oleh Mayonal Puerta pada 2 Desember 2010 pukul 23:11
Meng(k)aji Minang Kabau dalam forum nasional dengan peserta para pemuda dan mahasiswa merupakan hal yang jarang terjadi. Padahal persoalan ini sangat krusial dalam menumbuh-kembangkan nilai-nilai budaya sebagai salah satu kekuatan pembaharu di tengah kompleksitas kehidupan berbangsa-bernegara. Ternyata hal ini ada juga terselenggara dalam forum Intermediate Training se-nasional yang di angkat oleh HMI Padang.
Ada beberapa hal yang menarik menurut penulis tentang paparan materi oleh Muhammad Taufik. Pertama adalah membaca ulang budaya Minang, berkaca kepada tokoh yang bernama Tan Malaka. Kenapa Tan Malaka yang harus di sorot dalam soal ini? Kenapa tidak Hatta, Syahrir, Natsir, Agus Salim atau tokoh Minang lain yang sederatan dengan mereka? M. Taufik memaparkan bahwa ketika melihat dan membaca ulang Tan Malaka mengisyaratkan bahwa negeri Minangkabau sangat menjunjung tinggi intelektualitas secara kolektif. Pandam Gadang, Suliki, merupakan daerah yang sangat terisolir. Namun, kaum Tan Malaka mengumpulkan biaya sedikit-sedikit untuk menyekolahkannya tinggi-tinggi. Pada zamannya, kira-kira tahun 19-an, di bawah penjajah kolonial Belanda, orang kampung Pandam Gadang sudah berpikir bagaimana anak negeri bisa sekolah tinggi-tinggi. Ada proses kebudayaan yang dilalui Tan Malaka sehingga ia mampu berpikir berilian untuk menggagas kemerdekaan Indonesia seratus persen.
Beda halnya dengan Syahrir, Natsir, Agus Salim dan tokoh lain yang membahana namanya dalam buku-buku sejarah. Kehidupan mereka secara finansial keluarga jauh lebih berada di banding keluarga Tan Malaka. Berarti ada sebuah kewajaran bagi mereka untuk dapat sekolah tinggi-tinggi.
Yang kedua, bahwa laki-laki Minangkabau untuk melengkapi kodratnya sebagai laki-laki harus merantau. Merantau yang dimaksud bukanlah merantau fisik semata namun jauh dari itu. Merantaukan pikiran kenegeri jauh, negeri yang tak berpeta, berpetualang dalam membangun imajinasi sebagai bukti watak orang minang yang lebih mencintai nilai-nilai intelektual. Lagi pula laki-laki Minang memang tidak mau mewarisi harta pusaka, sebab itu sepenuhnya di kuasai oleh kaum perempuan. Maka haruslah pandai dan cerdik para lelaki dalam menghidupkan diri dan bertanggung jawab kepada anak-kemanakan. Merantau secara fisik dan pemikiran merupakan solusi yang tepat bagi kaum lelaki untuk membangun kaumnya.
Yang ketiga adalah, bahwa tidak ada kebenaran yang absolutisme di Minang Kabau. Beda halnya dengan peradaban Jawa yang selalu menumpangkan kepercayaan dan hal-hal yang dianggap baik kepada raja atau pun guru, dan mereka harus selalu di hormati, fanatik serta mempunyai kebenaran yang absolute. Sedangkan di Minangkabau tidak demikian, yang tergambar dengan filosofinya bahwa “raja benar raja di sembah, raja salah raja di bantah”. Ada proses intelektualitas di dalamnya. Mengesankan bahwa orang Minang sangat menghargai demokrasi dalam tatanan pola pikir. Disini pula agaknya penulis rasa, bahwa Minangkabau dikatakan lebih pluralis dan komunal. Kenapa pluralis? Sebelum perjanjian bukik Marapalam di Tanah Data, Minang sudah mempunyai filosofi yang mengisyaratkan kemerdekaan berpikir ; adat basandi ka mufakat, mufakat basandi ka nan bana, nan bana berdiri sendiri. Berdiri sendiri dalam hal ini tidak ada satupun juga—dari kompleksitas kehidupan Minang—yang memberikan satu pengertian saja. Tidak juga ada dijumpai yang mengatakan yang bana berdiri sendiri itu adalah mempercayai kekuasaan kepada sesuatu. Mengindikasikan adanya kebebasan beragama dalam hal ini. Sungguhpun demikian tatanan kehidupan sosial orang Minang memberikan kebebasan berpikir, kebebasan menggunakan kodrati akal yang sangat rasional dalam bertindak, bukan berarti orang Minang mempunyai agama dan kepercayaan yang banyak dan bermacam ragam. Tetapi dengan kebebasan raionalitasnya, yang menjunjung benar kodrati akal, mereka saling mempengaruhi secara proses ilmiah dalam memandang; nan bana berdiri sendiri itu.
Komunal yang dimaksud, dapat pula kita lihat perihal penguasaan tanah yang tidak ada satupun sifatnya individual, seluruh tanah adalah milik kaum yang di garap bersama-sama dan dinikmati hasilnya bersama-sama pula. Disinilah salah satu ke-komunal-an orang Minangkabau, sehingga ada dari orang-orang tertentu mengatakan Minang lebih komunis dari Rusia. Sejak sudah lama hal ini berkembang—walaupun tidak ada sertifikasi tanah seperti pengaruh kapitalis hari ini—namun masyarakat Minangkabau tidak pernah berkelahi sampai habis bulu dengan anggota kaumnya dalam merebut warisan tanah dan harta pusaka tinggi kecuali mereka mempertahankan tanah dari jajahan Belanda walaupun sampai titik darah pengabisan. Kepemilikan tanah secara berkaum-kaum, penegakan rumah secara berkaum-kaum, panen pun berkaum-kaum menandakan orang Minang senantiasa bergotong royong, berat sama di pikul, ringan sama di jinjing, kalurah samo manurun kabukik samo mandaki. Betapa indahnya tatanan kehidupan sosial Minangkabau yang mempengaruhi watak dan karakterisitik masyarakatnya nan suko ba gotong royong.
Ke empat, Minang itu perubahan. Ada kalimat yang latah di mulut kita, sakali aie gadang, sakali tapian barubah, artinya Minang bukanlah sebuah peradaban yang stagnan, terkubur oleh sejarahnya sendiri, justru sebaliknya, mereka bangkit dengan sejarahnya sendiri, batuah ka nan manang, baraja ka nan sudah, alam takambang jadi guru, merupakan kata-kata yang sangat filosofi yang mengandung ribuan makna yang sudah bertahun-tahun silam orang Minang mengaplikasikannya dalam kehidupannya. Sakali aie gadang, sakali tapian berubah, tapian tidak pernah akan hilang walau air sebesar apapun derasnya, namun hanya berubah. Begitu juga dengan kehidupan Minangkabau yang mengalami perkembangan setiap saat, bukan dalam hal material tapi lebih kepada pemikiran. Jika boleh kita coba bandingkan, orang Minangkabau dimanapun ia berada, boleh dikatakan tidak ada yang mau jadi buruh yang kerjanya di topang oleh rutinitas, namun orang Minang lebih memilih untuk berjualan kecil-kecilan namun mempunyai perkembangan, paling tidak harapan dari pedagang kali lima, menjadi kedai, kedai menjadi toko, begitu seterusnya. Kita lihat orang Jawa, ketika mereka mempunyai keterampilan menjual Bakso dengan gerobak, seumur hidup mereka berjualan dengan gerobak dengan berkeliling setiap sore.
Kelima, peran perempuan Minang. Andai perempuan Minang hari ini mengerti dengan keminangannya, maka tidak ada kelompok-kelompok feminism, yang selalu menuntut persamaan hak, emansipasi, genre dan segala macam istilah. Sebab sudah sejak lama perempuan Minang mendapat tempat yang strategis terhadap penguasaan harta pusaka, sementara laki-laki minang tidak. Perempuan dalam konteks keminangan bukanlah wabah penyakit, bukan pula kaum yang di pinggirkan tetapi Bundo Kanduang, limpapeh rumah gadang yang selalu di hargai kaum laki-laki dan diberikan kepercayaan untuk menguasai harta warisan. Makanya kekerabatan Matrilineal, garis keturunan memihak kepada ibu, merupakan pertanda padusi Minang sangat berperan. Jika hari ini, ada gerakan feminis yang menyuarakan genre, menuntut emansipasi berarti mereka tidak lagi memahami kedudukan padusi di Minang, atau bisa dikatakan bahwa mereka bukanlah orang Minang lagi secara esensial. Perempuan Minang itu paling tidak mengetahui hak-haknya dalam soal publik, dan bertanggung jawab dengan soal domestik.
Keenam, ketidak-jelasan dan tidak adanya teks. Minangkabau itu adalah ketidak-jelasan. Ketidak jelasan itu lah yang mempunyai makna maha filosofi menurut penulis. Karena orang Minang di beri kebebasan, kemerdekaan penuh untuk memberi interpretasi terhadap keminangannya sesuai dengan pencariannya masing-masing. Seperti Tan Malaka telah memberikan interpretasi terhadap keminangnya atas pencariannya (sesuai prosenya), begitu juga dengan Hatta, Natsir, Agus Salim dan lain sebagainya. Penulis mengibaratkan Minangkabau itu sama dengan cinta, kalau di beri defenisi maka akan menjadi terbatas. Makanya biarkan cinta tidak di beri defenisi secara terang, dan semua orang bebas merdeka mendefenisikan cinta itu seperti apa yang mereka mau. Begitu juga dengan Minangkabau, jika di buat teks nya dan di dalamnya di muat seluruh kompleksitas kebudayaan Minangkabau, maka dia akan menjadi terbatas. Kita akan terhukum oleh aturan-acuan tertulis. Tidak kaya lagi interpretasinya. Disinilah akan muncul hegemoni teks.
Banyak hal yang menjadi pemikiran bagi kita, kenapa baju Minang itu baju gunting Cina namanya. Kenapa tidak baju gunting Minang saja. Kemudian pakaian suntiang saat baralek. Menandakan kecina-cinaan, merah-merah mengkilat. Begitu juga dengan kampung. Dimanapun orang minang tinggal, tidak pernah ada namanya kampung minang, seperti di setiap kota di Indonesia ada kampung jawa, ada pula kampung cina. Semua ini tidak ada yang bersifat jelas, termasuk asalnya minang ini. Ada yang mengatakan keturunan Zulkarnaen, ada pula yang mengatakan kita ini keturunan Yahudi. Berita sejak Gunung Marapi sebesar telur itik, kebenarannya secara ilmiah di pertanyakan. Begitu juga dengan Tambo. Kebenaran secara ilmiah tidak bisa di buktikan, sebab Tambo menurut M. Taufik berasal dari Ota Ambo yang di singkat dengan Tambo. Minang kabau memang tidak jelas dan tidak usah di jelaskan secara tekstual. Inilah khasanah kebudayaan yang maha kaya nilai, interpretasi dan kemerdekaan yang hari ini tidak semua orang Minang tahu, sehingga kita terjebak oleh budaya yang harus di jelas-jelaskan, dan di teks-teks kan.
Penulis, Ketua HMI Cabang Padang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Berikan Komentar Anda, tanpa ada unsur fitnah, dan menyinggung SARA!