Label

Senin, 16 Januari 2012

Bahasa Menunjukkan Bangsa


 Habis dijajah Baha(ng)sa Belanda, kembali dijajah oleh Baha(ng)sa Amerika (Taufiq Ismail)

Tentang sejarah Bahasa Indonesia, tidaklah dapat secara gamblang dikatakan asal muasalnya.  Apalagi diklaim begitu saja dari bangsa ini, atau bangsa itu. Melayu, Minang, Jawa, Sunda, Minahasa atau suku bangsa lain se-nusantara ini, tidak ada yang serupa betul bahasanya dengan Bahasa Indonesia. Akan tetapi, benang merahnya dapat diambil bahwa Bahasa Indonesia dipengaruhi Bahasa Melayu. Dikatakan juga, akar Bahasa Indonesia adalah Bahasa Melayu Pesisiran, atau Melayu Rendah/Melayu Pasar. Menurut ahli bahasa, hal ini dapat dibuktikan dengan prasasti-prasasti yang ditinggalkan kerajaan Sriwijaya, yang memakai Bahasa Melayu. Berarti Bahasa Melayu sudah sejak dahulu kala digunakan di nusantara (Indonesia) ini sebagai penyambung komunikasi masyarakat. Kebangkitan pemuda I, 1908, juga menggunakan Bahasa Melayu sebagai bahasa pemersatu, dan dikukuhkan pada kebangkitan pemuda II, 1928--Sumpah Pemuda--yang sebagian orang membahasakannya sebagai ”pembabtisan” Bahasa Melayu menjadi Bahasa Indonesia.
Jika ditelusuri lebih dalam, antara Bahasa Melayu dengan Bahasa Indonesia, sebetulnya jauh berbeda. Kenapa? Sebab, Bahasa Indonesia disusupi oleh tendensi-tendensi politik untuk menjadi lingua franca, supaya ada beda dengan orang lain, apalagi dengan penjajah. Karakter bahasa Bangsa Indonesia menjadi jelas dan tegas; Bahasa Indonesia!
Bahasa menunjukkan bangsa, pepatah ini menunjukkan kearifan berbahasa. Agar tidak salah dalam berucap. Penggunaan bahasa, bisa lebih tajam dan lebih ganas jika salah menggunakannya. ”Mulutmu adalah harimaumu” sebuah kehati-hatian dalam berucap. Maka, mempelajari bahasa menjadi penting, supaya tidak asal berbahasa.
Penggunaan bahasa sepertinya seiring dengan tern-tren zaman. Pernah Bahasa Belanda menjadi bahasa yang menempati strata tertinggi di Indonesia. Seperti juga ketika zaman Belanda, Bangsa Belanda menempati stratafikasi sosial teratas, bangsa timur jauh menjadi strata kedua dan bumi putera menjadi bangsa kelas tiga. Ketika itu, rakyat yang tidak pandai berucap Bahasa Belanda dengan sendirinya menjadi orang yang terbelakang, kuno bahkan terpinggirkan dari perkembangan zaman. Walaupun Bahasa Indonesia menempati kasta kedua setelah Bahasa Belanda, tetapi tren Bahasa Belanda begitu berpengaruh bagi rakyat. Sederatan organisasi pemudapun, memakai Bahasa Belanda; Jong Sumatra Nenbone, Jong Java, Jong Celebes, dan seterusnya. Pada tahun 1940an Jepang dengan pasukan militernya, dapat mengusir Belanda yang telah lama memerintah di nusantara(Indonesia). Kekuasaan negara beralih ketangan Jepang. Unsur-unsur pemerintahan ditukar seratus persen. Sepatahpun Bahasa Belanda tidak boleh dipakai. Dalam hal ini Bahasa Indonesia di atas angin, mendapat tempat pengakuan sebagai bahasa resmi. Bahasa yang boleh digunakan hanyalah Bahasa Indonesia untuk rakyat Indonesia dan Bahasa Jepang untuk orang Jepang, sedangkan Bahasa Belanda menjadi bahasa haram ketika itu.
Pada tahun 1948an, setelah sekutu berhasil menaklukan musuh-musuh besarnya, Jepang dan Jerman cs. NICA (Belanda) berhasrat kembali menguasai nusantara--walaupun gagal, namun beberapa tahun itu, cukup menguras perjuangan Bangsa Indonesia--yang sudah menjadi sebuah negara baru merdeka: Indonesia Raya, yang sudah ada kelengkapan strukturnya, dengan bahasa yang sudah jelas, yaitu Bahasa Indonesia. Walaupun istilah-istilah yang berhubungan dengan politik, hukum dan lain-lain masih terpengaruh oleh Bahasa Belanda, bahkan sampai sekarang.
Seiring dengan perkembangan zaman, pengaruh Bahasa Belanda pun mulai menipis. Akan tetapi, tren bahasa luar negeri (Eropa dan Amerika) belum dapat dihambat oleh ketebalan dinding Bahasa Indonesia. Upaya untuk menumbuhkan Bahasa Indonesia, rasanya sudah banyak dilakukan oleh ahli-ahli bahasa. Bahasa Indonesia menjadi salah satu pelajaran wajib di sektor pendidikan. Mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD) hingga perguruan tinggi, dengan bahasa pengantar pun Bahasa Indonesia. Mata pelajaran Bahasa Indonesia menjadi mata pelajaran yang termasuk salah satu bidang dalam ujian yang ditakuti siswa Indonesia, yaitu ujian nasional (UN) pada sekolah menengah. Sebab itu pula, Bahasa Indonesia (didoktrin) susah.
Satu sisi mungkin benar, jika dikatakan Bahasa Indonesia itu susah. Seperti pemahaman awam, yang membangun dogma, Bahasa Indonesia itu susah. Beberapa lapisan masyarakat, tidak pandai dan bahkan mungkin ”patah-patah” lidahnya dalam berucap Bahasa Indonesia. Hanya soal kebiasaan berucap. Orang Melayu berucap Bahasa Indonesia, pasti terpengaruh oleh ke-dialek-an Melayunya, orang Jawa berucap Bahasa Indonesia pun, dengan dialek meddoknya. Begitu juga orang Sunda, orang Batak, Aceh, Kalimantan, Bugis, Maluku dan Papua serta yang lainnya.

Khasanah dialek masing-masing daerah dalam wilayah Bangsa Indonesia itu, bukankah kekayaan khasanah Bahasa Indonesia itu sendiri? kita baca misalnya novel-novel Hamka, serta sederetan penulis lainnya, gaya bahasanya dalam menuturkan kalimat demi kalimat, begitu terpengaruh oleh bahasa daerah penulisnya, namun begitu menusuk ke sanubari pembaca. Begitupun karya-karya sastra Melayu, Jawa, Minang, Sulawesi atau yang lainnya. Sentuhan-sentuhan dialek lokal, sesungguhnya sebuah nilai yang mahal harganya, dan juga melihatkan kekayaan khasanah Bahasa Indonesia bukan?.

”Berbahasa” dalam konteks kekinian
Sekarang lain halnya. Bahasa asing menjadi bahasa paling tinggi dalam pandangan sekilas lalu. Pembicara/nara sumber dalam seminar-seminar atau pelatihan-pelatihan--kalimat yang ia ucapkan--selalu dibarengi istilah asing, supaya berkesan (pembicara itu) orang hebat, orang intelektual, orang yang keren dan lain-lain. Masyarakat (intelektual) Indonesia, mulai dari insan-insan akademik (mahasiswa/dosen) kelihatan sangat ramah dengan istilah-istilah asing, kadang kala merekapun tidak tahu, apa yang sedang ia katakan. Tujuannya tidak lain tidak bukan, agar kelihatan hebat. Begitu juga pembicaraan/karya tulis pada kelompok -kelompok mahasiswa/mahasiswa secara individu, penggunaan bahasa asing (Eropa-Amerika) begitu bersemi bagaikan cendawan tumbuh dimusim hujan, agar terkesan hebat. Orang-orang, yang membiasakan berucap dengan memperbanyak kata-kata ilmiah, yang disadur dari bahasa asing (Eropa/amerika), seolah-olah ia 'membangun fantasi' agar terkesan hebat. Aktivis-aktivis mahasiswa/pemuda, berusaha membangun fantasi bahwa ia adalah penguasa dunia, pejabat, orang hebat, terkemuka, maka setiap ucapannya, selalu dikaitkan dengan istilah-istilah/kata-kata Eropa/Amerika, yang kadang dalam pengucapannya pun tidak pula tepat. Era 80-an, mungkin pandangan ini betul.
Kesadaran untuk menjaga esensi bahasa, sebagai salah satu karakteristik kecintaan terhadap bangsa sendiri, memasuki tahap kerapuhan. Peran media dalam hal ini sangat menentukan. Karena media selalu akrab dengan masyarakat, secara tidak langsung, media adalah salah satu alat yang paling startegis untuk mempengaruhi prilaku masyrakat tersebut. Prof. Ermanto, guru besar bahasa UNP mengatakan bahasa media (cetak/elektronik)sangat mempengaruhi Bahasa Indonesia. Bisa berpengaruh positif bisa berpengaruh negatif. Media-media yang doyan menggunakan bahasa asing akan berpengaruh negatif terhadap bahasa Indonesia, bisa berpengaruh positif bila dicarikan padanannya dengan Bahasa Indonesia. Hal ini pula yang dikritik oleh Taufik Ismail,  tayangan-tayangan televisi Indonesia yang kerap memakai Bahasa Inggris, semisal, headline news, breaking news, dan setrusnya-dan seteruanya. Taufik Ismail mempertanyakan, kenapa tidak Bahasa Indonesia saja yang digunakan?
Beberapa media cetak di Sumatera  akhir-akhir ini, dihujani oleh berbagai kata-kata asing, yang pada dasarnya bisa dicarikan padanannya dengan Bahasa Indonesia. Misalnya dugaan flu burung, semua media membuat judul berita dengan ”suspect Flu burung”. Kenapa harus menggunakan istilah Ingris itu? Kok tidak dugaan, diduga atau ada istilah Indonesia lain yang lebih tepat, istilah itupun tidak jelas pula, entah saduran atau kutipan atau apa. 
Komunikasi sehari-hari, orang Indonesia sendiri bangga menggunakan bahasa lain, selain dari Bahasa Indonesia. Program sekolah-sekolah modern tidak membolehkan penggunaan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi. Hal ini biasanya terjadi pesantren-pesantren modern dan sekolah-sekolah bertara(i)f internasional. Mungkin hanya sebagai sebuah metode untuk belajar bahasa asing. Tetapi kerap me-lupa-kan bahwa bahasa merupakan karakteristik bangsa dan jembatan penanaman nilai nasionalisme.
Bahasa bisa sebagai doktrin kecintaan terhadap kampung halaman. Itupula alasan orang Jepang melarang keras menggunakan Bahasa Belanda ketika ia menguasai Indonesia. Mencintai Bahasa Indonesia adalah mencintai bangsa. Bangsa yang baik ditunjukkan oleh bahasa yang komitmen sebab bahasa merupakan ciri khas dan karakter bangsa. Membangun bahasa yang baik, yang sesuai dengan bahasa bangsanya, sebetulnya membangun dan memperkuat karakter bangsa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Berikan Komentar Anda, tanpa ada unsur fitnah, dan menyinggung SARA!