Masyarakat
Minangkabau, menjadikan lapau sebagai
tempat bercerita yang paling menyenangkan. Terjadi sudah berpuluh-puluh bahkan
beratus tahun lamanya. Sulit pula menakar akar sejarahnya. Sejak kapan tradisi lapau itu ada? dan bagaimana
perkembangannya?. Hanya bisa
direka-reka.
Dahulu
kala, media dalam bentuk tulisan (seperti koran) belumlah menyentuh masyarakat
di ranah Minang. Orang-orang masih memakai pengumuman lewat media bunyi. Misalnya
Tabuh/tontong, dipukul ketika terjadi sesuatu, dan kejadian itu perlu untuk
diumumkan kepada masyarakat. Jumlah pukulanpun beragam, sesuai dengan maksud
pengumuman. Jumlah pukulan untuk pengumuman
bahwa ada orang meninggal dunia, akan berbeda dengan jumlah pukulan ketika
terjadi kebakaran, maling, atau berita suka cita.
Selain
itu, berita, isu, peristiwa yang terjadi di tengah-tengah kehidupan orang
Minangkabau, bergulir hanya dari mulut ke mulut, tidak dituliskan dalam bentuk
apapun juga. Kalaupun ada yang menuliskan perihal Minangkabau dalam tinjauan Sosiologi
dan Antropologi, masih bisa dikatakan, itu tergolong baru. Namun pada
hakikatnya, tulisan, kalaupun itu ada, tidak menjadi pedoman tunggal atau
keberadaannya tidak mutlak. Termasuk Tambo sendiri (walaupun sekarang sudah ada
versi tertulisnya), secara ilmiah, sulit diterima. Sebab tambo tidaklah sama
dengan sejarah yang tertuang dalam bentuk tulisan, yang jelas akarnya,
sedangkan tambo, seperangkat yang menjadi tatanan nilai dan itu hidup dalam
diri yang menjadi karakter bagi masyarakat Minang. Akan tetapi, tidak bisa juga
dikatakan bahwa tambo itu tidak “diimani” dalam mendiskusikan masalah-masalah
budaya Minangkabau.
Kalaupun
tambo menjadi seperangkat referensi bagi sebagian orang, perlu penafsiran.
Penafsiran terhadap Tambo sendiri pun, cenderung beragam. Bukan berarti,
karakter masyarakat Minangkabau bertentangan antara satu dengan yang lain. Tidak ada yang absolut keberadaannya dalam
mengaji apapun tentang Minang Kabau. Bahkan ada yang berani mengatakan ; akar
kata Tambo itu, dari ota ambo.
Minangkabau
sering juga disebut, bangsa yang berbudaya oral.
Media, yang bersifat oral itulah yang
berkembang di Minangkabau. Ada suatu tempat, dimana orang-orang menjadikan
tempat itu untuk memecahkan persoalan, berbagi informasi, diskusi tentang apa
saja, serta, paling tidak merajut hubungan persaudaraan, antar sesama
masyarakat di Minang. Tempat itu bernama lapau.
Komunikasi yang terjadi di dalam lapau, cenderung dinamakan maota lapau. Orang yang suka maota sering dijuluki paota. Maota/paota, dalam bahasa
keseharian, agak mengandung konotasi negatif. Sebab, amat enggan seseorang jika
dia disebut paota, tukang ota, apalagi gadang
ota.
Padahal, penulis pikir itu hanya perbedaan
bahasa serta dialek. Jika maota lebih
dimodernkan, maka kurang lebih akan
bermakna diskusi. Sebetulnya musti dilahirkan sugesti positif bahwa maota di lapau itu adalah diskusi
tentang sesuatu yang bermanfaat. jika akar kata Tambo adalah ota ambo, sudah bisa digeneralisir bahwa ota bermakna positif.
Pandangan
negatif terhadap ota lapau tersebut,
sebetulnya sering mengapung. Seperti yang dikatakan oleh Nora Eka Putri, di
Koran Singgalang ini, halaman A-9, kolom opini (25/2), dengan judul “Politik
dan tradisi kita” bahwa di Sumatera
barat, secara umum, kultur masyarakat yang paota, sehingga apapun yang menjadi topik
hangat di media massa, mereka bicarakan dan selesaikan di lapau. Akibat
konstelasi politik dunia, kita lupa dengan pembangunan kembali berbagai sarana
publik akibat gempa.
Pada alinea ke-6,
dia mengatakan,” ada satu hal yang
mungkin terlupa oleh masyarakat kita, dan lupa berbuat bagi daerah. Wacana yang
berkembang, kemudian menjadi debat kusir
yang tidak berksudahan, hal itu menjadi potret bagi masyarakat, sehingga secara
tidak langsung, hal tersebut membudaya”.
Dari
opini tersebut, penulis tertarik untuk mengomentarinya. Bahwa, tradisi ota lapau belum tentu serta-merta
melupakan hal-hal yang dekat dengan kepentingan masyarakat banyak. Logikanya,
jika pun orang Sumatera Barat ini menghentikan tradisi ota lapau tersebut, tidak ada jaminan untuk dipulihkannya secara
cepat dan tepat, oleh pemerintah, segala masalah yang terjadi. Konteks subjek
yang masih menjalankan tradisi ota lapau
perlu dipertegas seharusnya.
Lain
halnya dengan aparat pemerintah, yang bertugas sebagai public service, kemudian mereka menghabiskan waktu berdebat kusir di lapau yang berada di
belakang kantornya, misalnya, bisa digeneralisir
bahwa mereka lupa akan tugasnya. Lain lagi halnya, fungsi kantor, dialihkan
beberapa menit ke lapau, disana dibahas
hal-hal yang penting, maka masih bisa ditolerir.
Jika,
Nora Eka Putri, memandang ota lapau
sebagai sebuah tradisi di Sumatera Barat, tidak bisa dikatakan secara universal bahwa masyarakat Sumatera
Barat berdebat kusir yang tidak
berkesudahan. Orang Sumatera Barat, sejak dahulu kala, tidak membangun tradisi
yang sia-sia. Tetapi lebih membangun tradisi, untuk mengoptimalkan potensi
akal. Perlu digaris bawahi, orang Minang butuh wadah untuk mengoptimalkan
potensi akal itu, sesuai dengan porsinya.
Ada
beberapa hal yang terpenting, ketika lapau
menjadi sebuah media ditengah kehidupan masyarakat. Secara umum, biasanya orang
datang ke lapau, pagi hari sebelum
berangkat kerja, kemudian sore atau malam
hari, ketika tugasnya sebagai bagian di dalam keluarga sudah
dilaksanakan. Terjadilah pembahasan apapun dan itu biasanya berkembang. Namanya
lapau sebagai media tentu membahas
hal-hal yang hangat. Apalagi Minangkabau, selalu “menagih” membicarakan hal
yang baru.
Hal
tersebut sejatinya sudah menjadi karakter yang “mengurat-mengakar” bagi
masyarakat Minangkabau, yang tergambar dalam petatah-petitihnya,”sakali aia gadang, sakali tapian barubah”,
yang mencirikan bahwa orang Minangkabau menyukai perubahan, tidak kaku, dan senantiasa
menyesuaikan.
Ketika
di dalam lapau, berwacana mengenai
suatu topik, cukup menguras isi kepala. Yang tidak tahu, penasaran untuk
mencari tahu. Diantara mereka secara tak langsung ada peran. Ada yang bertanya,
ada yang menjawab, ada pula yang berpendapat berbeda. Katakan saja mereka
meraba persoalan kisruh Libya yang
tidak pernah sama sekali mereka tahu, dimana gerangan negeri itu berada, sampai
masalah politik negara sendiri, ada sikap yang keluar dari kepala mereka.
Setuju dengan pelaku politik itu, tidak setuju dengan pelaku ini. Sampai mengeritisi
kisruh di tubuh PSII. Secara tidak langsung (mereka) ikut berpartisipasi
memikirkan dunia, Negara serta apapun, dengan modal hanya segelas kopi dan
sebatang rokok. Sebagai salah satu wujud kepedulian mereka dalam menghadirkan “buminya”
di dalam kehidupannya, sesuai dengan porsinya.
Apa
bedanya dengan mereka yang terdidik. Menghabiskan waktu berdiskusi
diruang-ruang tertentu. Kantor kerja menjadi wahana yang paling empuk untuk maota
dengan rekan seprofesi. Fasilitas yang dipakai, fasilitas negara. Kopi yang
diminum dibeli dari anggaran. Anggaran dari pajak yang dibayar rakyat yang
senantiasa memecahkan pikiran (maota) di lapau
secara tradisional tadi. Kira-kira, mana yang harus disayangkan?
Pernah
disuatu pagi, kepala keluarga muda, belum punya pekerjaan. Dia menjadi salah satu
anggota di lapau kopi. Karena
keakraban, persaudaraan, berbagi cerita dengan modal segelas kopi, dia ditawarkan
untuk ikut bekerja oleh seorang bapak-bapak.
Ada juga yang memberikan informasi bahwa ada peluang kerja di suatu
tempat. Ini sering terjadi dikampung-kampung. Apa jadinya, seorang laki-laki,
hanya diam di rumah, di luar kegiatan kerja? Dalam masyarakat Minang, laki-laki
itu dianggap tidak pandai bergaul. Apalagi seorang laki-laki yang menjadi semenda di kampung orang lain.
Ada
lagi yang paling menarik. Koperasi Unit Desa (KUD) pada masa orde baru,
sekarang namanya Koperasi Unit Nagari (KUN), main julo-julo, dalam bahasa
Indonesianya hampir sama dengan arisan,
kelompok/kongsi tani, dimana mereka menggarap lahan tanpa mengeluarkan upah,
secara bergantian diantara mereka yang punya lahan, berbagi informasi tentang
penghidupan mereka, dan lain sebagainya, tidak lain dan tidak bukan basisnya
adalah lapau. Disini lah lapau
berfungsi sebagai media paling startegis dalam kehidupan orang Minang.
Secara
sempit, bisa saja diartikan lapau hanya tempat dimana orang-orang berdebat
kusir. Tempat dimana orang-orang tidak bekerja
berkumpul. Namun, sebetulnya lapau mempunyai fungsi yang luas. Kadang kala,
perkembangan teknologi, ikut serta “menghanyutkan” masyarakat yang mempunyai
tradisi, dari kebersamaan menjadi individual. Tidak mau lagi, orang-orang
datang ke lapau, untuk sekedar berdiskusi tentang negara, tentang dunia, bahkan
tentang kampung sendiri. Pada gilirannya, lapau berubah fungsi, tempat
bercokolnya, pejudi-pejudi, tempat melangsungkan berbagai bentuk kemaksiatan.
Sehingga paradigma, orang-orang modern pun berubah karenanya. Dianggap fungsi lapau hanya sekedar tempat menghabiskan
waktu.
Amat
disayangkan. Didalam kampung, di Minangkabau, dengan peralatan yang serba
canggih ini, hampir kita tidak saling kenal. Dahulu, kampung yang berjarak
berkilo-kilo, antara si A dengan si B, yang berjauhan rumah, bisa saling akrab,
hubungan bagai tetangga dekat. Ini terjadi secara natural, dari proses maota lapau.
Kalaulah,
professor-profesor kita hari ini, mau sesekali duduk di lapau, doktor-doktor kita sekarang ini, mau sesekali minum kopi di lapau, alangkah indahnya tradisi
kebersamaan di ranah Minang. Disamping tempat yang strategis pula untuk
mengajari anak-kemenakan, serta orang-orang kampung dengan cara elegan dan bersahaja. Ketimbang,
berceramah, ditempat-tempat yang eklusif.
Kedekatan emosional, melalui wadah yang ada, adalah metode yang
strategis untuk melangsungkan kaji.
Bagaimana masyarakat awam mau berubah, generasi muda mau berubah, seperti yang
banyak dibicarakan dalam makalah-makalah, opini-opini tentang prilaku generasi
hari ini, prilaku masyarakat yang sudah banyak menyimpang sedangkan orang-orang
hebat Minang itu sama sekali terlalu ekslusif
, menjaga jarak sembari menjaga wibawa,
tidak mau bercampur mengikuti tradisi kampong. Pada akhirnya, tidak ada
lagi yang patut disegani orang. Orang berjudi di dalam lapau, karena tidak ada yang disegani di dalamnya. Yang patut
disegani hanya berdiam diri dibalik meja disuatu ruangan yang tidak boleh masuk
sembarangan orang. Nauzubillahiminzalik!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Berikan Komentar Anda, tanpa ada unsur fitnah, dan menyinggung SARA!