oleh Mayonal Puerta pada 3 Desember 2010 pukul 20:33
Pementasan teater “tanah ibu” karya/sutradara Syuhendri yang dimainkan oleh aktor-aktor remaja, Rabu malam (27/10) menarik perhatian penonton yang memenuhi gedung Teater Utama, Taman Budaya Sumatera Barat. Kenapa tidak, dari permainan saja yang di lakoni oleh 6 (enam) orang putri itu menampilkan adegan-adegan yang luar biasa namun di luar usia mereka. Maksudnya adalah, beberapa permainannya, aktor remaja putri itu keluar dari usia sesungguhnya, itu pulalah yang membuat saya tertarik dengan permainan mereka. Memang wajar saja, bentuk visualisasi di atas panggung tidak menuntut usia sesungguhnya sebagai usia tampilannya. Dalam garapan ini ada kolaborasi tokoh, anak-anak, dewasa, yang diperankan oleh masing-masing aktor serta kekecewaan perempuan Minang terhadap perantauan laki-laki.
Diawal pementasan, mereka menampilkan adegan permainan tradisioanal anak-anak Minang yang selalu kreatif, mempermainkannya dengan penuh kegirangan dalam sebuah bentuk kolektivitas, sekarang permainan tradisional anak-anak Minang itu sudah tergantikan oleh permainan impor dari Jepang dan Eropa, sudah serba canggih. Sebut saja, play station, game on line, robot-robot dengan remot control, yang bisa dimainkan oleh anak-anak secara sendiri-sendiri. Hal ini sebenarnya sangat mempengaruhi perkembangan kepribadian anak.
Permainan tradisioanal mengasah mereka lebih kolektif dalam menjalankan hidup, sedang permainan canggih mempengaruhi mereka untuk individualis. Saya juga tidak tahu sebetulnya, apakah sutradara ingin menampilkan permainan tradisioanl kembali untuk anak-anak Minang atau hanya sekedar keindahan teknik muncul dalam pementasan teater? Sepanjang yang saya lihat, seakan-akan memberikan interpretasi yang menjemput kembali kreatifitas dan kegirangan anak-anak Minang masa lalu dalam menjalankan kehidupannya, yang suatu saat akan mempengaruhi kedewasaannya.
Tanah ibu (begitu judul pementasan ini) mengingatkan saya kepada pementasan karya/sutradara Syuhendri sebelumnya, Rumah Jantan. Karena menurut saya beberapa hal yang sama, katakan saja kostum pemain, dan beberapa bentuk lain seperti alur, gaya, bloking, dan pola tampilan mengaji anak-anak Minang ketika kecil, semuanya hampir sama. Atau mungkin saja, Tanah Ibu merupakan balasan dari Rumah Jantannya Syuhendri. Sebab di Rumah Jantan, lelakilah yang merantau sedangkan di tanah ibu, perempuan Minang kecewa dengan perantauan para lelaki itu. Karatau madang di hulu, babuah babungo balun, marantau bujang dahulu, di rumah paguno balun, mengisayaratkan bahwa rantau hanya berlaku untuk lelaki di Minangkabau, sedang perempuan harus menunggu rumah dan harta pusaka tinggi. Inilah yang di sanggah, bahwa hal seperti lelaki pun dapat di lakukan perempuan, maka sampiran pantun pun harus di rubah, karatau mudiak di hulu, babuah ateh palupuah, marantau upiak dahulu, masa’ salamoko amuah kanai kicuah.
Perempuan-perempuan hari ini mempertanyakan rantau yang dipetualngi oleh kaum lelaki. Para lelaki menjadikan rantauannya sebagai rantauan Cina, tidak pulang-pulang. Saya mengartikan ini sangat dalam, sebab rantau biasanya dalam minangkabau mempunyai dua bentuk yang saling menopang, pertama adalah rantau dalam bentuk fisik, kedua rantau dalam bentuk pemikiran. Sejatinya orang Minang merantau tidak hanya mengumpulkan harta benda, tapi pengetahuanpun dari dunia luar harus diserap, sehingga menjadikan mereka menjadi orang yang lengkap secara harta dan hebat secara pengetahuan.
Dalam konteks kekinian, Syuhendri membuka realita. Bahwa perempuan kecewa dengan rantauan para lelaki, dua aspek yang menjadi harapan bagi masyarakat kampung sudah jauh panggang dari dari api. Ketidak pulangan lelaki dari rantau juga memberikan interpretasi ganda, pertama, mungkin secara fisik pulang ke kampung tapi sesungguhnya gagal secara ekonomi, kedua, mungkin secara fisik lelaki pulang dari rantau, tapi secara pengetahuan, pengalaman dan pikiran untuk berpetuah ke anak-kemanakan gagal, serta gagal pula dalam mempertenggangkan orang kampuang. Sebab kita lihat, perantau pulang dari rantau, budaya Minang nan elok bijaksana sudah digantikannya dengan budaya antah berantah, budaya dimana mamak tidak peduli dengan anak-kemanakan, budaya tidak lagi menjadi contoh teladan. Budaya Saluang dan Rabab yang di gantinya menjadi budaya diskotik yang mempertontonkan ketidak-wajaran kepada orang kampungnya.
Karatau mudiak di hulu, babuah ateh palupuah, marantau upiak dahulu, salamoko kanai kicuah. Adalah hal yang dekat untuk hari ini. Perempuan-perempuan Minang merasakan dirinya hanya menjaga harta pusaka di kampung, sehinga ia tidak bisa bepergian jauh seperti lelaki. Mereka menganggap bahwa menjaga harta pusaka di kampung secara terus-menerus merupakan sebuah kutukan yang selama ini di tutupi seolah-olah perempuan adalah penguasa hak waris.
Beberapa hal yang menyentil dari tanah ibu
Ruang teater utama Taman Budaya dipenuhi para penonton dari berbagai asal dan komunitas. Saya perhatikan penontonnya mulai dari anak-anak sekolah, mahasiswa dari berbagai kampus dan komunitas, seniman dan budayawan, serta beberapa orang asing yang kebetulan sedang di Padang dalam rangka pertukaran pelajar. Begitu menariknya pementasan yang di sutradarai oleh Syuhendri itu. Tepuk tangan yang riuh ketika ada adegan-adegan lucu dari penonton pun tidak bisa di bendung. Tapi tepuk tangan yang mengapresiasi permainan, yang tidak di buat-buat, karena sentilan-sentilan dan kritik sosial yang terang-terangan di sampaikan para aktor.
Syuhendri berangkat dari realitas dunia pendidikan, dimana ada kastanisasi di dalam dunia pendidikan itu sendiri. Dengan polah pendidikan berkwalitas, internasional, apakah masih rintisan atau sudah SBI dengan biaya yang melangit yang tidak bisa dinikmati oleh seluruh kalangan, yang pada akhirnya menjadikan siswa-siswa robot yang hanya bisa menghafal rumus-rumus pelajaran. Sedangkan implementasi nilai-nilai pendidikan itu sendiri sungguh tidak tercerminkan dari sikap, mental dan tingkah laku keseharian siswa dengan sekolah yang melangit harganya itu. Ini terjadi dalam adegan para pemain ketika mereka main sekolah-sekolahan. “Dari pada main sekolah-sekolahan lebih baik sekolah benaran”, “sekolah benaran kan mahal”, begitu visualisasinya. Penonton pun bertepuk tangan? Kritikan terhadap pendidikan ini di sampaikan begitu jelas dalam permainan. Itu yang pertama!
Yang kedua adalah kritikan terhadap perburuan orang-orang hari ini untuk menjadi guru. Orang-orang berebut hendak menjadi guru, karena katanya, mejadi guru merupakan pekerjaan yang menjanjikan secara finansial. Tepat sekali momennya hari ini bahwa orang-orang berebut tes CPNS. Apalagi guru mempunyai sertifikasi, dengan hanya mengumpulkan berbagai sertifikat bisa melambungkan gaji dua kali lipat. Ketiga, persoalan korupsi yang meraja lela di setiap lini kehidupan, apalagi di lembaga-lembaga pemerintahan. Ke-empat, dengan kekecewaan perempuan Minang terhadap para lelaki yang tidak berhasil merantau dalam konteks kekinian, perempuan bersikeras ingin meninggalkan tanah pusaka, tanah ibu, dan merantau kenegri jauh secara fisik.
Realita ini berhasil di ungkap dalam garapan tanah ibu ini. Dimana perempuan Minang, berduyun-duyun ke negeri orang untuk menyelamatkan kehidupan mereka dari ancaman kapitalis. Namun tujuan perempuan Minang merantau ini yang harus di pertanyakan. Hemat saya, adalah hal yang salah ketika rantau bagi orang Minang hanya mengumpulkan harta, mencari kekayaan semata. Sebab dalam garapan ini, pemain mengucapkan, ada ubi ada talas, mari kita menggalas, pantat buruk ini masih bisa di galas, dengan menepuk pantatnya ke penonton. Penontonpun tertawa terkikih-kikih sambil bertepuk tangan. Rantau tidak lagi menjadi bermakna untuk hari ini. Padahal, perempuan Minang juga bisa merantau secara pemikiran ke negeri jauh, kenegeri yang tak berpeta. Lalu, kenapa rantau hanya dipahami—dalam garapan ini—bepergian jauh-jauh untuk berdagang dan mengumpulkan uang, walaupun dengan cara yang salah.
Ending dari pementasan ini memberikan jawaban kiranya kepada penonton. Ada ketidak-layakan perempuan merantau, meningalkan tanah ibu dengan menjual apa saja, maka seorang aktor kembali ke tanah ibu, dengan meninggalkan kopernya, membayangkan nasib pupus bagi anak-anak jika semua perempuan Minang benar-benar meninggalkan tanah ibu. Menurut saya dalam konteks kekinian, perempuan Minang merantau karena hak waris pun tidak sepenuhnya lagi di berikan kepadanya, karena hari ini tanah sudah di sertifikasi yang dulu milik kaum yang di pegang perempuan kini telah menjadi milik individual, milik orang yang bermodal, lantas, apa lagi yang harus di jaga oleh perempuan Minang di kampung nya hari ini? Sedang rantauan laki-laki pun tidak sanggup membuat mereka betah di Rumah Gadang.
Pementasan yang berdurasi 45 menit itu, saya pikir cukup membangunkan penonton dari keterpurukan Ranah Minang yang indah dalam cerita. Semoga syuhendri berkarya lagi setelah ini dalam rangka masih melihat sisi gelap Ranah Minang.
Penulis adalah penonton teater
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Berikan Komentar Anda, tanpa ada unsur fitnah, dan menyinggung SARA!