Label

Selasa, 17 Januari 2012

Meretas Masa Depan dan Mengeja Nasib



(hanya kata hati anak-anak SBI-Adab yang tutup jurusan)


“Kemana asa  mau ditumpangkan, ke kampus swasta sana, “saku-saku” ini tidak memberi kesempatan, sedang ayah di kampung, sudah berlumut punggungnya mencangkul di sawah dan ladang, ibu sudah cekung wajahnya menunggu sarjana pulang”. 

Miris nian hati ini, mendengar rintihan mahasiswa Sastra Inggris itu di kala jurusannya di tutup, karena belum dapat diizinkan oleh Kementrian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) berdiri dalam kampus agama. Dan beberapa jurusan umum lain terancam akan ditutup pula. suasana hati calon-calon intelektual muslim masa depan itu sedang mengiris-iris, sendu mendayu-dayu, air mata yang tak terbendung, meleleh juga di wajah teduh perempuan berkerudung , di tepi dinding gedung yang retak-remak itu. Entah apa  “obat penawar duka” yang akan disajikan oleh Dekan dan Rektor mereka. Niat hati hendak bisa menyerap ilmu sebanyak-banyaknya di kampus itu, seperti selebarannya yang di pampangkan pada papan pengumuman di sekolah dulu. 

Jangan sebut dulu akreditasi A,B,C atau D kalau perizinan masih mengancam. Tidak tahu pihak mana yang harus disalahkan dalam soal yang satu ini. Yang jelas, ratusan mahasiswa, terancam, terombang-ambing, kemana nasib dan niat berkuliah mau dilanjutkan. Yang mau wisuda periode ini, tidak jadi pakai toga, urungkan dulu kehendak hati untuk memakai Jubah Hitam, celana baru, sepatu berkilat, baju Putih baru yang akan berdasi pula, apalagi pemindahan tali toga dari kiri ke kanan. Jangan kabarkan dulu kepada orang tua di kampung, supaya tidak bertambah pula hutang, untuk carter Mobil Carry tetangga, dan biaya belanja lainnya untuk merayakan wisuda anaknya ke Kota Padang. Terpaksa harus kembali ke lokal kuliah, dimana tempat akan pindah. Toleransi, memang sulit didapatkan. 

Kampus yang telah punya nama, institusi pendidikan yang berada dalam payung kementrian agama, kampus Islam terbesar di Ranah Minang, kampus yang digagas oleh cendekia muslim Minang Kabau, yang terkenal namanya kemana-mana itu; Mahmud Yunus. Kampus yang berbasis di Lubuk Lintah Kota Padang. Yang telah memberikan kontribusi besar kepada masyarakat Sumatera Barat perihal moral-spiritual, dengan lulusan yang hebat-hebat, sejak 40 tahun silam. Nama alumninya jangan disebut satu persatu, habis abjad dibuatnya. Professor, doktor, dan sederetan gelar akademik dalam dan luar negeri, tidak terhitung lagi, besutan kampus Lubuk Lintah itu. Seniman, budayawan, wartawan,  hebat-hebat, banyak lahir dari kampus itu. Praktisi, politisi, polisi, jendral, juga ada. Atlit, ulama, guru, jangan disebut. Kampus itu bernama IAIN Imam Bonjol. Pernah merajai olah raga bola voli di Sumatera Barat, yang mengalahkan fakultas-fakultas keolahragaan yang ada, puluhan tahun silam.  Garin-garin yang amat berjasa, mengurus Rumah Tuhan, berserakan di mana-mana. Sebab itu pula, garin ternyata sebuah kekuatan besar, yang tertarik hati pak Wali Kota Padang untuk memerhatikannya, dan dibuatkan pula organisasinya, yang bernama Pagar (persatuan garin). Selain itu, aktivis dan dinamika berorganisasi, tak terkalahkan hangatnya oleh kampus lain. Itulah kampus itu, tempat calon pemimpin belajar, tempat mereka meretas masa depan yang cemerlang. Sebab itu pula para orang tua mau menitipkan anaknya di kampus yang serba islami itu.
Apa boleh dikata. Anggap saja takdir, inilah yang terbaik sebagai suratan tangan. Ratusan mahasiswa yang berjurusan Bahasa dan Sastra Inggris (BSI) di fakultas Adab-Ilmu Budaya itu, obatnya hanya satu, dipindahkan, di mutasi, ke jurusan Tadris Bahasa Inggris, atau ke Sastra Inggris kampus swasta lain, atau kabarnya bisa juga bagi yang mau ke UIN Syarif hidayatullah Jakarta. Sebab, BSI Adab tidak bisa dipertahankan lagi, walaupun sudah sejak 2001 jurusan ini diurus. Harus pula dimaklumi, memang panjang urusan untuk mengadakan sebuah jurusan umum di kampus islami, hingga 10 tahun, mengantarkannya untuk ditutup. Hanya perizinan bukan?

Dipindahkan atau pindah. Mungkin keduanya. Niat hati hendak menjadi sastrawan, tapi akhirnya jadi guru juga. Indah nian, gelar akademik yang dicitakan, S.S (Sarjana sastra), tapi akan menjadi S.Pd.I (Sarjana Pendidikan Islam), walaupun kuliah di Tarbiyah itu hanya setahun, atau enam bulan saja. “Oh ya, itu hanya gelar. Yang terpenting bisa nyastra, walaupun sambil jadi guru di madrasah” kata salah seorang teman yang mau pindah ke Tarbiyah. “Kalau kita pindah ke Tarbiyah, kita berpeluang besar menjadi PNS guru Bahasa Inggris di madrasah, dan kita bersastra-sastra tak perlu ribet, karena gaji perbulan sudah terjamin hingga tua”, Selenehan teman yang satu lagi. 

Memang benar. Guru bahasa (Indonesia, Inggris, dan seterusnya) sejatinya begitu. Harus dimasukkan sentuhan sastra kedalamnya. Kalu tidak, siswa tidak mengerti akan sastra. Jadi, bagi yang mau pindah, dari Sastra Inggris fakultas Adab ke Pendidikan Bahasa Inggris fakultas Tarbiyah, dapat keuntungan ganda, ilmu ganda yaitu ilmu pendidikan dan sastra. Hebat bukan?

Fakultas Tarbiyah, mau kah menerima mahasiswa yang akan pindah itu? Kalau mau, besar rasa syukur, apalagi pihak Adab. Kalau di Tarbiyah, mahasiswa harus PPL ke madrasah dulu, mengajar,  jadi guru. Itu salah satu syarat di antara banyak syarat berkuliah di Tarbiyah. Oh, itu bukan soal. Apa Adab mau “mengantarkan” mahasiswa yang akan (di)pindah(kan) itu ke Tarbiyah sampai kelar urusannya? berani menjamin, mahasiswa tidak dirugikan, tidak akan teraniaya? karena aniaya dosa besar! Tentu saja Adab sebagai institusi yang professional dan berpengalaman, bertanggungjawab dan takkan menyia-nyiakan mahasiswanya yang akan pindah ke Tarbiyah itu. Adab tentu 
menyelesaikan administrasinya sedemikian rupa, untuk meminang Tarbiyah, agar resmi dan punya kekuatan hukum pula mahasiswa yang akan pindah itu. Tentu tidak pindah-pindah begitu saja. Tentu resmi dan punya kekuatan hukum, bahwa mahasiswa Adab diakui sepenuhnya menjadi mahasiswa Tarbiyah. Kalau bahasa hukumnya, tentu  diakuinya secara de facto dan de jure. Ha, begitulah! Asal jangan de massif. Lagi pula, akan terjamin mahasiswa itu, asalkan mereka  mematuhi peraturan dan membayar SPP serta uang praktikum serta tetek bengek lainnya. Ah, namanya meminang, tentu ada malu-malunya, basa-basinya, dan mungkin juga “jual mahalnya” objek yang akan dipinang oleh fakultas yang meminang. Begitulah seorang janda beranak kawin dengan duda beranak. Untuk urusan perkawinan, anak-anak pasti terabaikan sebentar. 

Hak mahasiswa itu, tentu juga harus disamakan dengan mahasiswa yang sudah lama di Tarbiyah. Pihak Tarbiyah, tidak boleh memijak betung sebelah. Tidak ditekan, tidak diabaikan kalau tidak mungkin diemaskan. Tentu juga akan mendapat perlakuan dan pelayanan sama, persis mahasiswa asli Tarbiyah. Diperjuangkan, disokong, dan tidak akan dianiaya. Karena aniaya dosa besar, itu ada ayatnya. Apakah sampai kepersoalan itu Mou (memorandum of understanding) antara Adab dengan Tarbiyah? Ooo..tentu saja! Ah, kalau begitu, kenapa harus pindah ke UBH, atau UIN Ciputat? Bagusnya Tarbiyah saja, dekat dan masih Dongker almamaternya. Sebab cinta sudah terlanjur tumbuh di IAIN Imam Bonjol Padang itu. Kalau memang sudah jelas, Adab melepas dengan muka yang jernih, sedangkan Tarbiyah menerima dengan hati nan suci. Alhamdulilah.

Tadris Bahasa Inggris (TBI) juga jurusan umum di kampus agama itu bukan?. Apa sudah dapat izin dari Dikti? atau sudah terakreditasi, A, B, atau C? apa tidak sedang terancam di tutup pula? Apa sudah ditandatanganinya surat kerjasamanya antara Kementrian agama (Kemenag) dengan Kementrian Pendidikan Nasional (Kemdiknas)?Apa sudah aman nasib mahasiswa itu kalau jadi pindah ke jurusan Tadris itu? Jangan-jangan kejadian ini menimpa pula di jurusan Tadris? Apa mereka tidak akan terjatuh lalu di himpit jenjang pula?. Jangan-jangan bertukar Cigak dengan Beruk. Ah.. Semoga saja tidak! Karena alumni Tadris sudah banyak menjadi PNS. Apa ia PNS itu ukuran amannya jurusan itu? Entahlah, banyak sekali pertanyaan yang harus dijawab!

Tetapi, kenapa mahasiswa yang pindah itu belum juga kuliah? diundur pula sebulan dari jadwal mulai kuliah pasca libur semester ini? Kabur harapan jadinya. Kampus itu, kan kampus yang kaya dinamika, berbeda dengan kampus lain. Saking dinamisnya, ribuan masalah bercokol setiap waktu. Tidak dibaca lagi, yang terjadi sekarang Kajur (ketua jurusan) sedang mogok atau ngambek pula, sudah dua pekan pula lamanya. karena gaji insentif mereka belum juga diterima sejak tujuh bulan lalu. Jadi pelayanan bagi mahasiswa tentu berkurang. Mahasiswa yang akan pindah ke Tarbiyah, tentu sulit pula mengurusnya. Maklum kita tentang itu. Mungkin gaji insentif sebagai tunjangan jabatan itu teralu besar. Lebih besar dari korupsi si Gayus Tambunan itu. Hah..entahlah!
Ini lain lagi. Ngomong-ngomong, berapa betul bobot SKS yang akan diselesaikan lagi oleh mahasiswa  yang pindah itu? Kuliahnya saja belum ada jadwal, bobot SKS pula yang ditanya. Atau mereka yang akan pindah itu, belum bayar SPP? Rasanya tidak juga. SPP sudah selesai mereka bayar sebanyak yang ditetapkan, malah sejak jadwal pembayaran SPP semester genap ini baru keluar.

Bagi mereka yang pindah ke UBH atau UIN, apa ada kerjasama Adab/IAIN dengan kampus yang bersangkutan? Ini benar masalah yang tidak tahu kita. Yang jelas kemudahan pindah diberikan oleh pihak Adab. walaupun mahasiswa sendiri yang mengurus segala-galanya.  Ironis benar kampus tercinta itu. Bacalah koran yang ada di Kota Padang ini, selalu saja keluar berita IAIN, perihal Kajur (ketua jurusan) ngambek, jurusan umum tutup di kampus agama, jurusan Kependidikan Islam saja yang agak agamais sedikit,  terancam pula, psikologi,  dan setrusnya dan seterusnya. Berita Koran itu, sungguh menusuk hulu hati kita. Takut pula kita, andai kata ada mosi tidak percaya masyarakat banyak untuk menguliahkan anaknya di kampus agama itu. Wallahualam bisshawab!   
   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Berikan Komentar Anda, tanpa ada unsur fitnah, dan menyinggung SARA!