Label

Sabtu, 04 Februari 2012

Emansipasi Wanita dalam Dwilogi Padang Bulan


oleh Mayonal Puerta pada 4 Desember 2010 pukul 21:41



Dwilogi Padang Bulan (Juni 2010) merupakan dwilogi novel pertama Andrea Hirata, setelah ia berhasil dengan novel Laskar Pelangi  (2006) yaitu; Laskar pelangi, Sang pemimpi, Edensor dan Maryamah Karpov. Novel Laskar Pelangi mampu menempatkan Andrea sebagai novelis fenomenal dengan jutaan kopi secara resmi serta dikirakan lebih 12 kopi secara tidak resmi (pirated copies) dan telah menjadi penelitian mahasiswa di berbagai perguruan tinggi. Sekarang novel-novelnya sudah diterjemahkan keberbagai bahasa. Ketika novel Laskar Pelangi diadaptasi menjadi sebuah film, adalah audience terbanyak  dalam sejarah perfilman Indonesia .

Walau pada awal novel ini (Laskar Pelangi) beredar di pasaran, dan mulai dibaca oleh banyak orang, sempat beberapa “sastrawan” meragukan kalau itu belum bisa dikatakan sebuah novel dalam khasanah kesusasteraan. Andrea, tidak tertanggu proses kreatifnya dengan desas –desus itu, yang penting dia menulis. Akhirnya banyak golongan mengakui bahwa Andrea Hirata mampu menyihir seluruh aspek masyarakat  dengan pilihan diksi dan metafora yang ringan, bersahaja dan edukatif serta Andrea Hirata telah memberikan warna tersendiri dalam khasanah kesusasteraan Indonesia .

Dalam dwilogi novel Padang Bulan, yang disambung dengan novel Cinta di dalam Gelas, Andrea Hirata ingin mengangkat “sesuatu yang tersembunyi di dalam diri manusia”, yang suatu ketika bisa menjadi bom waktu bagi orang lain serta mampu mengangkat harkat potensial individu. Rahasia ini tidak semua orang yang bisa mengetahui, bahwa ada kekuatan dalam diri yang membuat sekeliling menjadi geger. Dalam pandangan hidup keseharian pada masyarakat melayu kampung, bahwa perempuan seolah-olah hanya bertanggungjawab terhadap persoalan domestik sedang laki-laki menguasai seluruh aspek kehidupan. Penulis mengartikan ini bahwa ada emansipasi dalam dwilogi Padang Bulan.

Sebelum masuk kedalam isi novel, penulis lebih ingin mengemukakan harfiah emansipasi. Secara harfiah, emansipasi wanita adalah kesetaraan hak dan gender. Pengertian dari kata ‘emansipasi’ yang paling populer adalah suatu usaha untuk menuntut persamaan hak-hak kaum wanita terhadap hak-hak kaum pria di segala bidang kehidupan. Emansipasi wanita memberi wanita kesempatan bekerja, belajar, dan berkarya seperti halnya para pria, seimbang dengan kemampuannya. Emansipasi mengingatkan kita kembali bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk pria yang artinya sejajar, para wanita ini tidak sama dengan pria melainkan sejajar. Pria mempunyai kelebihan-kelebihan yang wanita tidak punya dan wanita mempunyai kehebatan-kehebatan yang tidak dimiliki pria. Kebebasan disini maksudnya kebebasan yang berkualitas, bukan kebebasan 100% karena biar bagaimanapun, tetap saja ada hal-hal yang memang dari “sananya” sudah diciptakan perbedaan-perbedaan prinsipal yang wanita tidak bisa kerjakan, hanya pria yang bisa, sesuai dengan kodrat masing-masing. Arti dari emansipasi wanita yang tepat adalah memperjuangkan agar wanita bisa memilih dan menentukan nasib sendiri. Dan untuk tahap selanjutnya pembekalan agar wanita mampu untuk menentukan nasib dan membuat keputusan ini sering disebut dengan pemberdayaan wanita.
Emansipasi adalah kata-kata yang paling akrab di telinga kita jika yang dibicarakan adalah hal ihwal tentang wanita. Istilah ini demikian populernya pada era globalisasi ini, terutama setelah munculnya gerakan Women’s Liberation atau gerakan Feminisme, suatu gelombang protes kaum wanita yang menuntut emansipasi wanita. Emansipasi dalam konteks kekinian seringkali merupakan alasan yang dicari bagi kaum feminis untuk mendapatkan kebebasan seluas - luasnya, yang seringkali berlebihan kadarnya.
Hal ini, diketengahi sebetulnya oleh Andrea dalam Padang Bulan dan Cinta dalam Gelas, yang mengambil tokoh Enong. Walaupun Andrea tidak pernah satu katapun membuat kata emansipasi dalam novelnya. Enong  adalah sebutan Maryamah ketika kecil oleh Zamzami, bapaknya. Enong adalah anak tertua, dia gemar dengan pelajaran bahasa Inggris di sekolahnya. Ia baru kelas 6 SD. Zamzami, bapak Enong, dari pergulatan hidup yang melelahkan , ia telah menjadi korban kecelakaan di ladang timah, ia terkubur dan nasib mempertemukannya dengan ajal. Seketika itu juga, Enong belum tamat sekolah dasar, terpaksa ia mengantikan posisi bapaknya dalam keluarga.

Kebiasaan adat melayu kampung, perempuan di pandang tabu melakukan pekerjaan yang biasanya dikerjakan oleh kaum laki-laki. Bagi Enong yang baru 14 tahun, demi keinginan untuk melepaskan hidup dari kelaparan, melepaskan hidup dari kebodohan, ia menginginkan adik-adiknyalah yang dapat melanjutkan pendidikannya hingga menjadapatkan ijazah minimal SD. Maka Enong pun melakoni pekerjaan sebagai pendulang timah. Enong lah orang pertama –dalam catatan Andrea—sebagai perempuan pertama pendulang timah di seluruh dunia. Enong tidak memikirkan hasil, yang penting ia berniat bagaimana bisa membeli setekong beras untuk ibu dan adik-adiknya. Maka, Andrea menggambarkan bahwa ada kompetisi yang alot  dalam memperebutkan ladang timah antara sesama pendulang. Apalgi Enong, hanya seorang perempuan kecil. Sering di lecehkan (karena ia hanya perempuan) dan bahkan di buru dengan senjata api, panah dan anjing.

Dengan keadaan hidup yang demikian rumit, seolah-olah Enong selalu berkelahi, berperang, berburu dengan angkat senjata, melawan dengan gagah berani, seperti Cut Nyak Dien dalam medan petempuran melawan penjajah dari tanah Aceh, untuk menyelamatkan hidupnya, namun ia tak pernah gentar, tak pernah takut, dan cita-citanya untuk belajar bahasa Inggris selalu digemarinya. Ia selalu mencatat jika ada kata inggris dan mencoba melihat kamus bahasa Inggis “1 miliyar kata” –hadiah dari bapaknya semasa hidup—yang selalu di bawanya kemanapun ia pergi. Enong, nyaris tidak menikah karena ingin melepaskan adik-adiknya dari pertempuran hidup.

Di dalam novel Cinta Didalam gelas, sambungan novel pertama, masih dwilogi Padang Bulan, Enong, begitu sebutannya ketika kecil, sekarang Maryamah nama aslinya. Tidak pernah berhenti dan putus asa. Belajar bahasa Inggris ia tekuni dan ia cari tempat kursus bahasa inggris yang puluhan km dari rumahnya, yang di bantu oleh tokoh Ikal. Walaupun ia  murid paling tua di kelas itu, namun ia berhasil menjadi lulusan dengan peringkat yang membanggakan. Mendulang timah masih pekerjaan nomor satu baginya. Kemudian, ia menikah dalam usia yang boleh dikatakan tua, dengan Matarrom, seorang lelaki hidung belang, yang akhirnya membuat Maryamah sakit hati, pedih, luka hidupnya semakin menganga setelah Matarrom meninggalkannya dan mempersitri wanita di pulau lain. Maryamah yang merdeka tak ingin di jajah, dia putuskan untuk sendiri lagi, dan ingin melawan Matarrom dalam kejuaraan catur 17 an. Dengan bantuan Ikal, Detektif M. Nur, Lintang yang cerdas, Jose Rizal yang lihai, dan Alfin and Chipmunks, serta Grand Master Ninochka Stronovsky, seorang grand master dunia asal Georgia dan teman Ikal ketika kuliah di Sarbone University, Prancis. Maryamah menjadi perempuan pertama main catur dikampungnya, yang sebelumnya ia mendapatkan protes dari kaum laki-laki, bahwa perempuan tidak boleh diikutkan main catur, dan main catur adalah permainan laki-laki. Ini menjadi persoalan yang paling penting, hingga di bawa ke persidangan yang di hadiri oleh masyarakat, tokoh sampai keanggota DPR. Dan Maryamah mendapat dukungan dari kaum perempuan pasar. Ternyata persoalan ini dapat diselesaikan dan menghasilkan keputusan bahwa maryamah boleh ikut dalam kejuaraan catur pada 17 an, memeriahkan kemerdekaan Indonesia , yang kurang berpihak pemerintahannya kepada kaum-kaum miskin pada suku Melayu kampung, di Belitong. Kekuatan potensi dan pencarian Maryamah, sebagai seorang perempuan melayu kampung, yang tidak dapat ijazah SD, mampu menempatkannya menjadi perempuan pertama pendulang timah, yang kemudian diikuti oleh banyak orang, dan menjadikannya sebagai perempuan  pertama dalam kejuaraan catur yang kemudian juga diikuti oleh banyak perempuan lain. Andrea, dalam menokohkan Maryamah di novel ini, tidak mengajak pembaca untuk memahami emansipasi dalam konteks yang berlebihan. Maryamah, sebagai perempuan pendulang timah, dan pelomba catur pertama di kampung Melayu, yang memahami perempuan hanya sebagai manusia yang mengurusi persoalan domestik, ternyata dengan elegan Andrea, menuliskan melalui tokoh Maryamah, mampu menjadikan perempuan melayu yang paham tanggungjawabnya dalam hal domestik namun tidak mengkebiri haknya di wilayah publik.

(dimuat di Singgalang Minggu)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Berikan Komentar Anda, tanpa ada unsur fitnah, dan menyinggung SARA!