Hanya mengikuti derap langkah dalam petualangan yang tiada henti. Sebab, dunia kian buas, perkelahian terus berlanjut. Mengutuk adalah senjata kaum-kaum lemah,sedangkan hidup "mesti" diteruskan. Di ruang ini, kau bisa berdamai dengan hati.
Minggu, 15 Januari 2012
UKM dan Stabilitas Perekonomian Masyarakat
Indonesia boleh dikatakan “selamat” dari ancaman krisis ekonomi pada tahun 1997/98 lalu. Sementara perekonomian yang dibangun dari pelaku ekonomi bermodal besar, meringkus dan tumbang. Meski dikatakan “selamat” tetap saja efeknya merambat ke krisis multidimensi. Pasalnya, dampak krisis mengancam seluruh aspek kehidupan berbangsa, termasuk menggerogoti persatuan dan kesatuan negara. Mungkin ini salah satu alas an: kesejahteraan masyarakat suatu negara sangat penting.
Lantas, apa yang menyebabkan Indonesia “selamat” dari krisis? Jawabannya, di Indonesia tumbuh dan berkembang jutaan usaha kecil dan menengah (UKM), yang bisa menopang stabilitas ekonomi masyarakat. Barangkali, kala itu UKM, yang sering digusur itu, tidak termasuk serangkaian kegiatan ekonomi yang menjanjikan bagi pemerintah. Artinya, pelaku UKM juga disebut pahlawan tanpa tanda penghargaan. Pasca krisis tersebut, banyak pihak mulai menyadari, bahwa keberadaan UKM menempati posisi strategis untuk menjaga stabilitas perekonomian masyarakat. Meskipun, fakta mengatakan, nasib UKM belum mumpuni hingga sekarang. Penggusuran demi penggusuran tetap terjadi, dominasi perusahaan besar tetap saja tak terbendung, monopoli perdagangan dari kaum bermodal tak dapat dihindari. Bahkan tak sedikit pula usaha rakyat yang “mati” karena terciptanya persaingan yang tidak sehat. Kesadaran negara tentang UKM menopang stabilitas perekonomian masayarakat ibarat jauh panggang dari api.
Tak dinyana, akhir-akhir ini, (kita) yang sepakat bahwa UKM sebagai stabilitas perekonomian negara, mendapat angin segar. Pasalnya, kebijakan pemerintah melalui Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) mulai mengatur program pemberdayakan UKM.
Di antara program Kemenkop UKM yang menarik adalah menciptakan 20 juta usaha kecil menengah baru, sampai tahun 2020 mendatang. Program ini membuat kita “berkhayal” bahwa banyaknya peluang usaha yang akan diayomi oleh pemerintah, meski belum dapat dikatakan memodali. Lagi pula, khayalan ini sama dengan mimpi pemimpin-pemimpin Negara ASEAN yang tertuang dalam Bali Concord II. Suatu komunitas ekonomi ASEAN, yang peredaran produk-produk barang dan jasanya tidak lagi dibatasi oleh batas negara. Bebas dan terbuka. Semoga kita, dan para pemimpin ASEAN merangkai kesejahteraan bersama tidak hanya dalam mimpi.
Selain itu, program ini dapat diteropong dari berbagai sudut pandang. Paling tidak dari sisi positif sekaligus sisi negatif bagi UKM di daerah- daerah. Akan menjadi positif apabila produk dan jasa UKM perdaerah mampu bersaing dengan produk dan jasa dari negara-negara ASEAN lainnya. Sebaliknya, akan menjadi negatif apabila UKM di daerah tidak dibenahi. Untuk itu, kiranya penting bila pemerintah mendesain program yang jelas dan tepat sasaran. Agar pemberdayaan UKM benar-benar kegiatan untuk menyejahterakan masyarakat.
Namun—dalam hal ini, penulis bukan mengajak kita pesimis—mengingat perkembangan negara dekade ini, patut pula dipertanyakan, kira-kira mampukah pemerintah mendesain UKM masing-masing daerah sehingga produk dan jasanya bisa bersaing? Karena banyak hal menurut penulis, yang hingga hari ini, usaha kecil dan menengah masih menapaki berbagai persoalan. Misalnya, kurangnya permodalan dan terbatasnya akses pembiayaan.
Pada umumnya usaha kecil dan menengah merupakan usaha perorangan atau perusahaan yang sifatnya tertutup. UKM hanya mengandalkan modal dari si pemilik yang jumlahnya sangat terbatas, sedangkan modal pinjaman dari bank atau lembaga keuangan lainnya sulit diperoleh karena persyaratan baik administratif maupun teknis yang diminta oleh bank nyaris tidak dapat dipenuhi. Kemudian, sumber daya manusia (SDM) sepenuhnya masih perlu diperhatikan. Agak skeptis, memang, persoalannya sebagian besar usaha kecil tumbuh secara tradisional dan merupakan usaha keluarga yang turun temurun.
Keterbatasan SDM pelaku UKM baik dari segi pendidikan formal maupun pengetahuan dan keterampilan sangat berpengaruh terhadap manajemen pengelolaan usahanya, sehingga usaha tersebut sulit untuk berkembang dengan optimal. Lagi pula, unit usaha tersebut relatif sulit untuk mengadopsi perkembangan teknologi baru untuk meningkatkan daya saing produk yang dihasilkannya.
Kemudian, sederetan persoalan yang sifatnya eksternal UKM, seperti terbatasnya sarana prasarana, merajalelanya pungutan liar atau implikasi otonomi daerah yang membuat seribu aturan dan biaya yang melemahkan semangat pelaku UKM. Anehnya lagi, perdagangan bebas, AFTA yang berlaku tahun sejak 2003 lalu dan APEC tahun 2020 mendatang, berimplikasi luas terhadap UKM untuk bersaing di pasar bebas.
Tentu saja, dalam hal ini, mau tidak mau UKM dituntut melakukan proses produksi yang produktif dan efisien. Produk yang dihasilkan harus sesuai pula dengan frekuensi pasar global dengan standar kualitas seperti isu kualitas (ISO: 9000), isu lingkungan (ISO: 14.000), dan isu Hak Asasi Manusia (HAM) serta isu ketenagakerjaan. Isu ini sering digunakan secara tidak fair oleh negara maju sehingga menjadi hambatan bagi pelaku UKM di negara berkembang. Untuk itu, UKM daerah perlu mempersiapkan diri agar mampu bersaing baik secara keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif.
Selanjutnya, akses pasar dan akses informasi pelaku UKM kita masih sangat terbatas. Kedua persoalan ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Karena, masing-masing daerah, tentu saja berkeinganan bisa menembus pasar luar daerah, pasar nasional bahkan pasar ekspor. Keinginan tersebut akan terhambat bila akses pasar dan informasi tidak dikuasai pelaku ekonomi.
Maka, tidak cukup rasanya bilamana persoalan tersebut diserahkan ke pemerintah semata. Akan lebih baik, andaikata pemerintah dan komunitas-komunitas tertentu bermitra dalam menyelesaikan persoalan yang masih membelit perkembangan UKM.
Peran komunitas
Hemat penulis, komunitas (lembaga perekonomian rakyat, lembaga swadaya masyarakat/NGO, dll) harus menerapkan langkah-langkah strategis dan taktis. Di antara langkah-langkah tersebut adalah; Pertama, edukasi dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif. Dalam hal ini, setidaknya komunitas menginisiasi pelaku UKM ke pemerintah daerah, perihal ketenteraman dan keamanan berusaha serta penyederhanaan prosedur perizinan usaha, keringanan pajak dan sebagainya.
Kedua, komunitas perlu memperhatikan peluang-peluang bantuan permodalan. Tentunya tidak sepenuhnya berharap atas skema yang telah diciptakan pemerintah semata. Ketiga, pengembangan kemitraan yang saling membantu antar UKM, atau antara UKM dengan pengusaha besar di dalam suatu daerah. Langkah ini akan menghindarkan terjadinya monopoli dalam usaha. Selain itu, juga untuk memperluas pangsa pasar dan pengelolaan bisnis yang lebih efisien. Dengan demikian, UKM akan mempunyai kekuatan dalam bersaing dengan pelaku bisnis lainnya.
Keempat, edukasi kewirausahaan dengan berbagai target dalam rangka meningkatkan SDM pelaku UKM. Kemudian diberi kesempatan menerapkan hasil pelatihan di lapangan. Kelima, memantapkan asosiasi-asosiasi antar UKM untuk meningkatkan peran yang baik dalam pengembangan jaringan informasi usaha maupun untuk pengembangan usaha bagi anggotanya. Keenam, mengembangkan promosi untuk mempercepat proses kemitraan antara UKM dengan usaha besar . Hal ini diperlukan media khusus dalam upaya mempromosikan produk-produk yang dihasilkan. Disamping itu, perlu juga diadakan talk show antara asosiasi dengan mitra usahanya. Terakhir, mengembangkan kerjasama yang setara atau koordinasi yang serasi antara pemerintah, LSM atau komunitas lainnya dengan dunia usaha (UKM) untuk menginventarisasi isu-isu termutakhir yang terkait dengan perkembangan usaha.
Melihat Peluang
Barangkali kita sedikit sepakat, Pekanbaru merupakan kota perdagangan dan jasa. Lihatlah, usaha perdagangan selalu tumbuh dan berkembang dari waktu ke waktu. Boleh dikatakan, Pekanbaru secara kasat mata, berhasil membangun perekonomian bila dibanding kota-kota di provinsi lain. Tak ayal, kalangan praktisi dalam berbagai tulisan mengatakan kota Pekanbaru adalah kota konsumtif, di mana pangsa pasarnya jelas, dan peredaran uang pun banyak. Tidak pula dapat diragukan, pelaku-pelaku UKM di kota ini kalau tak dapat dibilang mumpuni, mungkin mendekati. Memang tidak ada data dalam tulisan ini perihal jumlah pendatang yang melakoni dagang dan bisnis. Artinya, Pekanbaru adalah harapan dan cita-cita pendatang untuk menopang kesejahteraannya. Dalam konteks bisnis, ini salah satu peluang besar yang mesti disadari. Permintaan dan barang akan melonjak bila peluang ini ditata sedemikian hebat.
Dengan demikian, bukan berarti UKM-UKM di Pekanbaru tidak dibelit oleh berbagai persoalan. Karena, istilah “pasar Kaget” dan barang seludupan tidak asing lagi bagi semua kalangan. Tentu patut dipertanyakan, Kenapa? Dan sudah sejauhmana desain program pemerinyah untuk pelaku UKM? Pertanyaan ini mengapung tentu mengacu kepada gejala-gejala sosial yang (akan) terjadi. Masyarakat yang heterogen, hidup bersama dalam menggapai kesejahteraan, sudah barang pasti kompetisi tidak sehat akan bermunculan. Hingga berakibat tidak baiknya perekonomian.
Oleh karenanya, peran dan berbagai komunitas untuk lebih menggiatkan UKM hingga mampu menembus pasar daerah lain, nasional dan ekspor sangatlah dibutuhkan. Sebab, Pekanbaru merupakan peluang yang mengggairahkan bagi pelaku UKM yang kreatif dan menguasai teknologi informasi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Berikan Komentar Anda, tanpa ada unsur fitnah, dan menyinggung SARA!