Label

Selasa, 17 Januari 2012

SBI, Dilanjutkan atau Dihentikan



(Respon terhadap tulisan Muhammad Kosim)
.....terbitdiPadangekspres

Menarik membaca tulisan Muhammad Kosim, “SBI, Bertaraf atau Bertarif Internasional”, Padang Ekspres, Kamis (17/3). SBI (Sekolah Bertaraf Internasional) salah satu program yang berkeinginan memajukan pendidikan Indonesia, agar lulusan mampu bersaing untuk menembus perguruan tinggi luar negeri. Sudah lima tahun berjalan, agaknya perlu dipertanyakan. Apa betul SBI akan mampu mengejar ketertinggalan pendidikan Indonesia?. Sedangkan praktik yang terjadi, mengesankan  bahwa SBI hanyalah program prestisius belaka. Asumsi tentang SBI justru menjungkir-balikkan nilai-nilai nasionalisme dan hakikat pendidikan. Sederhananya, hakikat pendidikan adalah untuk menjenguk nilai-nilai kemanusiaan manusia/menjadikan manusia sesungguhnya/insan kamil/paripurna/memanusiakan manusia. 

Sedangkan yang dapat menikmati program ini, adalah mereka yang tergolong kaya. Lebih  diidentikkan dengan fasilitas lengkap dan perlakuan/pelayanan serba khusus. Sesuai dengan temuan/hasil survei Pusat Penelitian dan Kebijakan (Puslitjak) Balitbang Kemendiknas, akhir-akhir ini.

Bagaimana mungkin klausul ini hanya sekedar paradigma masyarakat bawah, yang tidak mengerti betul tentang perkembangan pendidikan tanah air. Di-identikan-nya RSBI/SBI dengan alat/fasilitas yang ekstra lengkap dan mewah,  seperti memakai media canggih yang mutakhir, LCD, Laptop dll. bahkan Satria Dharma menemukan, ada ide yang paling “gila”, yaitu membuat toilet di dalam lokal, dengan sendirinya, ini telah menciptakan stratafikasi sosial dalam pendidikan. Sedangkan sekolah-sekolah maju di Amerika Serikat sana, masih ada yang menggunakan kapur tulis hingga sekarang. Kualitasnya, tidak diragukan lagi.

Kemudian, “memaksa” guru-guru mempelajari Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam PBM. Apakah benar, sekolah bertaraf internasional harus menggunakan pengantar Bahasa Inggris? Bahkan, terkadang siswa tidak dibolehkan menggunakan Bahasa Indonesia. Hasil riset Hywel Coleman dari University of Leeds UK menunjukkan, bahwa penggunaan Bahasa Inggris dalam proses belajar-mengajar telah merusak kompetensi berbahasa Indonesia. Bahasa Indonesia, kerap diabaikan, padahal, Bahasa Indonesia merupakan “doktrin” untuk menumbuhkan kecintaan terhadap bangsa. Bahasa adalah salah satu bentuk karakter bangsa, seperti kata pepatah,”bahasa menunjukkan bangsa”. Negara-negara maju, seperti Jepang, Finlandia, Korea, Italia, Prancis, Jerman, Cina dan lain-lain, tidak perlu menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar untuk memajukan pendidikan mereka.

Permendiknas Nomor 78 tahun 2009 pada pasal 16 ayat (2) tentang SBI wajib mengalokasikan beasiswa atau bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik warga negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi tetapi kurang mampu secara ekonomi, paling sedikit 20 persen dari jumlah seluruh peserta didik. Jika ini pula yang menjadi alasan bagi Muhammad Kosim, apa bedanya  andai kata UU BHP tidak jadi digagalkan? 20 persen minimal untuk siswa miskin berprestasi bukan serta merta alasan untuk menyamakan hak warga negara, untuk memperoleh pendidikan yang setara. Dapat disinyalir, bahwa peraturan ini memberi ruang untuk praktik nepotisme. Permendiknas hanya menjadi lips service untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis serta alasan yang disembunyikan dibalik peraturan. Agak bisa di tolerir, jika dibuat betul UU—setara dengan UU diberlakukan SBI ini—yang termuat sebagai salah satu pasal di dalam UU Sisdiknas 2003, dan mewajibkan kepala sekolah betul-betul mencari 20 persen siswa miskin, yang dilengkapi berbagai dokumen, serta dengan ketentuan-ketentuan lain yang tidak diragukan keabsahannya.

SBI seakan-akan hanya berupaya membangun fantasi nginternasional bagi orang tua siswa, siswa dan pihak sekolah (prestisius oriented). Kenapa tidak, input SBI adalah siswa-siswa unggul, yang memiliki IQ 120 (di atas rata-rata), bagi yang tidak memenuhi maka tidak layak masuk ke SBI. Ini menyiratkan bahwa SNP (Standar Nasional Pendidikan) hanya teruntuk bagi mereka yang kurang cerdas, jika tidak mungkin disebut bodoh. Satu sisi ini dapat dikategorikan “penghianatan” terhadap SNP.

Temuan/hasil survei Pusat Penelitian dan Kebijakan (Puslitjak) Balitbang Kemendiknas itu musti dipertimbangkan kembali. Karena SBI sampai sekarang masih menjadi perdebatan yang sesungguhnya merugikan esensi pendidikan itu sendiri, jika tidak ada penyelesaiannya yang benar-benar disepakati oleh seluruh pelaku pendidikan. Sementara tahun ajaran pendidikan terus bergulir.

Tulisan Muhammad Kosim itu, menimbulkan interpretasi yang berbeda bagi saya, ketika dia katakan bahwa, SBI itu kan amanah UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas tepatnya pada pasal 50 ayat (3). Benar sekali, SBI akan menjadi amanah, sekiranya (kita) menyerah kepada UU yang menguatkan hasrat untuk meng-SBI-kan sekolah yang telah memenuhi SNP (Standar Nasional Pendidikan). Namun, akan tidak mau (kita) mengikuti UU itu ketika (kita) mencoba menjajaki praktik SBI itu disekolah –sekolah yang bersangkutan sejak lima tahun lalu. Paling tidak, harus dipertanyakan asbabunnuzul UU itu. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa pelaksanaan program SBI tidak didahului dengan riset yang mendalam, konsepnya pun lemah. Dengan menyatakan SBI =SPN + X.  X diartikan untuk memperkuat, memperkaya, mengembangkan, men-dalam-kan, dan lain-lain. Sebetulnya konsep ini tidak memiliki bentuk dan arah yang jelas. Apa yang diperkaya, apa yang didalami, apa yang dikembangkan dan sebagainya, sungguh sangat absurd tentunya,  yang berujung pertanyaan. UU Sisdiknas pasal 50 ayat 3 ini terlanjur dipersepsikan harus mengadopsi kurikulum Cambridge.

Atau tawarkan alternatif tentang hal ini, semisal pasal tersebut perlu diamandemen, disesuaikan bunyinya agar tidak menimbulkan pesepsi yang keliru atau merumuskan kembali apa yang disebut Satuan Pendidikan yang Bertaraf Internasional itu. Ini pulalah yang menjadi alasan utama Satria Dharma, dalam mengemukakan usulannya untuk menghentikan program SBI terlebih dahulu.

Wacana pemberhentian sementara SBI ini sudah “mengapung” sejak Mendiknas Muhammad Nuh, berjanji untuk mengevaluasi program ini yang dijadwalkan Juli 2010 lalu. Setidaknya ada empat parameter yang harus dievaluasi, yakni akuntabilitas keuangan, proses rekrutmen siswa, prestasi akademik yang dihasilkan, dan apakah persyaratan RSBI sudah terpenuhi? Akuntabilitas yang dimaksud adalah apakah SBI dalam mengelola sumberdaya termasuk keuangan bisa dipertanggungjawabkan? Bagaimana proses rekrutmennya? apakah yang direkrut benar-benar siswa berprestasi? atau karena mereka membayar? Apakah prestasi akademik siswanya menonjol atau lebih bagus dibandingkan dengan sekolah reguler?. Selain itu, perlu dievaluasi pula bagaimana pelaksanaan standar sumber daya pengajar?. Apabila sekolah yang bersangkutan tidak bisa memenuhi persyaratan dan terjadi penyimpangan, akan dijatuhkan sanksi berupa mengembalikan ke sekolah reguler.(edukasi.kompas.com,11/3)

Satria Dharma, Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI), sudah sejak awal kemunculan program RSBI (2006) mengemukakan pendapatnya, bahwa SBI itu adalah program yang salah.  Persoalan SBI  menjadi topik yang hangat di Komisi X DPR RI (8/3/2011) kemarin. Permintaan Satria Dharma, agar segera menghentikan sementara program SBI itu. Karena perlu dievaluasi secara rijit dan UU no 20 tahun 2003 pada pasal 50 ayat 3 perlu diamandemen

Selain dipicu temuan dari survey Puslitjak Balitbang, ada beberapa alasan ketua umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) dan direktur  the center for the betterment of education (CBE) ini untuk menghentikan sementara program SBI itu. Misalnya, SBI adalah program yang salah model. Kemdiknas membuat panduan model pelaksanaan untuk SBI baru (news developed), tetapi yang terjadi justru pengembangan pada sekolah-sekolah yang telah ada (existing school). Program SBI telah salah asumsi. Kemdiknas mengasumsikan, bahwa untuk dapat mengajar hard science dalam pengantar bahasa Inggris, seorang guru harus memiliki TOEFL > 500. Padahal, tidak ada hubungannya antara nilai TOEFL dengan kemampuan mengajar hard science dalam Bahasa Inggris. TOEFL bukanlah ukuran kompetensi pedagogis. Akan terjadi kekacauan dalam proses belajar-mengajar dan kegagalan didaktik. Guru tidak mungkin disulap dalam waktu yang singkat agar bisa mengajarkan materinya dalam Bahasa Inggris. Akibatnya, banyak siswa SBI justru gagal dalam ujian nasional (UN) karena mereka tidak memahami materi bidang studinya (Kompas).

Saya sangat setuju dengan tawaran Muhammad Kosim, dibagian akhir dalam tulisannya itu, bahwa banyak hal yang patut didiskusikan dalam penyelesaian SBI ini. Namun, sebelum tergilas oleh waktu, pelaku pendidikan yang melaksanakan program ini, sudah saatnya menjawab berbagai pertanyaan, dan mengambil sikap yang tegas,  RSBI/SBI, dilanjutkan atau dihentikan!
Penulis adalah Ketua HMI Cabang Padang




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Berikan Komentar Anda, tanpa ada unsur fitnah, dan menyinggung SARA!