Label

Minggu, 15 Januari 2012

Bengkuang Pasar raya





 “Seperempat cintaku hampir kembali”. Aku berbisik ke telinga Rira. Aku agak lega bisa bercerita panjang dengannya sore tadi di pantai. Ya, aku yakin, bisikku itu pasti disampaikan ke Eca. Meskipun mereka sudah lama berpisah karena pernah berselisih paham di sekolahnya yang lama. Paling tidak, perselisihan mereka sudah berakhir setelah Rira pindah ke  sekolah menengah yang berada di belakang pasar ikan itu. Kabarnya  mereka sudah karib lagi. Aku yakin, yakin sekali, bisikku tadi, pasti sampai.

 “Pasti besok Eca gembira mendengar kaduan Rira”.

Aih, Eca pasti langsung mengajak ku jalan-jalan di pasar raya. Seperti dua hari lalu. Eca menggandeng tangan ku, seharian berkeliling-keliling di pasar raya. Walaupun pada sorenya, aku jadi begitu benci melihat kuda, apalagi bengkuang. Paling tidak,  Eca sudah mengajak ku berjalan di tengah sempitnya los-los pedagang kain.  Setiap melewati los, pedagang selalu ramah, hendak menunjukkan kehebatan jualannya.

 “Ini dari Samarinda, peci ini dari Malaysia” dan banyak lagi-banyak lagi, seperti gemuruh, kadang-kadang tak jelas bunyinya.

Aku dan Eca terus saja berjalan, karena kami memang tidak membeli, ya, hanya jalan-jalan. Eca menarik lenganku, lalu diapitkan tangan kanannya ke bawah ketiakku.  Badan ku terasa sangat besar saat berjalan. Jalan menjadi sempit. Orang-orang hilir mudik . Kami terus saja berjalan seperti itu, berjuang melewati ramainya pengunjung pasar siang itu.

Kami sampai di pasar buah. Pedagang buah sahut bersahutan. Pedagang rambutan berteriak sekuat yang dia bisa. Menandingi teriakan pedagang tomat, apel, dan bengkuang. Soalnya,  rambutan dari Binjai, tempo hari harganya jatuh. Dari Rp 5000 turun menjadi Rp 2500 perkilogramnya.
Masa musim buah-buahan tiba. Isu  bisnis pedagang buah di pasar raya sama hangatnya dengan suhu politik atau pejabat korupsi di ibu kota. Para pedagang saling bersaing untuk menarik minat pengunjung pasar. Mereka berteriak seperti tim kampanye partai politik sedang berorasi. Suaranya dilepas sekuat yang mereka bisa. Sampai kelihatan urat lehernya sebesar kacang panjang.

Durian-durian dari pesisir sudah dua hari masuk pasar raya. Aku merasa mau muntah-muntah karena bau durian yang di bolong tupai begitu menyengat. Lagi pula aku tak suka durian, tak selera. Sedangkan Eca, wuis, pasti hidungnya sudah kembang kempis mencium bau durian sejak tadi. Aku yakin, karena aroma durian bolong, penyakit doyannya seketika, kembuh.

Aku masih ingat. Saat bulan-bulan pertama pacaran dengan Eca, tepatnya dua tahun lalu. Dia mengajakku makan ketan durian di pinggir jalan Ganting. Aku kaget, tiga buah durian, habis dia libas. Sementara aku, kalimpasing menahan sengatan durian yang menurutku aneh dan sangat tidak menyenangkan.

Memang, keluargaku tidak ada yang suka makan durian, kecuali orang tua laki-laki bapak. Ya, kakekku itu, menurut cerita bapak, dulu penggalas durian terkenal di Kota Padang ini. Sampai –sampai, durian jualannya ditawari oleh tentara Belanda. Kata bapak, saat itu Ratu Wilhelmia sedang ngidam durian. Kakek senang sekali berhadapan dengan anak buah ratu Wilhelmia itu. Sampai-sampai, kakek memakai safari empat saku saat berjualan dengan tentara itu.  Padahal biasanya baju itu hanya dipakai kakek saat-saat penting saja. Bapakku ketika itu masih kecil, dia ikut membantu kakek mengangkat durian ke mobil Volkswagen Kombi  anak buah ratu Hindia Belanda itu. Kata bapak, menurut orang-orang berkulit putih, durian jualan kakek rasanya sangat enak, bijinya kecil, isinya putih kekuningan. Sedangkan durian yang dibolong tupai tidak boleh dijual.

 “Itu jatah tetangga,” kata kakek kepada bapak.

Hebatnya, kakek dinobatkan sebagai penjual durian yang berkualitas tinggi, sampai-sampai kakek dapat medali penghargaan dari ratu  Wilhelmia sebagai penjual durian terbaik 1939.

Hah..mengingat cerita kakek dari bapak, aku pikir, aku dan Eca jodoh. Seperti kakek yang suka durian, selalu akrab dengan bapak yang sedikitpun tidak suka durian. Begitu pula dengan aku dan Eca. Eca selalu kembang kempis hidungnya mencium aroma durian, sedangkan aku menjulur lidah ku bila tersengat bau durian. Aku mual, seperti orang hamil tiga bulan. Aku yakin, kami jodoh. Kali ini kenapa Eca tak mendesakku membeli durian? Aih, ini keberuntungan. Selain aku muak dengan durian, uang juga tidak ada. Syukurlah, kali itu Eca baik.

Peruntungan kecocokan kami, tampaknya memang di los pasar buah yang sempit itu. Bukankah Eca juga suka berjalan bergandengan tangan di areal pasar sempit itu? Berdesak-desakkan, seperti orang mendemo  pasar itu beberapa hari lalu. Tapi, pendemo dengan Eca tentu aja berbeda. Eca, sangat senang dengan pasar yang sempit, sedangkan pendemo, menuntut walikota agar pasar dilebarkan. Aku juga memilih sama dengan Eca, suka yang sempit.  Yang lebar, bagi ku dan bagi Eca  suatu yang tidak menyenangkan.

Durian itu semakin menusuk hidung ku. Eca terus saja berjalan melewati pedagang durian yang telah membuatku setengah mabuk darat. Tingkah Eca kali itu lain. Dia menyeret lenganku yang mulai melemah, dengan sigap meluncur ke lorong penjual sepatu bekas, dan terus ke belakang penjual kartu perdana telepon seluler. Mual perutku mulai surut. Eca melepaskan tangannya yang sedari tadi aku kepit. Tangannya basah karena cucuran peluhku. Eca tahu, suhu tubuhku panas sekali. Tanpa banyak basa-basi, dia langsung memesan dua gelas teh poci cincau dingin. Aku duduk dikursi kayu yang hampir patah  di depan penjual bengkuang. Pandanganku berkunang-kunang dan mulai kelam. Wajahku pucat pasi, bibir gemetar hebat seperti mesin pemeras air tebu.

 “Ah, durian memang buah yang paling kejam sedunia,” kataku dalam hati. Eca dengan sigap menyodorkan pipet teh poci cincau dingin ke bibir ku,  telapak tangan kirinya dia tempelkannya dikening ku.

 “Abang kepanasan, ada apa abang?

Aku berusaha tersenyum, karena sudah lama sekali ia tak seperhatian begitu kepadaku, hampir dua bulan. Menurut kabar teman-temannya, Eca sedang dekat dengan seorang lelaki keling berambut keriting pula. Kata Rira tadi sore, nama lelaki itu Oyong. 

Wew wew wew, aku kenal dengan Oyong. Dia memang jauh lebih jelek dari ku.  
Gosip  itulah yang membuat tubuhku sempoyongan selama dua bulan terakhir. Sekolah ku kacau.

Tapi, kali ini Eca terasa baik. Sehari itu rasa cemburu ku tidak lagi menggebu.  Aroma durian bolong mulai hilang dari ku. Mataku mulai normal, karena Eca berada disamping.

 “ Oh tidak apa-apa Eca, abang baik –baik saja”.
Tapi kenapa abang keringatan?

 “ Manalah mungkin abang Eca ini lemas,” kataku berusaha semangat. Padahal, aku masih lemas, bau durian memang jahat. Sama jahatnya dengan Oyong yang telah mengelabui Eca.

Hari sudah mulai sore. Bayangan  mulai memanjang arah ketimur. Kali ini, sengatan bau durian benar-benar hilang. Aku mulai bugar. Aku dan Eca pun kembali berjalan. Kelihatan senyum Eca begitu damai. Aku terpaut disimpulnya.

Kami melewati lorong parkiran bendi.  Dari dulu aku tahu kalau Eca suka sekali melihat kuda. Menurutnya, kuda binatang yang paling gagah. Kadang-kadang, aku pun dia katakan bagaikan kuda. Kalau Eca menyebutku kuda yang mengirit kereta kencana, itu sama artinya, aku sedang tampan sekali. Setiap kali Eca menyebutku sama dengan kuda pelari kencang, kuda dari padang sabana, kuda liar dari Bima atau kuda yang meringkik gagah, aku selalu senyum gembira.

Kuda, memang punya cerita panjang, masuk dalam buku-buku sejarah,  hadir dalam riwayat nabi. Mungkin sebab itu juga Eca melambangkan sebuah ketampanan dan kejantanan dengan seekor kuda.

Sementara aku,dari dulu mengumpamakan Eca dengan bengkuang pasar raya. Setiap kali Eca menyebutku kuda binal, aku membalasnya dengan bengkuang pasar raya yang di peram tiga hari.  Pertama kali Eca memang kerinyutan keningnya mendengar panggilan bengkuang diperam. Setelah kujelaskan, bahwa bengkuang itu lambang kecantikan. Khasiatnya banyak sekali. Kata Dr. Valsembick van deventer, bengkuang dapat memutihkan kulit keturunan ratu Wilhelmia. Selain itu, bengkuang sangat cocok untuk perempuan berkulit kuning langsat.

Dalam bayanganku, ratu Wilhelmia, yang pernah memberikan penghargaan kepada kakek puluhan tahun silam, sama cantiknya dengan paras Eca. Hanya saja soal hidung dan warna bola matanya. Tentu saja ratu Wilhelmia, hidungnya lebih mancung dan bola matanya berwarna biru.

Sedangkan Eca, sejak pernah jatuh dari sepeda ketika kecil, batang hidungnya patah. Tentu saja hidung Eca jadi tidak begitu mancung, namun tidak mengurangi kecantikan Eca dalam pandangan ku. Sedangkan bola mata Eca hitam legam, bersemayam dalam bulat matanya. Pandangannya berpendar liar dan tajam. Siapa saja menantang pandangannya, tanpa hitungan menit, akan kalah. Mata Eca sama dengan mata elang mengincar anak ayam. Setidaknya mata kucing jantan di malam hari. Ini pulalah mungkin, si Oyong keriting itu suka pula dengan Eca.

Begitulah Eca, kuberi umpama dengan bengkuang pasar raya diperam tiga hari. Menurut nenek Rostiani, bengkuang bila diperam akan semakin manis. Getahnya semakin hilang. Begitu pula Eca, semakin lama memandangnya, dia seperti bengkuang. Kulitnya putih, alisnya tebal. Ya, persis sekali seperti bengkuang pasar raya. Jika rasanya, manis serasa bengkuang diperam tiga hari.

Selain itu, alasanku mengatakan Eca sama dengan bengkuang, adalah keturunan pihak ibu ku yang selalu mengadang-gadang bengkuang. Pesan ibu dari nenek ibuku kepada turunannya, hormatilah bengkuang. Menurutnya, bengkuang sama dengan perlambang kota kita. Perlambang cantiknya kota Padang ini.

“Suatu saat, bila Padang ini sudah maju, maka akan ada tugu bengkuang terbesar di dunia. Itu diletakkan di tengah kota,” kata nenek ibuku kepada ibu puluhan tahun silam. Justru itu, aku semakin yakin, Eca adalah bengkuang ku. Bukan bengkuang si Oyong keling itu.

Pasar raya Padang, semakin sore semakin hiruk saja. Eca memang tidak bisa mengubah kebiasaannya, bila sore ia selalu melihat kuda lama-lama. Kali itu, aku heran, mengapa Eca memandang kuda bendi-bendi itu sedemikian lama?. Apa menurutnya kuda itu sama dengan diriku yang gagah?  Kenapa semakin tajam saja tatapan Eca pada seekor kuda hitam pengirit bendi milik mak Acin itu?. Aku menoleh kebelakang, tak ada bengkuang yang terlihat.  Sudah terlalu jauh dari tempat kami duduk tadi.  Aku turut memandang kuda itu. Ikut menatap kuda itu dalam-dalam, ya persis yang dilakukan Eca.

 Aku terkejut, semakin lama, aku semakin heran, semakin lama dipandang, wajah kuda itu berubah menjadi Oyong. Aku nyaris tak percaya. Setiap kali aku mengulangi memandang wajah kuda, aku lihat, giginya kuning berdempet, sama seperti gigi Oyong. Rambutnya keriting, kulitnya keling, agak tinggi dari aku. Aku tak percaya kenapa kuda itu berubah menjadi Oyong.

Eca semakin larut, wajahnya didekatkannya dengan kuda yang menyerupai Oyong itu. Eca seperti keraksukan, bibirnya mulai gemeter. Setiap getaran menghantarkan kata-kata. “ kau lah kuda binal ku, kuda yang mengirit kereta kenca untuk ku, kau kuda liar Bima yang ku cari, kaulah segalanya, kuda”.

Aku mulai takut, kenapa orang-orang hanya lalu lalang saja. Pasar semakin hiruk saja. Tak ada yang menyelamatkan Eca. Kuda-kuda itu mulai melebar, wajahnya persis seperti wajah Oyong. Kulitnya sama sekali dengan keling Oyong, juga rambutnya, giginya, sama sekali dengan Oyong yang jahat kepada ku.

Aku berlari kencang menuju pedagang bengkuang. Aku meninggalkan Eca yang terus juga  mengeja kata demi kata tak jelas. Aku sampai. Aku juga menatap tajam bengkuang-bengkuang perlambang kecantikan itu. Semakin tajam aku menatap, bengkuang itu pun berubah menjadi wajah Oyong. Aku melihat, setiap bengkuang, sama betul dengan Oyong. Bengkuang itu tersenyum, mencibir, garang, dan banyak lagi. Semakin berubah menjadi Oyong, bengkuang itu semakin lebar. Aku mulai takut. Kuda dan bengkuang berubah seperti setan, dia menyerupai buruknya  wajah Oyong, wajah orang yang telah merenggut Eca dari ku.

Tiba-tiba, pasar raya gelap. Hiruk pikuk. Memekak ketelingaku. Pasar raya melebar, selebar-lebarnya. Pendemo masih banyak berdatangan sore itu, mereka bersorak memekak, seperti gerinda mengasah- batu akik. Aku semakin takut, Eca tak pernah suka dengan yang lebar.

Sore menjelang maghrib itu, semua yang kulihat, sama seperti Oyong yang ku benci. Sedang Eca masih terus memandang kuda. Sebelum malam datang, aku menyeret lengan Eca pulang. Padahal, dia belum puas dengan kuda bendi-bendi di pasar. Aku rasakan, sejak berjalan di pasar raya itu, seperempat cinta ku kembali. Semoga esok, pesan ku disampaikan Rira. Jalan-jalan lagi ke pasar raya, sambil melihat los-los sempit, demontrasi, kuda dan bengkuang.
Padang, Juli 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Berikan Komentar Anda, tanpa ada unsur fitnah, dan menyinggung SARA!