Hajatan
tahunan yang telah menjadi dilemma panjang di tubuh pendidikan nasional adalah ujian
nasional (UN). Sampai saat ini, terus bergulir sikap tentang setuju dan tidak
setuju diadakannya UN sebagai penetu kelulusan siswa. Sikap perlawanan
pemerhati pendidikan terhadap kebijakan ini ternyata belum berhasil menghentikan
program ini dari sitem pendidikan. Bahkan, Satria Dharma, ketua Ikatan Guru
Indonesia (IGI), tak segan-segan mengatakan bahwa UN tidak layak menjadi ukuran
kelulusan siswa secara nasional. Pendapat dari kalangan lain juga tak
segan-segan menghujani media untuk menolak UN, dengan mengemukakan
kelemahan-kelemahan, seperti belum meratanya fasilitas pendidikan di seluruh
tanah air, tidak sama akses antara sekolah yang dipelosok dengan yang di kota,
masih banyak kesenjangan antara siswa miskin dengan siswa kaya untuk mengikuti
program luar sekolah dalam menyiapkan diri, dan banyak lagi alasan lain yang
dapat diterima khalayak ramai.
Walau
bagaimanapun, untuk tahun ini semua kalangan yang menyanyangkan UN, tetap harus
bisa menerima dengan hati lapang. Sebab, ini sudah diputuskan dalam Rapat
Panitia Kerja UN DPR dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud).
Aspirasi masyarakat yang menyayangkan UN telah ditetapkan sebagai keputusan
politik bahwa UN 2012 akan dilaksanakan dengan menggunakan formula gabungan
antara nilai sekolah/madrasah dan nilai UN, sebagaimana sudah diterapkan pada
tahun 2011 lalu. Berarti UN tidak nyata-nyata memveto 100 persen pengukuran untuk
kelulusan siswa. Formula ini hanya mengambil 60 persen dari nilai UN dan 40
persen nilai ujian sekolah/madrasah. Dengan demikian, masih diyakini bahwa keputusan
ini belum membuat kalangan siswa, sekolah dan Pemda tidak khawatir. Karena dari
hasil UN ini terselip prestise Pemda untuk mengangkat harkat daerah di pentas
nasional. Seperti apapun formulanya kelulusannya, hasil UN tetap menjadi
prioritas.
Kini,
siswa SMA/MA sedang berjuang menghadapi soal demi soal. Ujian untuk SMA/MA ini
berlangsung dari sekarang(16/4) dan berakhir 19 April mendatang. UN susulan
bagi yang tidak mengikuti pada kesempatan pertama diberikan waktu sepekan,
sedangkan untuk SMK dilaksanakan dari sekarang hingga 18 April mendatang. Untuk
tingkat SMP/MTs/SMPLB dilaksanakan pada tanggal 23-26 April, siswa SK/MI/SDLB
dilaksanakan pada 7-16 Mei 2012.
Hajatan tahunan
yang menghabiskan anggaran hingga Rp 600 miliar (2012) ini mulai membuat
jantung kita berdentang tak karuan. Siswa kembang kempis perasaannya, apakah
nanti dia akan lulus? Orang tua siswa menghabiskan dana sedemikian besar untuk
mempersiapkan anaknya supaya lulus jauh-jauh hari sebelum UN datang, juga
berdempung, tak ingin anaknya mengalami “malapetaka” ketika hasil UN diumumkan.
Pemerintah Daerah pasti juga berpikir bagaimana daerahnya bisa mencapai target
standar kelulusan UN, hingga citra postif pemerintahan daerah naik strata.
Kenapa
tidak, karena UN diselenggarakan dengan tujuan antara lain
untuk mengukur pencapaian standar kompetensi lulusan peserta didik secara
nasional, sebagai hasil dari proses pembelajaran dan sekaligus untuk memetakan
tingkat pencapaian hasil belajar siswa pada tingkat sekolah dan daerah.
Artinya,
hasil UN akan direngking. Untuk tingkat daerah, sekolah mana yang menempati
posisi tertinggi, akan diukur oleh hasil UN. Begitu juga dengan daerah dalam
skala nasional. Daerah mana yang menempati posisi 10 besar, akan ditentukan
oleh hasil UN. Bagi sekolah dan daerah yang mendapat rengking baik, otomatis
menjadi catatan sejarah yang dianggap prestasi di tahun ini. Terkait pelaksanaan
UN, ada dua hal yang menjadi pikiran Pemda dan pihak sekolah, yaitu prestasi
dan prestise. Jika Pemda atau pihak sekolah lebih berorientasi prestise, maka
jalan yang ditempuh dalam pelaksanaan UN belum tentu jujur. Formula 60:40
sangat memberi ruang untuk menjalankan praktik bohong meski guru se Sumatera
Barat sudah mengadakan seremonial sumpah untuk UN jujur. Karena, 40 persen
nilai ujian sekolah berperan signifikan untuk menaikkan siswa berada dinilai
aman. Bisa saja, nilai ujian sekolah diangkat dari capaian nilai sebenarnya,
agar bisa membantu secara signifikan jika nyata hasil UN rendah. Biasanya,
praktik ketidakjujuran demi mencapai prestise yang dibungkus kata “prestasi”
itu tidak dilakukan oleh orang perorang, melainkan hasil konsensus secara
tertutup pihak-pihak yang berkepentingan. Inilah rahasia umum, selama UN (2003-2011)
menjadi tolok ukur untuk kelulusan siswa, meski dua tahun terakhir dengan
formula yang berbeda. Kebijakan formula 60:40 hanyalah sebuah propaganda
pemerintah untuk sedikit menekan suara-suara penolakan dari masyarakat.
Padahal, tingkat kesulitan UN dulu dan kini tetap membuat orientasi siswa hanya
bisa lulus. Pendidikan yang ditempuh siswa sejak tiga tahun sebelumnya hanya
menjadi hapalan-hapalan pelajaran. Ideologi pendidikan tidak tertanam dalam
jiwa, bahkan pelajaran dan semangat nasionalime dalam pendidikan, budi pekerti,
budaya lokal kandas karena siswa harus menargetkan mata pelajaran UN jauh lebih
penting. Agaknya, adagium ini membuat orientasi pendidikan jauh bergeser.
Lagi pula, tidak satu sekolahpun yang ingin
prestasinya menurun. Target lulus 100 persen tetap menjadi sesuatu yang tidak
boleh gagal. Walaupun Mentri Pendidikan berkoar-koar supaya UN tidak
dipaksakan, biarkan mengalir bak air di sungai. Mentri Pendidikan juga sudah
merasa puas dengan capaian 95 persen hasil UN 2011. Dalam hal ini, dapat
disebut UN menjadi ajang politik pendidikan yang mendapat nama harum
kepala sekolah dan kepala dinas pendidikan yang lulus daerahnya 100 persen
dalam ujian nasional.
Sebaliknya,
jika memang sekolah dan Pemda berniat memajukan substansi pendidikan, yakni
memanusiakan manusia, maka UN akan ditempuh dengan penuh kejujuran. Orientasi
prestasi seperti ini, jarang ditemukan selama UN telah menjadi alat pengukur pencapaian
standar kompetensi lulusan peserta didik secara nasional. Mudah-mudahan UN
tahun ini mewujudkan prilaku jujur pengelola pendidikan bangsa ini, agar apa
yang dicita-citakan pendidikan—menjadi insan kamil—tercapai.
Secara ideal, tentu tidak satu pihakpun yang ingin
mencoreng wajah pendidikan dengan praktik tidak jujur dalam menghadapi
konsekwensi dari sistem pendidikan itu sendiri.
Hingga Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Mohammad Nuh angkat
bicara. Dia menegaskan agar semua pihak khususnya pemerintah daerah
(Pemda) jangan menghalalkan segala cara dan hendaknya tidak memaksakan
memperoleh hasil Ujian Nasional (UN) lulus 100 persen. UN harus dilaksanakan
sesuai dengan aturan agar kualitasnya bisa dipertanggungjawabkan. Namun,
mentri juga mengakui bahwa UN seringkali dijadikan “alat” untuk mencerminkan
prestasi politik. Khususnya politik Pemda.
Sudah tidak diragukan lagi, UN memang disusupi oleh
tendensius-tendensius politis. Harusnya, sebagai negara yang mengedepankan
nilai-nilai humanis, seluruh stakeholder dan pelaku pendidikan jauh dari
hal-hal yang tidak substansial. Prestise yang dibuat-buat sesungguhnya adalah
kebohongan. Pendidikan sebagai wadah penegak majunya tanah air, mesti
mengedepankan prestasi yang tidak dibuat-buat. 100 persen pun tingkat kelulusan
daerah, jika cara mendapatkannya melabrak etika pendidikan itu sendiri, sama
saja dengan keberangusan dunia pendidikan. Nauzubillahiminzalik!
Penulis
adalah pengurus Institute of Social Empowerment and Development (ISED)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Berikan Komentar Anda, tanpa ada unsur fitnah, dan menyinggung SARA!