“Seperempat
cintaku hampir kembali”. Aku berbisik ke telinga Rira. Aku agak lega bisa bercerita panjang dengannya sore tadi di pantai. Ya, aku yakin, bisikku
itu pasti disampaikan ke Eca. Meskipun mereka sudah lama berpisah
karena pernah berselisih paham di sekolahnya yang lama. Paling tidak,
perselisihan mereka sudah berakhir setelah Rira pindah ke sekolah
menengah yang berada di belakang pasar ikan itu. Kabarnya mereka sudah
karib lagi.
Aku yakin, yakin sekali, bisikku tadi, pasti sampai.
“Pasti besok Eca
gembira mendengar kaduan Rira”.
Aih, Eca pasti langsung mengajak ku jalan-jalan di pasar
raya. Seperti dua hari lalu. Eca menggandeng tangan ku, seharian
berkeliling-keliling di pasar raya. Walaupun pada sorenya, aku jadi begitu
benci melihat kuda, apalagi bengkuang. Paling tidak, Eca sudah mengajak ku berjalan di tengah sempitnya los-los pedagang kain.
Setiap melewati los, pedagang selalu ramah, hendak menunjukkan kehebatan
jualannya.
“Ini dari Samarinda, peci ini dari Malaysia” dan
banyak lagi-banyak lagi, seperti gemuruh, kadang-kadang tak jelas bunyinya.
Aku dan Eca terus saja berjalan, karena kami memang tidak membeli, ya, hanya jalan-jalan. Eca menarik lenganku,
lalu diapitkan tangan
kanannya ke bawah ketiakku. Badan ku terasa sangat besar
saat berjalan. Jalan menjadi sempit. Orang-orang hilir mudik . Kami terus saja
berjalan seperti itu, berjuang melewati ramainya pengunjung pasar siang itu.
Kami sampai di pasar buah. Pedagang buah sahut
bersahutan. Pedagang rambutan berteriak sekuat yang dia bisa. Menandingi
teriakan pedagang tomat, apel, dan bengkuang. Soalnya, rambutan dari
Binjai, tempo hari harganya jatuh. Dari Rp 5000 turun menjadi Rp 2500
perkilogramnya.
Masa musim buah-buahan tiba. Isu bisnis pedagang
buah di pasar raya sama hangatnya dengan suhu politik atau pejabat korupsi di
ibu kota. Para pedagang saling bersaing untuk menarik minat pengunjung pasar.
Mereka berteriak seperti tim kampanye partai politik sedang berorasi. Suaranya
dilepas sekuat yang mereka bisa. Sampai kelihatan urat lehernya sebesar kacang panjang.
Durian-durian dari pesisir sudah dua hari masuk pasar
raya. Aku merasa mau muntah-muntah karena bau durian yang di bolong tupai
begitu menyengat. Lagi pula aku tak suka durian, tak selera. Sedangkan Eca, wuis,
pasti hidungnya sudah kembang kempis mencium bau durian sejak tadi. Aku yakin, karena aroma durian bolong, penyakit doyannya
seketika, kembuh.
Aku masih ingat. Saat bulan-bulan pertama pacaran dengan
Eca,
tepatnya dua tahun lalu. Dia mengajakku makan ketan
durian di pinggir jalan Ganting. Aku kaget, tiga buah durian, habis dia libas. Sementara aku, kalimpasing menahan sengatan durian yang menurutku aneh dan sangat tidak
menyenangkan.
Memang,
keluargaku tidak ada yang
suka makan durian, kecuali orang tua laki-laki bapak. Ya, kakekku itu, menurut cerita bapak, dulu penggalas durian terkenal di Kota Padang
ini. Sampai –sampai, durian
jualannya ditawari oleh tentara Belanda. Kata
bapak, saat
itu Ratu Wilhelmia sedang ngidam durian. Kakek senang sekali berhadapan dengan anak
buah ratu Wilhelmia itu. Sampai-sampai,
kakek memakai safari empat saku saat berjualan dengan tentara itu. Padahal
biasanya baju itu hanya dipakai kakek saat-saat penting saja. Bapakku ketika
itu masih kecil, dia ikut membantu kakek mengangkat durian ke mobil Volkswagen
Kombi anak buah ratu Hindia Belanda itu. Kata bapak, menurut orang-orang berkulit
putih, durian jualan kakek rasanya sangat enak, bijinya kecil,
isinya putih kekuningan. Sedangkan durian yang dibolong tupai tidak boleh
dijual.
“Itu jatah tetangga,” kata kakek kepada bapak.
Hebatnya, kakek dinobatkan sebagai penjual durian yang berkualitas tinggi, sampai-sampai kakek dapat
medali penghargaan dari ratu Wilhelmia
sebagai penjual durian terbaik 1939.
Hah..mengingat cerita kakek dari bapak, aku pikir, aku dan Eca jodoh. Seperti kakek yang suka durian,
selalu akrab dengan bapak yang sedikitpun tidak suka durian. Begitu pula dengan aku dan Eca. Eca selalu kembang kempis
hidungnya mencium aroma
durian, sedangkan aku menjulur lidah ku bila tersengat
bau durian. Aku mual, seperti orang hamil tiga bulan. Aku yakin, kami jodoh. Kali ini kenapa
Eca tak mendesakku membeli durian? Aih, ini keberuntungan. Selain aku muak
dengan durian, uang juga tidak ada. Syukurlah, kali itu Eca baik.
Peruntungan kecocokan kami, tampaknya memang di los pasar
buah yang sempit itu. Bukankah Eca juga suka berjalan bergandengan tangan di
areal pasar sempit itu? Berdesak-desakkan, seperti orang mendemo pasar itu beberapa hari lalu. Tapi, pendemo dengan Eca tentu aja berbeda. Eca, sangat senang dengan pasar yang sempit,
sedangkan pendemo, menuntut walikota agar pasar dilebarkan. Aku juga memilih sama dengan Eca, suka yang
sempit. Yang lebar, bagi ku dan bagi Eca suatu yang tidak menyenangkan.
Durian itu semakin menusuk hidung ku. Eca terus saja
berjalan melewati pedagang durian yang telah membuatku setengah mabuk darat.
Tingkah Eca kali itu lain. Dia menyeret lenganku yang mulai melemah, dengan sigap
meluncur ke lorong penjual sepatu bekas, dan terus ke belakang
penjual kartu perdana telepon seluler. Mual perutku mulai surut. Eca melepaskan
tangannya yang sedari tadi aku kepit. Tangannya basah karena cucuran peluhku.
Eca tahu,
suhu tubuhku panas sekali. Tanpa banyak basa-basi, dia langsung
memesan dua gelas teh poci cincau dingin. Aku duduk dikursi kayu yang hampir
patah di depan penjual bengkuang. Pandanganku
berkunang-kunang
dan mulai kelam. Wajahku pucat
pasi, bibir gemetar hebat seperti mesin pemeras air tebu.
“Ah, durian memang buah yang paling kejam sedunia,” kataku dalam hati. Eca dengan sigap
menyodorkan pipet teh poci cincau dingin ke bibir ku, telapak tangan kirinya dia tempelkannya
dikening ku.
“Abang kepanasan,
ada apa abang?
Aku berusaha tersenyum, karena sudah lama sekali ia tak seperhatian begitu kepadaku, hampir dua bulan. Menurut kabar teman-temannya, Eca sedang dekat dengan
seorang lelaki keling berambut keriting pula. Kata Rira tadi sore, nama lelaki itu Oyong.
Wew
wew wew, aku kenal dengan Oyong. Dia memang jauh lebih jelek dari ku.
Gosip itulah yang membuat tubuhku sempoyongan
selama dua bulan terakhir. Sekolah ku kacau.
Tapi, kali ini Eca terasa baik. Sehari itu rasa
cemburu ku tidak lagi menggebu. Aroma durian bolong
mulai hilang dari ku. Mataku mulai normal, karena Eca berada disamping.
“ Oh tidak apa-apa
Eca, abang baik –baik saja”.
“Tapi kenapa abang keringatan?”
“ Manalah mungkin abang Eca ini lemas,” kataku berusaha semangat. Padahal, aku masih lemas, bau
durian memang jahat. Sama jahatnya dengan Oyong yang telah mengelabui Eca.
Hari sudah mulai sore. Bayangan mulai memanjang arah ketimur. Kali ini,
sengatan bau durian benar-benar hilang. Aku mulai bugar. Aku dan Eca pun
kembali berjalan. Kelihatan senyum Eca begitu damai. Aku terpaut disimpulnya.
Kami melewati lorong parkiran bendi. Dari dulu aku tahu kalau Eca suka sekali
melihat kuda. Menurutnya, kuda binatang yang paling gagah. Kadang-kadang, aku pun dia katakan bagaikan kuda. Kalau Eca menyebutku kuda yang mengirit kereta
kencana, itu sama artinya, aku sedang tampan sekali. Setiap kali Eca menyebutku sama dengan kuda pelari kencang, kuda dari
padang sabana, kuda liar dari Bima atau kuda yang meringkik gagah, aku selalu senyum gembira.
Kuda, memang punya cerita panjang, masuk dalam
buku-buku sejarah, hadir dalam
riwayat nabi. Mungkin sebab itu juga Eca melambangkan sebuah ketampanan
dan kejantanan dengan seekor kuda.
Sementara
aku,dari
dulu mengumpamakan Eca dengan bengkuang pasar raya. Setiap
kali Eca menyebutku kuda binal, aku membalasnya dengan bengkuang pasar raya yang di peram tiga hari. Pertama kali Eca memang
kerinyutan keningnya mendengar panggilan bengkuang diperam. Setelah kujelaskan,
bahwa bengkuang itu lambang kecantikan. Khasiatnya
banyak sekali. Kata Dr. Valsembick van deventer, bengkuang dapat memutihkan
kulit keturunan ratu Wilhelmia. Selain itu, bengkuang sangat cocok untuk
perempuan berkulit kuning langsat.
Dalam bayanganku, ratu Wilhelmia, yang pernah memberikan penghargaan kepada kakek puluhan tahun
silam, sama cantiknya dengan paras Eca. Hanya saja soal hidung dan warna bola
matanya. Tentu saja ratu Wilhelmia,
hidungnya lebih mancung dan bola matanya berwarna biru.
Sedangkan Eca, sejak pernah jatuh dari sepeda ketika kecil, batang
hidungnya patah. Tentu saja hidung Eca jadi tidak begitu mancung, namun tidak mengurangi kecantikan Eca
dalam pandangan ku. Sedangkan bola mata Eca hitam legam, bersemayam dalam bulat
matanya. Pandangannya berpendar liar dan tajam. Siapa saja menantang
pandangannya, tanpa hitungan menit, akan kalah. Mata Eca sama dengan mata elang
mengincar anak ayam. Setidaknya mata kucing jantan di malam hari. Ini pulalah
mungkin, si Oyong keriting itu suka pula dengan Eca.
Begitulah Eca, kuberi umpama dengan bengkuang pasar raya diperam tiga hari. Menurut nenek Rostiani, bengkuang bila diperam akan semakin manis.
Getahnya semakin hilang. Begitu pula Eca, semakin lama memandangnya, dia
seperti bengkuang. Kulitnya putih, alisnya tebal. Ya, persis sekali seperti
bengkuang pasar raya. Jika
rasanya, manis serasa bengkuang diperam tiga hari.
Selain itu, alasanku mengatakan Eca sama dengan
bengkuang, adalah keturunan pihak ibu ku yang selalu mengadang-gadang bengkuang. Pesan ibu dari nenek ibuku kepada
turunannya, hormatilah bengkuang. Menurutnya, bengkuang sama dengan perlambang
kota kita. Perlambang cantiknya kota Padang ini.
“Suatu saat, bila Padang ini
sudah maju, maka akan ada tugu bengkuang terbesar di dunia. Itu diletakkan di tengah kota,” kata nenek ibuku kepada ibu puluhan tahun
silam. Justru itu, aku semakin yakin, Eca adalah bengkuang ku. Bukan “bengkuang” si Oyong keling
itu.
Pasar raya Padang, semakin sore semakin hiruk saja. Eca memang tidak bisa mengubah
kebiasaannya, bila sore ia selalu melihat kuda lama-lama. Kali itu, aku heran, mengapa Eca memandang kuda bendi-bendi itu
sedemikian lama?. Apa menurutnya kuda itu sama dengan diriku yang gagah? Kenapa semakin tajam saja tatapan Eca pada seekor
kuda hitam pengirit bendi milik mak Acin itu?. Aku menoleh kebelakang, tak ada bengkuang yang terlihat. Sudah
terlalu jauh dari tempat kami duduk tadi. Aku turut memandang
kuda itu. Ikut
menatap kuda itu dalam-dalam, ya persis yang dilakukan Eca.
Aku terkejut, semakin lama, aku semakin heran, semakin lama dipandang, wajah kuda itu berubah menjadi Oyong. Aku nyaris tak percaya. Setiap kali aku mengulangi memandang wajah kuda, aku lihat, giginya kuning
berdempet, sama seperti gigi Oyong. Rambutnya keriting, kulitnya keling, agak tinggi dari aku.
Aku tak percaya kenapa kuda itu berubah menjadi Oyong.
Eca semakin larut, wajahnya didekatkannya dengan kuda yang menyerupai Oyong itu. Eca seperti
keraksukan, bibirnya mulai gemeter. Setiap getaran menghantarkan kata-kata. “
kau lah kuda binal ku, kuda yang mengirit kereta kenca untuk ku, kau kuda liar Bima yang ku cari, kaulah
segalanya,
kuda”.
Aku mulai takut, kenapa orang-orang hanya lalu lalang
saja. Pasar semakin hiruk saja. Tak ada yang menyelamatkan Eca. Kuda-kuda itu
mulai melebar, wajahnya persis seperti wajah Oyong. Kulitnya sama sekali dengan keling Oyong, juga rambutnya, giginya, sama sekali
dengan Oyong yang jahat kepada ku.
Aku berlari kencang menuju pedagang bengkuang. Aku meninggalkan Eca yang terus juga mengeja kata demi kata tak jelas. Aku sampai. Aku juga menatap
tajam bengkuang-bengkuang perlambang kecantikan itu. Semakin tajam aku menatap,
bengkuang itu pun berubah menjadi wajah Oyong. Aku melihat,
setiap bengkuang, sama betul dengan Oyong. Bengkuang itu tersenyum, mencibir,
garang, dan banyak lagi. Semakin berubah menjadi Oyong, bengkuang itu semakin
lebar. Aku mulai takut. Kuda dan bengkuang berubah seperti
setan, dia menyerupai
buruknya wajah Oyong, wajah orang yang
telah merenggut Eca dari ku.
Tiba-tiba,
pasar raya gelap.
Hiruk pikuk. Memekak ketelingaku. Pasar raya melebar,
selebar-lebarnya. Pendemo masih banyak berdatangan sore itu, mereka bersorak
memekak, seperti gerinda mengasah- batu akik. Aku semakin takut, Eca tak pernah
suka dengan yang lebar.
Sore
menjelang maghrib itu, semua yang kulihat, sama seperti Oyong yang ku benci.
Sedang Eca masih terus memandang kuda. Sebelum malam datang, aku menyeret
lengan Eca pulang.
Padahal, dia belum puas dengan kuda bendi-bendi di pasar. Aku rasakan, sejak
berjalan di pasar raya itu, seperempat cinta ku kembali. Semoga esok, pesan ku
disampaikan Rira. Jalan-jalan lagi ke pasar raya, sambil melihat los-los
sempit, demontrasi, kuda dan bengkuang.
Padang, Juli
2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Berikan Komentar Anda, tanpa ada unsur fitnah, dan menyinggung SARA!