Label

Selasa, 17 Januari 2012

Malin Kundang II



Karatau madang di hulu/Babuah babungo balun
Marantau bujang dahulu/Di rumah baguno balun

Itulah yang dikatakatan mamak setelah dua hari aku dinyatakan lulus dari sekolah. Senja itu, rinai cukup membasahi debu halaman. Sudah sebulan hujan tak turun di kampung kami. Seperti hatiku yang mulai mendingin, sendu dan gelisah. Harus memilih apa, di rumah, menjadi peternak sapi dan ayam kampung milik bapak. Jika senja mulai menyelimuti hari, cepat-cepat datang ke surau, mengajar anak-anak mengaji bersama Angku Datuak, yang sudah puluhan tahun menjadi guru ngaji di surau Tarok, surau kami. Ribuan muridnya pun sudah bertebaran di bumi nusantara ini bahkan sampai keluar negeri, ada yang sudah jadi hakim, jadi politikus, ada yang menjadi dosen di Belanda, ada yang bekerja di pemerintahan provinsi, kabupaten. Wali nagari kami sekarang, juga bekas murid ngaji beliau. Angku Datuak, tetap setia menjadi guru ngaji sampai usianya sesenja ini, tidak berubah kecuali rambut di kepalanya sudah putih warnanya. Sampai hari ini pun, pengganti kesetiaan Angku Datuak kepada surau, untuk mengajarkan anak kemenakan orang kampong sekitar mengaji, belumlah tampak. Aku sendiri, di pandang oleh ninik mamak pelanjut estafet Angku Datuak. Teramatlah berat bagiku. Enggan sekali menjalani hidup rutinitas Angku Datuak dalam abdinya terhadap surau, tempat orang-orang belajar mengaji Al quran,  di kampung kami.

Aku sudah bosan. Sudah sejak SD aku belajar di surau, tidak hanya mengaji Al quran, silek dan randai menjadi permainan biasa. Tidak seperti hari ini, anak- anak hanya mengaji dari magrib sampai  sholat Isa saja. Sudah 12 tahun aku di surau Tarok  ini, mulai dari belajar hingga sekarang dipercayakan Angku Datuak untuk membantunya mengajar. 

Ah, aku tidak tahu harus memilih apa, pergi sama mamak ke pulau Jawa, merantau  mencari uang, bekerja di kedai kelontong milik Cina, seperti yang mamak lakoni sejak usianya masih SLTP dulu, atau tinggal di kampung halaman, membantu ayah di sawah, dan menjadi guru ngaji di surau sebagai pewaris leluhur kesetiaan Angku Datuiak? Ah, keduanya, tidak satupun kehendak hatiku. Apalagi aku seorang juara kelas, mantan ketua OSIS, mantan ketua remaja surau, juara lomba MTQ, banyak piala yang ku dapat. Apalagi, nilai-nilai budaya yang kupahami, seperti dalam pelajaran BAM di MAN, dulu, “sayang ka anak di lacuti, sayang ka kampuang di tinggali”, sejatinya laki-laki minang harus merantau ke negeri jauh untuk mencari pengalaman dan membangun kampung halaman di kemudian hari. Sementara aku, adalah laki-laki yang berdarah minang asli, ayah sukunya Pitopang dan ibuku bersuku Salo. Layaknya seorang laki-laki, aku semestiya sudah memikirkan tanggng jawab, bagaimana membantu adik-adik yang masih sekolah, bagaimana bisa melepaskan bapak dan ibu dari cengkraman kesusasahan hidup yang mereka hadapi, di zaman kapitalis ini.
                                                            ***
Pagi yang masih buta, cericitan anak ayam, lenguhan sapi, kicauan burung- burung sawah, sudah mulai memberi sejuk ke telinga. Aku dan bapak berlomba menuju kandang ayam untuk membuka pintu kandang. Pagi itu, bapak sudah lebih dahulu masuk ke kandang ayam, mengambil baskom tempat mengaduk makanannya. Aku balik kanan, cepat-cepat menuju kandang sapi, memikul rumput yang kusabit pagi kemaren, lalu ku masukkan ke lawak-lawak kandangnya.

“Bagaimana yang dikatakan mamak kamu kemaren?” Tanya bapak yang menghampiriku di kandang sapi. Aku hanya diam, berat untuk menjawab, dan berat pula untuk mengatakan apa yang ku kehendaki sebenarnya. Tidak mungkin ku sampaikan, ya, rasanya tidak memungkinkan sekali, “keluhku dalam hati”. 
Sinar mentari sudah mulai menyengat, pertanda waktu Duha sudah masuk. Aku dan bapak menuju sumur untuk bersih-bersih, setelah itu kami pun masuk kedalam rumah, untuk sarapan pagi. Kali ini, adik-adik libur sekolah, karena tanggal merah, sebuah penghargaan kepada bangsa Tionghoa, dimana hari ini adalah hari raya Imlek. Kampung kelihatan lengang dari penduduk, sebagian mereka ikut melihat perayaan Imlek di kampung Cina, dekat kota Payakumbuh, sekitar 18 KM dari kampung kami. Sedangkan aku, adik-adik, ayah dan ibu di rumah saja. Memang tidak biasa melihat hiburan ke kota. Kami ke kota sekali-sekali saja, jika ada yang perlu untuk di beli.

Tak lama kami bercerita-cerita sambil menikmati sarapan pagi, masakan ibu. Tiba-tiba mamak datang. Ia kami persilahkan masuk, ia pun ikut sarapan pagi bersama kami. Selesai sarapan, mamak mengalihkan cerita, seperti yang telah kuduga. Aku tahu maksud kedatangan mamak pagi itu. Dengan rayu bujuknya, harapan untuk merubah keadaan ekonomi, mamak berusaha meyakinkan kami bagimana aku bisa ikut dengannya merantau ke tanah Jawa, untuk bekerja di toko kelontong milik Cina. 

“Berpikirlah matang-matang Lin, mau jadi apa kamu di kampung ini, kapan lagi kamu membahagiakan bapak ibumu yang sudah tua ini. Tidakkah kau rindu menyekolahkan adik-adikmu, kelak dia bisa menjadi sarjana,”. Banyak sekali celotehan mamak, mulutnya terus berkomat kamit seperti dukun membaca mantra untuk pasiennya. Aku tetap saja dengan kehendak hatiku, sedikitpun tidak tergoda dengannya. Aku semakin tenggelam pada mimpiku , ketika ia menyebut sarjana,. 

Di rumah yang sempit itu, pembicaraan kami semakin serius saja, untuk menceritakan masa depan ku, kata mamak, masa depan keluarga tergantung aku. Ini belum pernah terjadi sebelumnya, suasana tidak seperti biasanya.    

Aku memang harus merantau, aku ingin sekali. Aku bukan tidak berpikir untuk bapak, ibu dan adik-adikku, tapi bukan untuk bekerja di toko kelontong Cina, toko Jawa, atau toko orang Minang sekalipun. Aku ingin menuntut ilmu terlebih dahulu, aku ingin kuliah, kelak aku menjadi seorang sarjana. Seperti buya Hamka, dan sederetan ulama besar yang pergi merantau bukan mencari kekayaan duniawi, mereka mencari ilmu. Beda halnya dengan orang zaman sekarang, pergi merantau hanya untuk mendapatkan kekayaan harta. Pulang kampung sesekali, pas lebaran puasa saja, tidak pula pandai berbahasa Minang, bahasanya sudah melangit, yang sulit kami pahami. 

Mendengar itu mamak menjadi marah, dia naik pitan, dia berkomat-kamit lagi. Mengatakan kuliah itu mahal, sarjanapun menganggur, dan banyak celotehan miringnya tentang kuliah dan sarjana. “Malin, kita harus belajar dengan yang sudah, kamu lihat tetangga kita, si Umar, dia itu sarjana, tapi sekarang kau lihat saja dia menjadi apa, tidak bekerja, miskin, anak istrinya tidak terurus,“ alasan mamak mempengaruhi ku. Tapi entah kenapa, aku membantah mamak, memberikan harapan dan mengemukakan alasan-alasanku. Aku berusaha meyakinkan mereka semua, aku hanya butuh uang masuk dan SPP semester satu saja, setelah itu aku akan cari sendiri. Tapi mamak tetap tidak bisa menerima. “Pikirkanlah matang-matang, kau anak tua, adik-adikmu butuh sekolah, bapak ibumu  sudah tua. Jangan kau menjadi si Malin Kundang untuk ibu bapakmu, untuk mamak, untuk kampung kita, Malin. Banyak orang yang kuliah, bertahun-tahun lamanya, setelah tamat, mereka tidak lagi pandai kesawah, tidak lagi pandai membantu orang tunya, tidak lagi mau meramaikan masjid atau mushala, bahkan mereka tidak patuh pada adat dan agama, mereka telah menjadi malin kundang untuk orang tuanya, untuk kaumya, dan untuk negerinya sendiri. Mamak khawatir, kau terjebak dalam lingkaran yang sama’’, setelah itu mamak pergi begitu saja. Aku diam saja, sepertinya mamak marah besar, padahal dia mau berangkat ke pulau Jawa dua hari lagi. 

Bapak  memang sangat bijaksana, dia berbicara hanya sepatah-dua patah kata, bagai sabda bagi kami. Bapak orangnya begitu, tegar, dan tidak banyak bicara. ,” Malin, tetapkan pilihanmu”, kata bapak meyakinkanku. “Aku benar ingin kuliah pak”, singkat saja aku jawab, mengikuti alur bapak. “Dimana kau ingin kuliah?”. Aku lulus jalur PMDK di Padang, kampus ternama pulau Sumatera. Selama ini memang tak ku kabarkan sama bapak atau ibu. Daftar ulang masih ada waktu sampai seminggu siap libur panjang”, jawab ku.
                                                           ***
Mamak sudah berangkat ke tanah Jawa, dia marah. Dia pulang sebetulnya hanya menjemput ku, sekalian bersilaturrahmi sanak saudara, karib kerabatnya ketika kecil dulu. Sore yang memancarkan warna merah jingga di langit barat, udara yang sejuk, segerombolan burung sawah lewat di atas atap rumah ku. Tiba-tiba, empat orang laki-laki buncit dengan Mobil Kap Biru Tua berhenti di jalan samping rumah. Dia menanyakan bapak. Sebentar saja bapakpun mendatangi mereka, mereka menuju kandang sapi. Induk sapi itu mereka keluarkan dari kandangnya, kemudian mereka naikkan ke mobil itu. Aku terkejut, ternyata bapak menjual induk sapi yang setiap pagi dan sore aku kasih rumput. Sungguh aku tidak tahu rencana bapak seperti ini. Aku cepat-cepat ke sumur, aku sedih. “Malin, Malin,” bapak memanggilku, cepat-cepat ku usap air mataku yang meleleh ke pipi, aku datangi bapak, seolah tidak terjadi apa-apa. Bapak dan ibu tersenyum, seakan memberikan makna yang dalam, senyuman mereka jatuh ke hulu jantung ku, dan mengalir ke hatiku. Mereka tenggelam dalam linangan air mataku. Aku terkurung dalam teduh jiwanya.   
                                                           ***
Hujan yang turun dari malam, masih menyisakan gerimis pagi itu. Jalan tanah di samping rumah, dihiasi becek yang dalamnya hampir selutut. Aku sudah siap dengan tas jenjeng, yang berisi ijazah MAN, baju-baju, kue, gelamai, dan ajik yang sengaja di buatkan ibu sejak seminggu sebelumnya. Aku menuju jalan raya, menunggu bus menuju  ke Padang. Tak lama menunggu “Bahagia” datang, membunyikan klakson panjang, dan berhenti di depan ku. Ku cium tangan bapak dan ibu, ku peluk kedua adikku, aku masuk kedalam bus. Gembira, sedih, hampa, hambar, cemas, hiba, semuanya bercampur. “Bahagia” merek bus jurusan Mudiak Payakumbuh  - Padang. Sopirnya sudah terkenal ngebut, sesekali memencet klakson yang mengejutkan. Kerneknya yang lihai, bergayut di pintu belakang sambil berteriak, “Padang, Padang, Padang, Padang Duduak, Padang duduak”.
                                                          ***
Hari –hari tidak ada yang panjang, begitu singkat, sudah lima semester pula aku menjadi mahasiswa. Sudah  tahun ke tiga aku menyandang almamater bewarna hijau itu, “Demi Kedjajaan Bangsa”, begitu visi besar kami dari kampus itu. Sudah sering pula, aku terbang mewakili almamater itu ke daerah Jawa, Medan, Makasar dan bahkan pernah ke Malaysia. Sudah sepuluh kali lebih pula aku turun aksi demontrasi, sudah sepuluh kali pula aku di usir dosen dari kelas, karena perbedaan pendapat. Sudah lebih dari sepuluh wanita pula yang menjadi pacarku. Bapak, ibu dan dua orang adikku terkadang melintasi hingar-bingar pandanganku. Payakumbuh-Padang, memang tidak sejauh ke pulau Jawa. Tapi pulang kampung hanya sekali-sekali. Pada liburan semester pun hanya 2-3 hari saja. Karena aku terlalu sibuk di kampus, mengurs BEM. Bergelut dengan rekan-rekan aktifis, membicarakan pemerintahan, provinsi, Negara, menghujat pak SBY, anggota DPR, mengkritisi pak Wali Kota, bahkan Barack Obama dan apa saja. Selalu membantah setiap kebijakan rektor. 
Aku memang telah malas pulang kampung, kabar bapak dan ibu hanya di ketahui lewat telpon genggam saja. Malam itu, tiba-tiba telepon genggam ku berbunyi.
”Assalamualikum,”
waalaikum salam. Malin, minggu depan kamu pulang ya, bapak sudah tidak kuat lagi kesawah. Padi kita panen minggu depan,
cepat-cepat ku lihat jadwal kegiatan ku, ah, ternyata minggu besok kosong.
“pak aku minggu besok mau ke Jakarta, ada urusan mahasiswa”.
 Aku terpaksa berbohong, karena aku tidak lagi pandai kesawah, tidak lagi pandai beternak ayam dan sapi. Aku malu, masa aktivis mahasiswa seperti aku mau mengerjakan itu. Andai rekan-rekan mahasiswa ku di BEM tahu, begitu kerjaku di kampung, mau disurukkan kemana muka ku sebagai seorang Presiden Mahasiswa, yang setiap saat bergelut dengan anggota Dewan, Wali Kota, Demonsrasi, masuk TV, dan aku biasanya bekerja dengan komputer, kesawah adalah urusan petani, bukan urusan orang besar, yang di segani di kampus, Akhh..
Padang, 2011


1 komentar:

Silahkan Berikan Komentar Anda, tanpa ada unsur fitnah, dan menyinggung SARA!