Label

Selasa, 17 Januari 2012

Cincin

“Pakailah! lentik jari manismu akan semakin cantik. Aku turut berbahagia atas kado itu,” kataku padanya. Matanya tetap saja merah, pipinya basah, sesekali mendengus karena menahan sedu dan isak. Rambutnya kusut, sudah seharian bermuram durja. Wajahnya pucat pasi, sesuap nasi belum tertelan dari pagi. Aku jadi bertanya-tanya dalam hati. Kenapa Sirah begitu sedih? Jauh-jauh Sekar datang dari kota Bertuah sana, cuma mengantarkan selingkar cincin, tanda perikatan hubungan yang enam bulan lagi akan dilangsungkan kepelaminan. Ya, hanya sebagai tanda, kalau Sirah sudah tak boleh lagi menjalin hubungan dan berpandang-pandangan dengan lelaki lain. Bagi Sirah; jodoh sudah di depan pintu.

Bukankah sedetik sebelum pernikahan, setiap gadis masih “milik bersama”? Akh….

***

Langit gelap, akar-akar kilat bergelayut di angkasa, petir menyambar-nyambar. Sore yang seram itu, nyaris tak seorangpun berani keluar rumah di Pasar Senin Agam. Kecuali Sirah, dia tersandar di dinding bambu belakang rumah. Selendang Bali, hadiah dari saudari kembarnya setahun lalu, melingkar di lehernya. Aku tidak sanggup melihatnya melawan dingin, sendiri pula. Sebagai seorang sahabat dari kecil— rumah kami memang berdekatan—tentu saja aku tidak bisa membiarkan dia berselimut sepi. Pemandangan itu memaksa persendianku bergegas.

Kenakan mantel milik bapak, tak lupa pakai sebo, penutup kepala anti dingin udara, dan menyeret payung milik ibu yang bersandar di balik pintu rumah. Aku berjalan terhuyung-huyung di bawah hujan dan petir yang menggelegar. Jalan tanah sudah becek parah. Jalan-jalan di kampung kami memang begitu dari dulu, tidak pernah dikecap aspal, apalagi beton. Bila hujan lebat begini, lumpur bisa setinggi lutut kami. Aku menghampiri Sirah, ikut duduk di sampingnya, menyandar di dinding yang sama. Angin kian kencang, seakan merobohkan pertahanan tubuhku. Sirah, sedikitpun tak gemetar oleh hujan.

“Ah, hanya hujan lebat. Hadapi dengan gagah berani,” katanya memecah sepi. “Tahukah kau, gadis yang sudah memakai cincin di jari manisnya adalah gadis yang sudah terikat. Perikatan itu harus dipatuhi, kalau tidak, perikatan itu akan mengutukku seumur hidup, aib besar dalam keluarga, cela dari orang banyak. Untuk itu, aku harus menyibukkan diri untuk belajar menjadi istri yang baik dalam menjalani rumah tangga. Setidaknya, persiapan agar suami betah, agar besan tidak menilai jelek, serta perdalam pengetahuan adat.

Kau kan tahu juga, di adat kita Minangkabau ini, perempuan harus bijak, patuh tinggal di rumah, mendidik anak-anak. Sedangkan lelaki mencari nafkah dirantau orang nun jauh entah di mana. Jika memang apa yang tak kuhendaki ini terjadi, si pemberi cincin ini jadi menjadi jodohku , tentu aku bernasib “menunggu”. Supaya tidak cela rumah tangga, anak keturunan jadi cerdik pandai, perempuan penunggu harus banyak belajar, menjadi limpapeh Rumah Gadang jauh-jauh sebelum akad dilangsungkan.”kata-katanya mengalir bak air bah mengamuk.

“Apa maksudmu? Kenapa kau tiba-tiba bermuram durja seperti ini? Bukankah kau telah lama menjalin hubungan dengan Sekar? Bukankah sudah dua tahun pula lamanya? Bukankah Mak mu dan mamanya telah sama-sama menyetujui? Pemberian cincin, bukankah suatu kemajuan dalam hubungan percintaan, pertanda keseriusan keluarga Sekar yang akan berbesanan dengan keluarga mu? Dan kau, sudah cukup tahu pula, apa yang akan kau lakukan sebelum akad. Bukankah…?”

“Tidak ada sesuatu yang membuat cinta ku jatuh padanya,” dia memotong. “Hanya saja, dua tahun lalu, pada pesta perkawinan sepupunya, aku dikenalkan Mak. Sejak itu, dia mulai tertarik padaku. Aku kira, ketertarikan itu, hanya ketertarikan biasa-biasa saja. Seperti diriku, tertarik atas kebaikan keluarganya, keluhuran budinya, kematangan pekerjaannya, kedewasaan dan kepatuhannya dalam menjalankan kehidupan sesuai adat istiadat. Dia hanya lelaki yang menjalankan hidup sebagaimana adanya. Tidak lebih dari rutinitas seorang pekerja diperusahaan dengan upah yang sangat memadai. Hidupnya jauh dari kehidupan seorang penyair sunyi semacam aku. Ketertarikan ku, lebih kepada dekatnya persahabatan Mak dengan mamanya. Sama sekali, ketertarikan itu tidak bersenyawa kearah cinta picisan semacam yang kau pahami. Sedang laki-laki yang ku harapkan sebelumnya, sedikitpun tidak memberi tanda-tanda. Selanjutnya, Mago, hubungan kami berjalan sebagaimana adanya. Sebagaimana persahabatan baru dua orang manusia dimulai. Berjalan sewajarnya persahabatan, sebagai warisan sahabat Mak dan mamanya, hingga dua tahun pula lamanya. Dalam pada itu, ternyata Mak dan mamanya, punya rencana yang sama sekali tidak kuduga. Kiranya hubungan kami akan dilangsungkan pada ikatan suami istri. Pun sudah menjadi kesepakatan Mak dan mamanya.

Mago, sungguh aku tahu, pertunangan sangatlah mengikat. Apabila seorang perempuan sudah di pinang oleh laki-laki—sebagaimana kebiasaan orang kita, bertukar cincin—maka sudah haram kalau perempuan itu menikah dengan yang lain. Kecuali, pinangan dibatalkan, dan pihak perempuan membayar denda dua kali lipat biaya pinangan yang ditanggung pihak lelaki. Cincin yang terpaksa ku pakai ini membuat hatiku lebih bergemuruh, berdentang-dentang. Detak jantungku jauh lebih menakutkan dari bunyi petir dan akar-akar kilat yang bergelantungan di langit yang gelap itu. Kadang-kadang terasa disayat-sayat, ngilu.” Kata-katanya terus berhamburan dari bibir yang pucat, namun matanya tetap tajam menatap kedepan, tanpa menatap wajahku sedikitpun.

“Sirah, aku belum paham benar apa yang membuat kau dicabik-cabik seperti ini? Apa Sekar memang meminangmu, dan pemberian cicncin itu adalah tanda pinangannya?

“Aku tidak menganggap ini pinangan menurut agama. Kami tidak pernah bertunangan semacam yang kau anggap. Sekar memberikan cicncin ini kepadaku dalam bentuk kado yang disaksikan Mak dan mamanya. Sudah itu, dia dan mamanya berlalu pulang ke kota. Meski hanya demikian, Mak menganggap ini adalah keseriusan yang tak boleh ditolak. “Sirah, cincin itu adalah simbol pada janji setia sebelum pernikahan. Dan cincin itu sudah menjadi cincin pertunangan kalian. Sekarang, kau telah berada dalam pinangan orang,” begitu kata Mak berulang-ulang. Hatiku ngilu, seperti tersangkut pada sembilu.

“Mago,” katanya. “Menurut agama yang ku pahami, tidak akan berdosa bila melangar janji setia yang Mak maksud itu. Sebabnya, aku tidak berada dalam pinangan Sekar. Barangkali, Sekar mencintaiku, tapi sama sekali aku tidak paham tentang itu. Tidak, aku hanya diberi hadiah, itu saja. Tapi, aku merasa sangat berdosa kepada Mak, bila menolak ini. Mak sangat harap Mago, karena bagi Mak, menjaga hubungan baik dengan keluarga Sekar yang sudah terjalin sejak nenek-datuk kami, amatlah penting, amatlah beharga. Ikatan kedekatan keluarga kami, bukan dalam soal bisnis dan usaha perdagangan, namun hubungan manusiawi yang terjalin sejak dahulu.

Demi kelangsungan hubungan baik, Mak dan mamanya, memang menganggap kami telah saling mencintai, sehingga rencana perjodohanku dengan Sekar menjadi rencana penting bagi kedua belah pihak. Bila aku menolak, Mak akan dikatakan berkhianat atas janji setia. Aku tak ingin demikian, sunguh. Sementara, pertunangan merupakan masa peralihan antara lamaran dengan pernikahan. Ini bukanlah budaya dan adat istiadat kita, Mago. Pertunangan berawal dari bangsa Romawi, ribuan tahun silam. Akupun tidak paham, kenapa Mak merasakan pemberian cincin itu sudah tunangan, dan aku sudah berada dalam perikatan sebuah pinangan. Pangkal persoalan ini, dalam adat dan budaya kita, sungguh tidak ku pahami. Secara umum, memang dalam pertunangan terdapat tradisi saling memberikan hadiah. Tradisi pertunangan pun berbeda, di India Barat misalnya, pasangan itu saling tukar Anak Angsa, sementara wanita Tiongkok pada awal abad ke-20 dituntut memberikan hadiah yang pas bagi calon suaminya dalam waktu seminggu setelah pertunangan, kalau tidak mau, pernikahannya kandas. Sementara di adat kita, tidak terdapat kata-kata tunangan, kecuali meminang. Sedangkan Sekar, sama sekali tidak meminangku, Mago”.

Aku mengangguk saja, mendengar penjelasan Sirah yang kian dalam saja.

“Kemudian, pertunangan yang panjang pernah menjadi umum dalam tetek bengek pernikahan yang resmi, namun tidak umum bagi orang tua mempertunangkan anaknya hingga beberapa tahun sebelum pasangan yang bertunangan itu cukup umur untuk menikah. Selanjutnya, tidak umum bagi orang tua mempertunangkan anaknya tanpa persetujuan dan cinta”.

Bibir Sirah yang kaku terus saja bergerak, dia tak berhenti berkata. Kali ini, matanya semakin melotot, tangannya mulai bergerak, sementara hujan semakin deras saja. Kami hanya terlindung oleh sedikit atap dapur yang menjorok keluar.

Saya terhenyak ketika dia bilang; “Mago, jemputlah kapak kerumah mu sebentar, aku ingin mencincang kisah ini. Jika kau punya sebilah belati, pinjamlah aku dulu, untuk mengubak hati yang kian terkelupas ini. Sejak sebulan lalu, ku rangkai kata demi kata, ku jadikan bait-bait dalam sajak. Namun, tak pernah runcing menusuk hati Mak,” tangisnya pecah, isak dan sedunya menjadi-jadi. Dia telah karam dalam gelombang cinta, aku genggam tangannya, darahnya serasa membeku.

“Mago,” serak suaranya menyebut namaku. “Menolak keinginan Mak, pantangan benar bagiku sejak kecil. Aku tak sanggup jika tidak memenuhi apa yang diinginkan Mak. Kau tahu bukan? Keluargaku hanya keluarga yang hidup pas-pasan. Mak rela melakukan pekerjaan sekasar apapun demi kami anak-anaknya. Mak selalu penuhi kehendak kami. Tidak sedikitpun Mak menolak apa yang ku inginkan sejak kecil hingga sekarang. Sekarang, Mak sudah cukup ringkih untuk membanting tulang. Perjuangan Mak telah mengantarkanku jadi seorang sarjana, seorang perempuan terpelajar di kampung ini. Mak selalu memberikan hal-hal yang layak bagi ku. Sebagai seorang ibu yang bijaksana, tentu saja Mak memikirkan, agar masa depan ku, pun ditopang oleh kehidupan yang layak, tidak melarat, dan tidak menanggung gelisah karena kebutuhan hidup. Sederhananya, Mak menginginkan agar aku selalu menang dalam setiap perkelahian dalam kehidupan ini. Sekarang, patutkah aku menolak permintaan Mak? Tidak Mago, tidak!

Mago, maukah kau mendengar cerita ku?” katanya seraya mengulum nasib. “Setahun lalu, sudah dalam berhubungan juga dengan Sekar, tiba-tiba sebait puisi hadir dalam layar Ponsel ku, dari nomor yang tak ku kenal. Tapi, dari gaya dan karakter kalimat-kalimatnya, aku menduga-duga, puisi siapa pula yang telah sesat ke layar ponselku itu. Hatiku serasa ditikam oleh kalimat-kalimatnya, runcing benar. Sampai sekarang, puisi itu masih ku simpan, bahkan ku ketik ulang, lalu ku pajang di dinding kamar. Agar setiap kali menjelang tidur , aku bisa membaca bait runcing yang sederhana itu. Setidaknya runcing menusuk hati ku seorang.”

“Perempuan/ dalam hati ini/ terhampar gurun yang tandus/ dan, tak kutemukan sedikit cinta/ di sini jika benar ditakdirkan/ kelak aku jadi pasir/ kuharap kau menanam kaktus di punggungku agar tumbuh sedikit cinta/ sedikit hidup bagi musafir lalu,”

Begitu saja bunyi puisi itu. Hingga Sembilan bulan lamanya, aku mencari siapa yang mengarangnya? Asal kau tahu, penyair itu baru tiga bulan belakangan menemui ku. Persis dan tepat sekali, dialah dugaanku, lelaki yang ku kenal sejak empat tahun lalu, dia pun begitu. Namun, kami tak pernah saling berani untuk membagi rasa kearah cinta. Sampai sekarang, senyawa cinta kami belum bertemu, sedang hati kami saling berpadu. Aku yakin betul, Mago. Pasalnya, dia selalu hadir menjenguk ku, mengguncang hati ku, bahkan dialah yang pertama membuat ku begitu tertusuk. Rasanya Mago, hati ini jatuh.

Mago, bukan nasib yang membuat ku bermuram durja begini. Tapi, kebodohanku melawan penjara cinta atas nama adat dan sopan santun. Sungguh aku perempuan yang lemah, sedikitpun tidak mampu melawan adat dan sopan santun yang sejak lama dianut keluarga. Tahukah kau, lelaki yang membuatku berlayar dalam setiap bait sajaknya, adalah lelaki merdeka yang tak bisa terbelenggu oleh tetek bengek intelektual manapun, partai politik manapun, konsepsi kebudayaan manapun, kecuali pada tambatan Tuhan.

Alangkah merdekanya dia, sajaknya mampu menembus pandang setiap lekukan kotornya sistem negara, adat istiadat, kebudayaan dan bahkan berkesenian. “Jiwa-jiwa pemberontaknya, Kahlil Gibran, telah tumbuh secara alamiah dalam hidupnya. Hanya saja, ketokohan Wardah Hani, perempuan pejuang, tak mengalir dalam darah ku. Entah sudah berapa kali ku tamatkan buku itu. Apa jadinya, sebuah karya besar dari pengarang berkelas dunia, tidak menjadi konsepsi yang mengalir dalam diri ku? Sungguh Mago, aku merasa menjadi perempuan paling lemah. Mago, di mataku, dia sederhana tapi sempurna. Perempuan mana yang tidak tertarik dengan konsepsi hidup dan pemikirannya? Kau tahu? Aku ini penyair sunyi, penyair yang jauh dari gaya hidup abad ini, sehingga penjajal kue di pasar ini menganggap aku perempuan aneh, perempuan yang mengherankan. Sejak lelaki itu tahu, keluarga Sekar tiba-tiba datang memberikan cicncin ini kepada ku. Aku merasa telah di koyak-koyak. Bayangan kehidupan masa depan yang penuh bait-bait puisi seperti telah meninggalkanku, jauh. Sungguh aku tak bisa memberontak kepada Mak. Aku hanya memberontak dalam diri sendiri. Waktu kian tajam menghujam kasih ku dengan lelaki yang dari dulu ku dambakan itu.

Mago, mungkin menurutmu, urusan pertunangan adalah hal biasa, cincin pertanda keterikatan adalah adat istiadat saja. Jenguklah nurani mu barang sejenak untukku Mago, rasakanlah betapa tidak adilnya adat-istiadat kepada ku. Tidak berpihaknya “sopan santun” yang kujalani sejak lama. Sementara, aku masih ingin menjadi perempuan terhormat di sisinya, bukan di sisi Sekar dan keluarganya yang kaya melimpah-limpah itu. Karena bagi ku, sebait puisi mampu menembus-pandang ribuan tahun kedepan adalah harta yang tak ternilai harganya.”

Aku merinding mendengarkan setiap ucapan Sirah. Setiap perkataannya mengesankan pemberontakan. Aku merasakan kengiluan seorang gadis yang jatuh cinta pada bait sajak lelaki merdeka. Dia kuyup, namun matanya tetap tajam mengulum kejamnya hidup yang dia rasakan. Hanya cincin. Dia cabik-cabik oleh cinta.

Senja kian membenam, gemuruh dan petir silang berkabar di angkasa. Hujan semakin lebat saja. Sirah, masih terpaku menatap waktu. Enam bulan, tidaklah waktu yang panjang. Sebentar lagi dirinya akan bersanding dipelaminan demi marwah keluarga. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Berikan Komentar Anda, tanpa ada unsur fitnah, dan menyinggung SARA!