Label

Rabu, 27 Juni 2012

Mengurai Kusut Masai Pembangunan Ritos







Begitu Ironis. Kusut masai perizinan Pembangunan Riau Town Square (Ritos)  di kawasan Bandar Seni Raja Ali Haji (Bandar Serai) belum juga jelas ujung pangkalnya. Sementara pembangunan terus dilakukan. Rapat dengar pendapat(hearing) lanjutan antara DPRD Riau dengan Setraprov dan pemerintahan kota Pekanbaru serta perusahaan kontraktor, PT. Bangun Megah Mandiri Propertindo, Senin (4/6) pekan lalu, di medium DPRD Riau dapat dikatakan sama dengan nihil. Karena, masing-masing perwakilan instansi terkait, tidak berani mengemukakan sikap yang tegas. Apakah Ritos terus dibangun atau dihentikan? Rapat tanpa kesimpulan itu menyematkan kekecewaan pada wajah DPRD Riau.

Hal tersebut terus ditanggapi oleh DPRD provinsi. Hasilnya, melalui komisi A dan Komisi B , DPRD Riau akhirnya merekomendasikan agar proses pembangunan dihentikan untuk sementara waktu. Tetapi, rekomendasi itu boleh disebut sama dengan tunggul di atas abu. Sekali angin berhembus, abu hilang entah kemana. Bahkan, Pemprov Riau sama sekali mengangkangi  rekomendasi tersebut. Apa jadinya jika DPRD tidak dianggap. Itu tindakan penyepelean rakyat. Karena, DPRD adalah perpanjangan tangan masyarakat Riau.

Dewasa ini, Jika kita cermati berita di media masa, proses pembangunan pusat belanja dengan rencana 17 lantai itu sungguh sangat mengherankan. Kenapa tidak, Ketua komisi B DPRD Riau, T. Rusli Ahmad, jauh-jauh hari sebelumnya sudah mengatakan kepada sejumlah media bahwa proses pembangunan tersebut tidak memiliki payung hukum. Tetapi pernyataan tersebut dibantah oleh Biro Perlengkapan Setdaprov Riau. Pemprov mengatakan bangunan tersebut sudah memiliki IMB sementara dan izin prinsip dari Pemko Pekanbaru. Dalam hal ini, Saya meragukan apa kekuatan  IMB sementara dan izin prinsip? Ini proses pemudahan demi  ‘segerobak ‘ proyek Pemprov dan Pemko atau permainan apa? Sehingga, banyak pihak yang bertanya, seperti apa Pemprov Riau dan Pemko Pekanbaru memahami proses hukum? Padahal IMB tidak bisa terbit kalau surat peruntukan tanah belum kelar.

Bahkan, DPRD Riau sudah mengatakan di media massa kalau pembangunan itu melanggar hukum.
Lagi pula, sudah nyata-nyata kawasan Bandar Serai (eks. MTQ) adalah kawasan untuk pengembangan kebudayaan Riau. Yayasan Seni Raja Ali Haji (Serai) sudah 12 tahun lamanya menghuni dan bekerja untuk pengembangan kebudayaan di sana. Tiba-tiba, kawasan tersebut mau disulap menjadi pusat bisnis dan komersial. Ambiguitas sikap pemangku-kepentingan, sebenarnya melemahkan peran kebudayaan. Bahkan dapat disinyalir bangunan tersebut meredusir kebudayaan melayu yang tercinta ini. 

Sebelumnya, Komisi A dan Komisi B, DPRD Riau, dalam rapat tersebut mendesak pemprov Riau dan Pemko Pekanbaru untuk menunda pembangunan selama perizinan belum selesai. "Kami tidak mau terseret dengan hukum," tegas ketua Komisi B, DPRD Riau, T.Rusli Ahmad, seperi yang saya kutip di salah satu pemberitaan media lokal. Kemudian, Rusli juga mengatakan bahwa perobohan tiga (3) anjungan di kawasan Bandar Serai oleh kontraktor lokal, pun belum dibayar pihak pengembang Ritos. Untuk itu, DPRD meminta agar PT. Bangun Megah Mandiri Propertindo segera membayar hutang-hutang tersebut. 

Rusli menyebutkan, karyawan kontraktor lokal yang telah bekerja untuk meruntuhkan tiga anjungan bangunan kebudayaan untuk pembangunan Ritos, sudah dua kali mendatangi kantor DPRD. Para karyawan, kata Rusli, menuntut haknya yang belum diberikan PT. Bangun Megah Mandiri Propertindo.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Utama (Dirut) PT. Bangun Megah Mandiri Propertindo, Haryo Bimo berjanji untuk segera melunasi hutang kepada kontraktor lokal sebagai pihak ketiga. 

 Tentang IMB sementara dan izin prinsip tadi, ditanggapi pula oleh Ketua komisi A, DPRD Riau H. Masnur. Menurutnya, izin prinsip yang diberikan Walikota Pekanbaru bukan merupakan tindakan hukum. Itu hanya berdasarkan kemurahan hati Walikota Pekanbaru saja. Hukum dan perasaan sebetulnya harus terpisah untuk melahirkan kebijakan.

Amat disayangkan, nyaris tidak ada sikap penolakan dari unsur dan lembaga apapun. Memang, dalam tulisan ini saya tidak menghendaki ada percekcokan tanpa arti. Hanya saja, di surat tanah, peruntukan tanah Bandar Serai itu adalah untuk pengembangan kebudayaan Riau, bukan sebagai pusat bisnis dan komersial, hotel, kolam renang dan arena permainan lainnya. Tetapi mudah saja, tiga anjungan sudah diratakan dengan tanah, meski masih bermasalah perizinannya. Penolakan yang saya maksud adalah Penolakan demi mewujudkan kebudayaan. Hal ini hendaknya datang dari pemangku adat, seniman dan budayawan sebagai perpanjangantangan masyarakat yang cinta akan kebudayaan itu sendiri. Ini nyaris tidak ada. Apakah pihak Pemprov dan Pemko serta pemangku kepentingan lainnya mengemas isu sedemikian rupa sehingga tidak banyak dari unsur masyarakat yang peduli. 

Saya sangat merasakan kesedihan hati tokoh adat kita. H. Tenas Efendy yang pernah hadir dalam rapat dengar pendapat (hearing)kedua bersama DPRD dan unsur Pemprov Riau. Saya dapat mengutip apa yang disampaikannya, karena waktu rapat itu saya juga hadir sebagai pendengar. 

“Saya sangat sedih, perih terasa. Tapi. Demi pengembangan pembangunan di Riau, biarlah. Meskipun hati nurani saya bertentangan dengannya. Meski pun pedih perih terasa, saya tetap diurutan paling depan menjaga marwah Riau,” ungkapnya dihapan DPRD dan pemerintahan. 

Betapa dalam kalimatnya. Tetapi Ritos meski tanpa izin itu hingga kini diteruskan juga. Tidak hanya itu, gencarmya pembangunan di Riau ini, mengorbankan hati nurani tetua-tetua kita. Seperti keputusan yang disampaikan budawan Riau, Al Azhar. Pihaknya menolak pembangunan Ritos di Bandar Serai, baik sebagian apalagi keseluruhan. Karena, bangunan itu adalah pusat bisnis dan komersial. Meski pada akhirnya, budawan kita ini melunak. Dia menyebutkan, jika benar tidak dapat lagi dibatalkan, biarlah. Dia juga mengajukan sarat yang intinya, bangunan Ritos harus bersinergi dengan pengembangan budaya. Kemudian, arsitekturnya harus mencerminkan nilai-nilai kebudayaan Riau. 

Sikap itu akhirnya mengatasnamakan budawan dan seniman Riau, yang ditanda tangani oleh ketua umum H. Tenas Effendy dan ketua DPH LAMR, Al Azhar. Pemangku adat kita mengalah demi kemajuan generasinya. Saya kira, tidak ada lagi yang paling bijak mengenai kusut massai pembangunan Ritos selain budayawan itu. Yang mempunyai sikap, dan menerima risiko bahwa 12 tahun yayasan Seni Raja Ali Haji (Serai) di kawasan purna MTQ itu akhirnya mengalah selangkah untuk pembangunan pusat bisnis dan komersial yakni Riau Town Square (Ritos).

Saya meragukan hal ini. Permintaan untuk mensinergikan dengan kebudayaan dan bangunan yang akan disesuaikan dengan nilai-nilai kebudayaan Riau tentu tidak punya ukuran. Lambat laun, kebudayaan akan teredusir dari tanahnya sendiri. Jika pusat bisnis itu terus dibangun tanpa izin yang jelas, kontroversial antara idealitas dengan realitas, Ritos convention centre itu akan menguras nilai-nilai kebudayaan kita.




Oleh: Mayonal Putra
(Penulis adalah Pengurus Institutte of Social Empowerment and Development (ISED)-Pekanbaru )





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Berikan Komentar Anda, tanpa ada unsur fitnah, dan menyinggung SARA!