Label

Jumat, 20 Januari 2012

MAHASISWA SEBAGAI KEKUATAN PEMBAHARU



Saya tertarik dengan tulisan JE.Syawaldi Ch yang berjudul “Mahasiswa, antara kritis dan anarkis” yang di muat oleh Singgalang dalam edisi Minggu (27/6). Dalam tulisan itu sepertinya JE.Syawaldi ingin mengkritisi pola laku, tingkah serta sikap mahasiswa kebanyakan. Sepertinya JE.Syawaldi dalam alinea ke -4 pada tulisannya tersebut menjadikan dirinya sebagai representasi masyarakat yang sudah bosan dan jeli terhadap tindakan mahasiswa yang sering melakukan aksi demo lalu mempertanyakan bentuk aksi itu apakah kritis atau anarkis? Tergambar mahasiswa merupakan musuh—dari sebuah kedamaian bangsa—dalam tulisan itu, yang hanya menampilkan kekerasan sehingga JE.Syawaldi mengkhawatirkan masa depan bangsa jika mahasiswa seperti hari ini suatu saat menjadi tampuk pimpinan pemerintahan untuk generasi berikutnya.

Wajar saja jika ada elemen masyarakat berpikir seperti JE.Syawaldi, yang mesti dicari jawaban yang tepat, sehingga mahasiswa tidak lagi menjadi musuh dalam masyarakat. Menurut saya, sudah selayaknya kita melakukan reorientasi serta rekonstruksi terhadap karakter yang berkembang hari ini serta mengkaji ulang hakikat, fungsi, serta peran mahasiswa di tengah masyarakat bangsa. Jika kita tilik arti sederhana dari maha dan siswa—seperti sedikit di singgung oleh JE.Syawaldi—tampak sebenarnya sebuah nilai yang harus di bawa oleh mahasiswa dalam kehidupan. Sebab kata-kata maha memberi makna “ter”atau “paling” yang berada pada puncak tertinggi. Sementara siswa insan-insan pelajar yang mempunyai hak penuh untuk mendapatkan ilmu. Walau kadang kala banyak yang mengartikan bahwa belajar merupakan kewajiban siswa.

Dengan begitu berarti mahasiswa bukan sekedar sebuah predikat tetapi jauh lebih substantif dari itu. Menurut saya, jika ada orang yang sudah duduk di bangku kuliah tetapi tidak mengimplementasikan nilai-nilai subsantif dan hakikat yang dia sandang berarti sesungguhnya ia bukanlah mahasiswa. Karena mahasiswa merupakan orang dewasa sadar yang mempunyai hak menuntut ilmu serta tanggung jawab dalam mewujudkan masyarakat adil makmur tanpa mendahulukan kepentingan pribadi dan hegemoni politik namun berpihak kepada kebenaran.

Dalam mengimplementasikan nilai-nilai itu, mahasiswa sebagai mahasiswa sebenarnya harus sadar akan posisi, fungsi dan tanggung jawabnya. Jika JE.Syawaldi mengatakan menuntut ilmu adalah sebuah kewajiban bagi mahasiswa maka saya mengatakan sebuah hak. Mahasiswa mempunyai posisi di tengah yaitu antara rakyat banyak dengan elit pemerintahan, jika kita pinjam istilah Jean Jaqques Rosseau maka mahasiswa berada antara proletar dan penguasa, yang berfungsi sebagai titi atau jembatan penghubung antara keduanya. Istilah yang kerap kita dengar adalah penyalur atau penyampai aspirasi rakyat jika dalam kajian dan analisis tajam dari mahasiswa menilai kebijakan penguasa tidak berpihak kepada rakyat maka kewajiban mahasiswa untuk bertindak. Bertindak bukan bermaksud hanya berdemonstrasi tetapi ada jalan-jalan yang elegan—seperti yang diharapkan JE.Syawaldi—yang harus di tempuh. Gaya dan diplomasi mahasiswa sangat diharapkan. Namun kebanyakan diplomasi itu telak gagal dan tidak membuahkan hasil yang memihak kepada kebenaran. Maka demonstrasi merupakan jalan terakhir yang harus di lakukan mahasiswa. Apakah ini haram? Saya kira, jika jalan lain yang bernuansa lebih elegan dan intelektual sudah di tempuh namun tetap gagal, aksi demonstrasi sudah halal untuk di lakukan.

JE.Syawaldi sudah menggambarkan sedikit dari refleksi sejarah mahasiswa pada tahun 1966 dan 1998 yang keduanya dari pergerakan itu menjatuhkan korban namun mampu merubah sistem. Hasil 1998 inilah yang menjadi pijakan dan kekuatan hukum bagi mahasiswa berikutnya untuk bergerak karena dihasilkan undang-undang yang melegalkan menyampaikan pendapat di tengah masyarakat umum oleh pemerintah. Artinya mahasiswa bukan hanya melakukan aksi tanpa ada dasar hukum yang jelas. Kalaupun ada mungkin itu oknum mahasiswa yang belum mengerti apa-apa.

Jika kita lihat sejarah lebih jauh peran besar yang di agung-agungkan atas tindakan mahasiswa tidak hanya 66 dan 98 saja. 1908, lahir sebuah organisasi pergerakan yang mengatasnamakan pemuda, 1926, 1928, 1945, 1971, dan seterusnya itu tidak bisa di lepaskan dari peran dan fungsi mahasiswa.

Saya sangat sepakat dengan pandangan JE.Syawaldi yang mengatakan bahwa mahasiswa tidak mementingkan kerapian, tauladan dan sebagainya dalam kontek kekinian. Namun perlu juga di sadari bahwa mereka secara lahiriyah memang mahasiswa namun secara substansi mereka bukanlah mahasiswa melainkan orang-orang yang terjebak sebagai
korban sinetron dan iklan-iklan televisi. Mahasiswa-mahasiswa seperti inilah yang mesti di berikan reorientasi serta merekonstruksi kultur yang telah jauh dari hakikat. Inilah persoalannya bahwa nama besar mahasiswa yang sering di sebut elit minority, agent of change, dan lain-lain itu hanya sebagai slogan saja.

Patut kita sadari bersama, apalagi mahasiswa, bahwa elemen bangsa yang terdiri dari rakyat banyak, pemuda dan/atau mahasiswa, elit pemerintahan/penguasa, maka peran mahasiswa itulah sebagai kekuatan pembaharu dalam menegakkan kebenaran di atas bangsa ini. Yang namanya elit pemerintahan, yang kerap dengan politisasi, memperjuangkan golongan lalu disandarkan memperjuangankan rakyat, maka yakinlah bahwa hal kolusi, nepotisme, korupsi, makelar, suap dan seterusnya itu tidak dapat tidak dihindarkan. Karena begitulah manusiawi yang mempunyai kesempatan dan peluang besar untuk melakukankannya walaupun dari awal niat tidak ada.

Disini pulalah mahasiswa tidak boleh diam, tidak boleh tidak tahu dengan persoalan bangsa, yang harus cepat dianalisis dan bergerak untuk menyelamatkan bangsa. Satu sisi mahasiswa merupakan representasi rakyat untuk memperjuangkan kebenaran. Bukan musuh rakyat. Mahasiswa dan rakyat harus bersatu. Menurut saya, kejam nian jika mahasiswa hanya menyelesaikan tugasnya demi kepentingan pribadi saja sementara umat dan bangsa menjadi dipinggirkan.

Jika JE.Syawaldi mengharapkan agar mahasiswa bersikap menyimak ketika dosen menerangkan, maka saya berpendapat agar mahasiswa juga berpartisipasi terhadap apa yang diterangkan dosennya dengan pikiran tajam yang punya landasan. Sangat rugi jika sebuah perguruan tinggi menghendaki mahasiswanya patuh, tenang dan menoton tanpa dinamisasi intelektual. Soe Hock Gie mengatakan “guru bukan dewa, siswa bukan kerbau”. Sebab menyimak menurut saya bukanlah sebuah sikap mahasiswa, karena sikap mahasiswa itu ditandai dengan suka-atau tidak suka, menolak atau menyokong terhadap kebijakan-kebijakan kampus serta pemerintahan.

Untuk mengembalikan pergerakan mahasiswa kepada khittahnya, agar citra baik mahasiswa dikembalikan, maka perlu reorientasi dan rekonstruksi karakter yang telah berbudaya campur aduk tanpa ideologi yang jelas untuk terciptanya mahasiswa yang berdinamika intelektual dan melahirkan generasi cerdas yang berperadaban tinggi. Hidup Mahasiswa!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Berikan Komentar Anda, tanpa ada unsur fitnah, dan menyinggung SARA!