Label

Selasa, 17 Januari 2012

KEBERADAAN LAPAU dalam MASYARAKAT MINANG




Masyarakat Minangkabau, menjadikan lapau sebagai tempat bercerita yang paling menyenangkan. Terjadi sudah berpuluh-puluh bahkan beratus tahun lamanya. Sulit pula menakar akar sejarahnya. Sejak kapan tradisi lapau itu ada? dan bagaimana perkembangannya?.  Hanya bisa direka-reka. 

Dahulu kala, media dalam bentuk tulisan (seperti koran) belumlah menyentuh masyarakat di ranah Minang. Orang-orang masih memakai pengumuman lewat media bunyi. Misalnya Tabuh/tontong, dipukul ketika terjadi sesuatu, dan kejadian itu perlu untuk diumumkan kepada masyarakat. Jumlah pukulanpun beragam, sesuai dengan maksud pengumuman. Jumlah  pukulan untuk pengumuman bahwa ada orang meninggal dunia, akan berbeda dengan jumlah pukulan ketika terjadi kebakaran, maling, atau berita suka cita. 

Selain itu, berita, isu, peristiwa yang terjadi di tengah-tengah kehidupan orang Minangkabau, bergulir hanya dari mulut ke mulut, tidak dituliskan dalam bentuk apapun juga. Kalaupun ada yang menuliskan perihal Minangkabau dalam tinjauan Sosiologi dan Antropologi, masih bisa dikatakan, itu tergolong baru. Namun pada hakikatnya, tulisan, kalaupun itu ada, tidak menjadi pedoman tunggal atau keberadaannya tidak mutlak. Termasuk Tambo sendiri (walaupun sekarang sudah ada versi tertulisnya), secara ilmiah, sulit diterima. Sebab tambo tidaklah sama dengan sejarah yang tertuang dalam bentuk tulisan, yang jelas akarnya, sedangkan tambo, seperangkat yang menjadi tatanan nilai dan itu hidup dalam diri yang menjadi karakter bagi masyarakat Minang. Akan tetapi, tidak bisa juga dikatakan bahwa tambo itu tidak “diimani” dalam mendiskusikan masalah-masalah budaya Minangkabau.

Kalaupun tambo menjadi seperangkat referensi bagi sebagian orang, perlu penafsiran. Penafsiran terhadap Tambo sendiri pun, cenderung beragam. Bukan berarti, karakter masyarakat Minangkabau bertentangan antara satu dengan yang lain.  Tidak ada yang absolut keberadaannya dalam mengaji apapun tentang Minang Kabau. Bahkan ada yang berani mengatakan ; akar kata Tambo itu, dari ota ambo.

 
Minangkabau sering juga disebut, bangsa yang berbudaya oral. Media, yang bersifat oral itulah yang berkembang di Minangkabau. Ada suatu tempat, dimana orang-orang menjadikan tempat itu untuk memecahkan persoalan, berbagi informasi, diskusi tentang apa saja, serta, paling tidak merajut hubungan persaudaraan, antar sesama masyarakat di Minang. Tempat itu bernama lapau. Komunikasi yang terjadi di dalam lapau, cenderung dinamakan maota lapau. Orang yang suka maota sering dijuluki paota. Maota/paota, dalam bahasa keseharian, agak mengandung konotasi negatif. Sebab, amat enggan seseorang jika dia disebut  paota, tukang ota, apalagi gadang ota

 Padahal, penulis pikir itu hanya perbedaan bahasa serta dialek. Jika maota lebih dimodernkan, maka kurang lebih akan bermakna diskusi. Sebetulnya musti dilahirkan sugesti positif bahwa maota di lapau itu adalah diskusi tentang sesuatu yang bermanfaat. jika akar kata Tambo adalah ota ambo, sudah bisa digeneralisir bahwa ota bermakna positif.

Pandangan negatif terhadap ota lapau tersebut, sebetulnya sering mengapung. Seperti yang dikatakan oleh Nora Eka Putri, di Koran Singgalang ini, halaman A-9, kolom opini (25/2), dengan judul “Politik dan tradisi kita” bahwa di Sumatera barat, secara umum, kultur masyarakat yang paota, sehingga apapun yang menjadi topik hangat di media massa, mereka bicarakan dan selesaikan di lapau. Akibat konstelasi politik dunia, kita lupa dengan pembangunan kembali berbagai sarana publik akibat gempa.
 Pada alinea ke-6, dia mengatakan,” ada satu hal yang mungkin terlupa oleh masyarakat kita, dan lupa berbuat bagi daerah. Wacana yang berkembang, kemudian menjadi debat kusir yang tidak berksudahan, hal itu menjadi potret bagi masyarakat, sehingga secara tidak langsung, hal tersebut membudaya”. 

Dari opini tersebut, penulis tertarik untuk mengomentarinya. Bahwa, tradisi ota lapau belum tentu serta-merta melupakan hal-hal yang dekat dengan kepentingan masyarakat banyak. Logikanya, jika pun orang Sumatera Barat ini menghentikan tradisi ota lapau tersebut, tidak ada jaminan untuk dipulihkannya secara cepat dan tepat, oleh pemerintah, segala masalah yang terjadi. Konteks subjek yang masih menjalankan tradisi ota lapau perlu dipertegas seharusnya.

Lain halnya dengan aparat pemerintah, yang bertugas sebagai public service, kemudian mereka menghabiskan waktu berdebat kusir di lapau  yang berada di belakang kantornya, misalnya, bisa digeneralisir bahwa mereka lupa akan tugasnya. Lain lagi halnya, fungsi kantor, dialihkan beberapa menit ke lapau, disana dibahas hal-hal yang penting, maka masih bisa ditolerir

Jika, Nora Eka Putri, memandang ota lapau sebagai sebuah tradisi di Sumatera Barat, tidak bisa dikatakan secara universal bahwa masyarakat Sumatera Barat berdebat kusir yang tidak berkesudahan. Orang Sumatera Barat, sejak dahulu kala, tidak membangun tradisi yang sia-sia. Tetapi lebih membangun tradisi, untuk mengoptimalkan potensi akal. Perlu digaris bawahi, orang Minang butuh wadah untuk mengoptimalkan potensi akal itu, sesuai dengan porsinya. 

Ada beberapa hal yang terpenting, ketika lapau menjadi sebuah media ditengah kehidupan masyarakat. Secara umum, biasanya orang datang ke lapau, pagi hari sebelum berangkat kerja, kemudian sore atau malam  hari, ketika tugasnya sebagai bagian di dalam keluarga sudah dilaksanakan. Terjadilah pembahasan apapun dan itu biasanya berkembang. Namanya lapau sebagai media tentu membahas hal-hal yang hangat. Apalagi Minangkabau, selalu “menagih” membicarakan hal yang baru.

Hal tersebut sejatinya sudah menjadi karakter yang “mengurat-mengakar” bagi masyarakat Minangkabau, yang tergambar dalam petatah-petitihnya,”sakali aia gadang, sakali tapian barubah”, yang mencirikan bahwa orang Minangkabau menyukai perubahan, tidak kaku, dan senantiasa menyesuaikan.

Ketika di dalam lapau, berwacana mengenai suatu topik, cukup menguras isi kepala. Yang tidak tahu, penasaran untuk mencari tahu. Diantara mereka secara tak langsung ada peran. Ada yang bertanya, ada yang menjawab, ada pula yang berpendapat berbeda. Katakan saja mereka meraba persoalan kisruh Libya yang tidak pernah sama sekali mereka tahu, dimana gerangan negeri itu berada, sampai masalah politik negara sendiri, ada sikap yang keluar dari kepala mereka. Setuju dengan pelaku politik itu, tidak setuju dengan pelaku ini. Sampai mengeritisi kisruh di tubuh PSII. Secara tidak langsung (mereka) ikut berpartisipasi memikirkan dunia, Negara serta apapun, dengan modal hanya segelas kopi dan sebatang rokok. Sebagai salah satu wujud kepedulian mereka dalam menghadirkan “buminya” di dalam kehidupannya, sesuai dengan porsinya.

Apa bedanya dengan mereka yang terdidik. Menghabiskan waktu berdiskusi diruang-ruang tertentu. Kantor kerja menjadi wahana yang paling empuk untuk maota dengan rekan seprofesi. Fasilitas yang dipakai, fasilitas negara. Kopi yang diminum dibeli dari anggaran. Anggaran dari pajak yang dibayar rakyat yang senantiasa memecahkan pikiran (maota) di lapau secara tradisional tadi. Kira-kira, mana yang harus disayangkan?

Pernah disuatu pagi, kepala keluarga muda, belum punya pekerjaan. Dia menjadi salah satu anggota di lapau kopi. Karena keakraban, persaudaraan, berbagi cerita dengan modal segelas kopi, dia ditawarkan untuk ikut bekerja oleh seorang bapak-bapak.  Ada juga yang memberikan informasi bahwa ada peluang kerja di suatu tempat. Ini sering terjadi dikampung-kampung. Apa jadinya, seorang laki-laki, hanya diam di rumah, di luar kegiatan kerja? Dalam masyarakat Minang, laki-laki itu dianggap tidak pandai bergaul. Apalagi seorang laki-laki yang menjadi semenda di kampung orang lain. 

Ada lagi yang paling menarik. Koperasi Unit Desa (KUD) pada masa orde baru, sekarang namanya Koperasi Unit Nagari (KUN), main julo-julo,  dalam bahasa Indonesianya hampir sama dengan arisan, kelompok/kongsi tani, dimana mereka menggarap lahan tanpa mengeluarkan upah, secara bergantian diantara mereka yang punya lahan, berbagi informasi tentang penghidupan mereka, dan lain sebagainya, tidak lain dan tidak bukan basisnya adalah lapau. Disini lah lapau berfungsi sebagai media paling startegis dalam kehidupan orang Minang. 

Secara sempit, bisa saja diartikan lapau hanya tempat dimana orang-orang berdebat kusir. Tempat dimana orang-orang tidak bekerja berkumpul. Namun, sebetulnya lapau mempunyai fungsi yang luas. Kadang kala, perkembangan teknologi, ikut serta “menghanyutkan” masyarakat yang mempunyai tradisi, dari kebersamaan menjadi individual. Tidak mau lagi, orang-orang datang ke lapau, untuk sekedar berdiskusi tentang negara, tentang dunia, bahkan tentang kampung sendiri. Pada gilirannya, lapau berubah fungsi, tempat bercokolnya, pejudi-pejudi, tempat melangsungkan berbagai bentuk kemaksiatan. Sehingga paradigma, orang-orang modern pun berubah karenanya. Dianggap fungsi lapau hanya sekedar tempat menghabiskan waktu. 

Amat disayangkan. Didalam kampung, di Minangkabau, dengan peralatan yang serba canggih ini, hampir kita tidak saling kenal. Dahulu, kampung yang berjarak berkilo-kilo, antara si A dengan si B, yang berjauhan rumah, bisa saling akrab, hubungan bagai tetangga dekat. Ini terjadi secara natural, dari proses maota lapau.

Kalaulah, professor-profesor kita hari ini, mau sesekali duduk di lapau, doktor-doktor kita sekarang ini, mau sesekali minum kopi di lapau, alangkah indahnya tradisi kebersamaan di ranah Minang. Disamping tempat yang strategis pula untuk mengajari anak-kemenakan, serta orang-orang kampung dengan cara elegan dan bersahaja. Ketimbang, berceramah, ditempat-tempat yang eklusif.

Kedekatan emosional, melalui wadah yang ada, adalah metode yang strategis untuk melangsungkan kaji. Bagaimana masyarakat awam mau berubah, generasi muda mau berubah, seperti yang banyak dibicarakan dalam makalah-makalah, opini-opini tentang prilaku generasi hari ini, prilaku masyarakat yang sudah banyak menyimpang sedangkan orang-orang hebat Minang itu sama sekali terlalu ekslusif , menjaga jarak sembari menjaga wibawa, tidak mau bercampur mengikuti tradisi kampong. Pada akhirnya, tidak ada lagi yang patut disegani orang. Orang berjudi di dalam lapau, karena tidak ada yang disegani di dalamnya. Yang patut disegani hanya berdiam diri dibalik meja disuatu ruangan yang tidak boleh masuk sembarangan orang. Nauzubillahiminzalik!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Berikan Komentar Anda, tanpa ada unsur fitnah, dan menyinggung SARA!