Karatau madang di hulu/Babuah
babungo balun
Marantau bujang dahulu/Di
rumah baguno balun
Itulah yang
dikatakatan mamak setelah dua hari
aku dinyatakan lulus dari sekolah. Senja itu, rinai cukup membasahi debu halaman. Sudah sebulan hujan tak turun
di kampung kami. Seperti hatiku yang mulai mendingin, sendu dan gelisah. Harus
memilih apa, di rumah, menjadi peternak sapi dan ayam kampung milik bapak. Jika
senja mulai menyelimuti hari, cepat-cepat datang ke surau, mengajar anak-anak
mengaji bersama Angku Datuak, yang sudah puluhan tahun menjadi guru ngaji di
surau Tarok, surau kami. Ribuan muridnya pun sudah bertebaran di bumi nusantara
ini bahkan sampai keluar negeri, ada yang sudah jadi hakim, jadi politikus, ada
yang menjadi dosen di Belanda, ada yang bekerja di pemerintahan provinsi,
kabupaten. Wali nagari kami sekarang, juga bekas murid ngaji beliau. Angku
Datuak, tetap setia menjadi guru ngaji sampai usianya sesenja ini, tidak
berubah kecuali rambut di kepalanya sudah putih warnanya. Sampai hari ini pun,
pengganti kesetiaan Angku Datuak kepada surau, untuk mengajarkan anak kemenakan
orang kampong sekitar mengaji, belumlah tampak. Aku sendiri, di pandang oleh
ninik mamak pelanjut estafet Angku Datuak. Teramatlah berat bagiku. Enggan
sekali menjalani hidup rutinitas Angku Datuak dalam abdinya terhadap surau,
tempat orang-orang belajar mengaji Al quran,
di kampung kami.
Aku sudah bosan. Sudah sejak SD aku
belajar di surau, tidak hanya mengaji Al quran, silek dan randai menjadi
permainan biasa. Tidak seperti hari ini, anak- anak hanya mengaji dari magrib
sampai sholat Isa saja. Sudah 12 tahun aku di surau Tarok ini,
mulai dari belajar hingga sekarang dipercayakan Angku Datuak untuk membantunya
mengajar.
Ah, aku tidak
tahu harus memilih apa, pergi sama mamak ke pulau Jawa, merantau mencari
uang, bekerja di kedai kelontong milik Cina, seperti yang mamak lakoni sejak
usianya masih SLTP dulu, atau tinggal di kampung halaman, membantu ayah di
sawah, dan menjadi guru ngaji di surau sebagai pewaris leluhur kesetiaan Angku
Datuiak? Ah, keduanya, tidak satupun kehendak hatiku. Apalagi aku seorang juara
kelas, mantan ketua OSIS, mantan ketua remaja surau, juara lomba MTQ, banyak
piala yang ku dapat. Apalagi, nilai-nilai budaya yang kupahami, seperti dalam
pelajaran BAM di MAN, dulu, “sayang ka anak di lacuti, sayang ka kampuang di
tinggali”, sejatinya laki-laki minang harus merantau ke negeri jauh untuk
mencari pengalaman dan membangun kampung halaman di kemudian hari. Sementara
aku, adalah laki-laki yang berdarah minang asli, ayah sukunya Pitopang dan
ibuku bersuku Salo. Layaknya seorang laki-laki, aku semestiya sudah memikirkan
tanggng jawab, bagaimana membantu adik-adik yang masih sekolah, bagaimana bisa
melepaskan bapak dan ibu dari cengkraman kesusasahan hidup yang mereka hadapi,
di zaman kapitalis ini.
***
Pagi yang masih
buta, cericitan anak ayam, lenguhan sapi, kicauan burung- burung sawah, sudah
mulai memberi sejuk ke telinga. Aku dan bapak berlomba menuju kandang ayam untuk
membuka pintu kandang. Pagi itu, bapak sudah lebih dahulu masuk ke kandang
ayam, mengambil baskom tempat mengaduk makanannya. Aku balik kanan, cepat-cepat
menuju kandang sapi, memikul rumput yang kusabit pagi kemaren, lalu ku masukkan
ke lawak-lawak kandangnya.
“Bagaimana yang
dikatakan mamak kamu kemaren?” Tanya bapak yang menghampiriku di kandang sapi.
Aku hanya diam, berat untuk menjawab, dan berat pula untuk mengatakan apa yang
ku kehendaki sebenarnya. Tidak mungkin ku sampaikan, ya, rasanya tidak
memungkinkan sekali, “keluhku dalam hati”.
Sinar mentari sudah
mulai menyengat, pertanda waktu Duha sudah masuk. Aku dan bapak menuju sumur
untuk bersih-bersih, setelah itu kami pun masuk kedalam rumah, untuk sarapan
pagi. Kali ini, adik-adik libur sekolah, karena tanggal merah, sebuah
penghargaan kepada bangsa Tionghoa, dimana hari ini adalah hari raya Imlek.
Kampung kelihatan lengang dari penduduk, sebagian mereka ikut melihat perayaan
Imlek di kampung Cina, dekat kota Payakumbuh, sekitar 18 KM dari kampung kami.
Sedangkan aku, adik-adik, ayah dan ibu di rumah saja. Memang tidak biasa
melihat hiburan ke kota. Kami ke kota sekali-sekali saja, jika ada yang perlu
untuk di beli.
Tak lama kami
bercerita-cerita sambil menikmati sarapan pagi, masakan ibu. Tiba-tiba mamak
datang. Ia kami persilahkan masuk, ia pun ikut sarapan pagi bersama kami.
Selesai sarapan, mamak mengalihkan cerita, seperti yang telah kuduga. Aku tahu
maksud kedatangan mamak pagi itu. Dengan rayu bujuknya, harapan untuk merubah
keadaan ekonomi, mamak berusaha meyakinkan kami bagimana aku bisa ikut dengannya
merantau ke tanah Jawa, untuk bekerja di toko kelontong milik Cina.
“Berpikirlah
matang-matang Lin, mau jadi apa kamu di kampung ini, kapan lagi kamu
membahagiakan bapak ibumu yang sudah tua ini. Tidakkah kau rindu menyekolahkan
adik-adikmu, kelak dia bisa menjadi sarjana,”. Banyak sekali celotehan mamak,
mulutnya terus berkomat kamit seperti dukun membaca mantra untuk pasiennya. Aku
tetap saja dengan kehendak hatiku, sedikitpun tidak tergoda dengannya. Aku
semakin tenggelam pada mimpiku , ketika ia menyebut sarjana,.
Di rumah yang
sempit itu, pembicaraan kami semakin serius saja, untuk menceritakan masa depan
ku, kata mamak, masa depan keluarga tergantung aku. Ini belum pernah terjadi
sebelumnya, suasana tidak seperti biasanya.
Aku memang harus
merantau, aku ingin sekali. Aku bukan tidak berpikir untuk bapak, ibu dan
adik-adikku, tapi bukan untuk bekerja di toko kelontong Cina, toko Jawa, atau
toko orang Minang sekalipun. Aku ingin menuntut ilmu terlebih dahulu, aku ingin
kuliah, kelak aku menjadi seorang sarjana. Seperti buya Hamka, dan sederetan
ulama besar yang pergi merantau bukan mencari kekayaan duniawi, mereka mencari
ilmu. Beda halnya dengan orang zaman sekarang, pergi merantau hanya untuk
mendapatkan kekayaan harta. Pulang kampung sesekali, pas lebaran puasa saja,
tidak pula pandai berbahasa Minang, bahasanya sudah melangit, yang sulit kami
pahami.
Mendengar itu
mamak menjadi marah, dia naik pitan, dia berkomat-kamit lagi. Mengatakan kuliah
itu mahal, sarjanapun menganggur, dan banyak celotehan miringnya tentang kuliah
dan sarjana. “Malin, kita harus belajar dengan yang sudah, kamu lihat tetangga
kita, si Umar, dia itu sarjana, tapi sekarang kau lihat saja dia menjadi apa,
tidak bekerja, miskin, anak istrinya tidak terurus,“ alasan mamak mempengaruhi
ku. Tapi entah kenapa, aku membantah mamak, memberikan harapan dan mengemukakan
alasan-alasanku. Aku berusaha meyakinkan mereka semua, aku hanya butuh uang
masuk dan SPP semester satu saja, setelah itu aku akan cari sendiri. Tapi mamak
tetap tidak bisa menerima. “Pikirkanlah
matang-matang, kau anak tua, adik-adikmu butuh sekolah, bapak ibumu sudah
tua. Jangan kau menjadi si Malin Kundang untuk ibu bapakmu, untuk mamak, untuk kampung
kita, Malin. Banyak orang yang kuliah, bertahun-tahun lamanya, setelah tamat,
mereka tidak lagi pandai kesawah, tidak lagi pandai membantu orang tunya, tidak
lagi mau meramaikan masjid atau mushala, bahkan mereka tidak patuh pada adat
dan agama, mereka telah menjadi malin kundang untuk orang tuanya, untuk kaumya,
dan untuk negerinya sendiri. Mamak khawatir, kau terjebak dalam lingkaran yang
sama’’, setelah itu mamak pergi begitu saja. Aku diam saja, sepertinya
mamak marah besar, padahal dia mau berangkat ke pulau Jawa dua hari lagi.
Bapak memang
sangat bijaksana, dia berbicara hanya sepatah-dua patah kata, bagai sabda bagi
kami. Bapak orangnya begitu, tegar, dan tidak banyak bicara. ,” Malin, tetapkan pilihanmu”, kata
bapak meyakinkanku. “Aku benar ingin
kuliah pak”, singkat saja aku jawab, mengikuti
alur bapak. “Dimana kau ingin kuliah?”.
Aku lulus jalur PMDK di Padang, kampus ternama pulau Sumatera. Selama ini
memang tak ku kabarkan sama bapak atau ibu. Daftar ulang masih ada waktu sampai
seminggu siap libur panjang”, jawab ku.
***
Mamak sudah
berangkat ke tanah Jawa, dia marah. Dia pulang sebetulnya hanya menjemput ku,
sekalian bersilaturrahmi sanak saudara, karib kerabatnya ketika kecil dulu.
Sore yang memancarkan warna merah jingga di langit barat, udara yang sejuk,
segerombolan burung sawah lewat di atas atap rumah ku. Tiba-tiba, empat orang
laki-laki buncit dengan Mobil Kap Biru Tua berhenti di jalan samping rumah. Dia
menanyakan bapak. Sebentar saja bapakpun mendatangi mereka, mereka menuju
kandang sapi. Induk sapi itu mereka keluarkan dari kandangnya, kemudian mereka
naikkan ke mobil itu. Aku terkejut, ternyata bapak menjual induk sapi yang
setiap pagi dan sore aku kasih rumput. Sungguh aku tidak tahu rencana bapak
seperti ini. Aku cepat-cepat ke sumur, aku sedih. “Malin, Malin,” bapak
memanggilku, cepat-cepat ku usap air mataku yang meleleh ke pipi, aku datangi
bapak, seolah tidak terjadi apa-apa. Bapak dan ibu tersenyum, seakan memberikan
makna yang dalam, senyuman mereka jatuh ke hulu jantung ku, dan mengalir ke
hatiku. Mereka tenggelam dalam linangan air mataku. Aku terkurung dalam teduh
jiwanya.
***
Hujan yang turun
dari malam, masih menyisakan gerimis pagi itu. Jalan tanah di samping rumah,
dihiasi becek yang dalamnya hampir selutut. Aku sudah siap dengan tas jenjeng,
yang berisi ijazah MAN, baju-baju, kue, gelamai, dan ajik yang sengaja di
buatkan ibu sejak seminggu sebelumnya. Aku menuju jalan raya, menunggu bus menuju
ke Padang. Tak lama menunggu “Bahagia” datang, membunyikan klakson panjang, dan
berhenti di depan ku. Ku cium tangan bapak dan ibu, ku peluk kedua adikku, aku
masuk kedalam bus. Gembira, sedih, hampa, hambar, cemas, hiba, semuanya
bercampur. “Bahagia” merek bus jurusan Mudiak Payakumbuh - Padang.
Sopirnya sudah terkenal ngebut, sesekali memencet klakson yang mengejutkan.
Kerneknya yang lihai, bergayut di pintu belakang sambil berteriak, “Padang, Padang,
Padang, Padang Duduak, Padang duduak”.
***
Hari –hari tidak
ada yang panjang, begitu singkat, sudah lima semester pula aku menjadi
mahasiswa. Sudah tahun ke tiga aku menyandang almamater bewarna hijau
itu, “Demi Kedjajaan Bangsa”, begitu visi besar kami dari kampus itu. Sudah
sering pula, aku terbang mewakili almamater itu ke daerah Jawa, Medan, Makasar
dan bahkan pernah ke Malaysia. Sudah sepuluh kali lebih pula aku turun aksi
demontrasi, sudah sepuluh kali pula aku di usir dosen dari kelas, karena
perbedaan pendapat. Sudah lebih dari sepuluh wanita pula yang menjadi pacarku.
Bapak, ibu dan dua orang adikku terkadang melintasi hingar-bingar pandanganku.
Payakumbuh-Padang, memang tidak sejauh ke pulau Jawa. Tapi pulang kampung hanya
sekali-sekali. Pada liburan semester pun hanya 2-3 hari saja. Karena aku
terlalu sibuk di kampus, mengurs BEM. Bergelut dengan rekan-rekan aktifis,
membicarakan pemerintahan, provinsi, Negara, menghujat pak SBY, anggota DPR,
mengkritisi pak Wali Kota, bahkan Barack Obama dan apa saja. Selalu membantah
setiap kebijakan rektor.
Aku memang telah
malas pulang kampung, kabar bapak dan ibu hanya di ketahui lewat telpon genggam
saja. Malam itu, tiba-tiba telepon genggam ku berbunyi.
”Assalamualikum,”
waalaikum
salam. Malin, minggu depan kamu pulang ya, bapak sudah tidak kuat lagi kesawah.
Padi kita panen minggu depan,
cepat-cepat ku
lihat jadwal kegiatan ku, ah, ternyata minggu besok kosong.
“pak
aku minggu besok mau ke Jakarta, ada urusan mahasiswa”.
Aku terpaksa berbohong, karena aku tidak lagi
pandai kesawah, tidak lagi pandai beternak ayam dan sapi. Aku malu, masa
aktivis mahasiswa seperti aku mau mengerjakan itu. Andai rekan-rekan mahasiswa
ku di BEM tahu, begitu kerjaku di kampung, mau disurukkan kemana muka ku
sebagai seorang Presiden Mahasiswa, yang setiap saat bergelut dengan anggota
Dewan, Wali Kota, Demonsrasi, masuk TV, dan aku biasanya bekerja dengan
komputer, kesawah adalah urusan petani, bukan urusan orang besar, yang di
segani di kampus, Akhh..
Padang, 2011
hanya beini??
BalasHapus