalam
pengantar bahasa Inggris, seorang guru harus memiliki TOEFL > 500. Padahal, tidak ada hubungannya antara nilai TOEFL dengan kemampuan mengajar
hard science dalam Bahasa Inggris. TOEFL bukanlah ukuran kompetensi
pedagogis. Akan terjadi
kekacauan dalam proses belajar-mengajar dan kegagalan didaktik. Guru tidak
mungkin disulap dalam waktu yang singkat agar bisa
mengajarkan materinya dalam Bahasa Inggris. Akibatnya, banyak siswa SBI justru
gagal dalam ujian nasional (UN) karena mereka tidak memahami materi bidang
studinya (Kompas).
Saya sangat setuju dengan tawaran Muhammad Kosim, dibagian akhir dalam
tulisannya itu, bahwa banyak hal yang patut didiskusikan dalam penyelesaian SBI
ini. Namun, sebelum tergilas oleh waktu, pelaku pendidikan yang melaksanakan
program ini, sudah saatnya menjawab berbagai pertanyaan, dan mengambil sikap
yang tegas, RSBI/SBI, dilanjutkan atau
dihentikan!
Penulis adalah Ketua HMI Cabang Padang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Berikan Komentar Anda, tanpa ada unsur fitnah, dan menyinggung SARA!