Label

Kamis, 26 Juli 2012

Hasil UN, Antara Prestasi dan Prestise


Hajatan tahunan yang telah menjadi dilemma panjang di tubuh pendidikan nasional adalah ujian nasional (UN). Sampai saat ini, terus bergulir sikap tentang setuju dan tidak setuju diadakannya UN sebagai penetu kelulusan siswa. Sikap perlawanan pemerhati pendidikan terhadap kebijakan ini ternyata belum berhasil menghentikan program ini dari sitem pendidikan. Bahkan, Satria Dharma, ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI), tak segan-segan mengatakan bahwa UN tidak layak menjadi ukuran kelulusan siswa secara nasional. Pendapat dari kalangan lain juga tak segan-segan menghujani media untuk menolak UN, dengan mengemukakan kelemahan-kelemahan, seperti belum meratanya fasilitas pendidikan di seluruh tanah air, tidak sama akses antara sekolah yang dipelosok dengan yang di kota, masih banyak kesenjangan antara siswa miskin dengan siswa kaya untuk mengikuti program luar sekolah dalam menyiapkan diri, dan banyak lagi alasan lain yang dapat diterima khalayak ramai. 

Walau bagaimanapun, untuk tahun ini semua kalangan yang menyanyangkan UN, tetap harus bisa menerima dengan hati lapang. Sebab, ini sudah diputuskan dalam Rapat Panitia Kerja UN DPR dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud). Aspirasi masyarakat yang menyayangkan UN telah ditetapkan sebagai keputusan politik bahwa UN 2012 akan dilaksanakan dengan menggunakan formula gabungan antara nilai sekolah/madrasah dan nilai UN, sebagaimana sudah diterapkan pada tahun 2011 lalu. Berarti UN tidak nyata-nyata memveto 100 persen pengukuran untuk kelulusan siswa. Formula ini hanya mengambil 60 persen dari nilai UN dan 40 persen nilai ujian sekolah/madrasah. Dengan demikian, masih diyakini bahwa keputusan ini belum membuat kalangan siswa, sekolah dan Pemda tidak khawatir. Karena dari hasil UN ini terselip prestise Pemda untuk mengangkat harkat daerah di pentas nasional. Seperti apapun formulanya kelulusannya, hasil UN tetap menjadi prioritas.

Kini, siswa SMA/MA sedang berjuang menghadapi soal demi soal. Ujian untuk SMA/MA ini berlangsung dari sekarang(16/4) dan berakhir 19 April mendatang. UN susulan bagi yang tidak mengikuti pada kesempatan pertama diberikan waktu sepekan, sedangkan untuk SMK dilaksanakan dari sekarang hingga 18 April mendatang. Untuk tingkat SMP/MTs/SMPLB dilaksa­nakan pada tanggal 23-26 April, siswa SK/MI/SDLB dilaksanakan pada 7-16 Mei 2012.
Hajatan tahunan yang menghabiskan anggaran hingga Rp 600 miliar (2012) ini mulai membuat jantung kita berdentang tak karuan. Siswa kembang kempis perasaannya, apakah nanti dia akan lulus? Orang tua siswa menghabiskan dana sedemikian besar untuk mempersiapkan anaknya supaya lulus jauh-jauh hari sebelum UN datang, juga berdempung, tak ingin anaknya mengalami “malapetaka” ketika hasil UN diumumkan. Pemerintah Daerah pasti juga berpikir bagaimana daerahnya bisa mencapai target standar kelulusan UN, hingga citra postif pemerintahan daerah naik strata.

Kenapa tidak, karena  UN  diselenggarakan dengan tujuan antara lain untuk mengukur pencapaian standar kompetensi lulusan peserta didik secara nasional, sebagai hasil dari proses pembelajaran dan sekaligus untuk memetakan tingkat pencapaian hasil belajar siswa pada tingkat sekolah dan daerah.

Artinya, hasil UN akan direngking. Untuk tingkat daerah, sekolah mana yang menempati posisi tertinggi, akan diukur oleh hasil UN. Begitu juga dengan daerah dalam skala nasional. Daerah mana yang menempati posisi 10 besar, akan ditentukan oleh hasil UN. Bagi sekolah dan daerah yang mendapat rengking baik, otomatis menjadi catatan sejarah yang dianggap prestasi di tahun ini. Terkait pelaksanaan UN, ada dua hal yang menjadi pikiran Pemda dan pihak sekolah, yaitu prestasi dan prestise. Jika Pemda atau pihak sekolah lebih berorientasi prestise, maka jalan yang ditempuh dalam pelaksanaan UN belum tentu jujur. Formula 60:40 sangat memberi ruang untuk menjalankan praktik bohong meski guru se Sumatera Barat sudah mengadakan seremonial sumpah untuk UN jujur. Karena, 40 persen nilai ujian sekolah berperan signifikan untuk menaikkan siswa berada dinilai aman. Bisa saja, nilai ujian sekolah diangkat dari capaian nilai sebenarnya, agar bisa membantu secara signifikan jika nyata hasil UN rendah. Biasanya, praktik ketidakjujuran demi mencapai prestise yang dibungkus kata “prestasi” itu tidak dilakukan oleh orang perorang, melainkan hasil konsensus secara tertutup pihak-pihak yang berkepentingan. Inilah rahasia umum, selama UN (2003-2011) menjadi tolok ukur untuk kelulusan siswa, meski dua tahun terakhir dengan formula yang berbeda. Kebijakan formula 60:40 hanyalah sebuah propaganda pemerintah untuk sedikit menekan suara-suara penolakan dari masyarakat. Padahal, tingkat kesulitan UN dulu dan kini tetap membuat orientasi siswa hanya bisa lulus. Pendidikan yang ditempuh siswa sejak tiga tahun sebelumnya hanya menjadi hapalan-hapalan pelajaran. Ideologi pendidikan tidak tertanam dalam jiwa, bahkan pelajaran dan semangat nasionalime dalam pendidikan, budi pekerti, budaya lokal kandas karena siswa harus menargetkan mata pelajaran UN jauh lebih penting. Agaknya, adagium ini membuat orientasi pendidikan jauh bergeser.

 Lagi pula, tidak satu sekolahpun yang ingin prestasinya menurun. Target lulus 100 persen tetap menjadi sesuatu yang tidak boleh gagal. Walaupun Mentri Pendidikan berkoar-koar supaya UN tidak dipaksakan, biarkan mengalir bak air di sungai. Mentri Pendidikan juga sudah merasa puas dengan capaian 95 persen hasil UN 2011. Dalam hal ini, dapat disebut UN menjadi ajang politik pendidikan yang mendapat nama harum  kepala sekolah dan kepala dinas pendidikan yang lulus daerahnya 100 persen dalam ujian nasional.

Sebaliknya, jika memang sekolah dan Pemda berniat memajukan substansi pendidikan, yakni memanusiakan manusia, maka UN akan ditempuh dengan penuh kejujuran. Orientasi prestasi seperti ini, jarang ditemukan selama UN telah menjadi alat pengukur pencapaian standar kompetensi lulusan peserta didik secara nasional. Mudah-mudahan UN tahun ini mewujudkan prilaku jujur pengelola pendidikan bangsa ini, agar apa yang dicita-citakan pendidikan—menjadi insan kamil—tercapai.
Secara ideal, tentu tidak satu pihakpun yang ingin mencoreng wajah pendidikan dengan praktik tidak jujur dalam menghadapi konsekwensi dari sistem pendidikan itu sendiri.  Hingga Menteri Pendidikan dan Ke­budayaan (Men­dik­bud), Moham­mad Nuh angkat bicara. Dia me­ne­gaskan agar semua pi­hak khu­susnya pe­merintah daerah (Pemda) ja­ngan me­ng­halalkan se­gala cara dan hen­daknya tidak me­maksakan mem­peroleh hasil Ujian Nasional (UN) lulus 100 persen. UN harus dilak­sanakan sesuai dengan aturan agar kualitasnya bisa diper­tang­gung­ja­wab­kan. Namun, mentri juga mengakui bahwa UN se­ringkali di­jadikan “alat” un­tuk men­cer­min­kan pres­tasi po­litik. Khu­susnya politik Pem­da.
Sudah tidak diragukan lagi, UN memang disusupi oleh tendensius-tendensius politis. Harusnya, sebagai negara yang mengedepankan nilai-nilai humanis, seluruh stakeholder dan pelaku pendidikan jauh dari hal-hal yang tidak substansial. Prestise yang dibuat-buat sesungguhnya adalah kebohongan. Pendidikan sebagai wadah penegak majunya tanah air, mesti mengedepankan prestasi yang tidak dibuat-buat. 100 persen pun tingkat kelulusan daerah, jika cara mendapatkannya melabrak etika pendidikan itu sendiri, sama saja dengan keberangusan dunia pendidikan. Nauzubillahiminzalik!

Penulis adalah pengurus Institute of Social Empowerment and Development (ISED)























Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Berikan Komentar Anda, tanpa ada unsur fitnah, dan menyinggung SARA!