Habis dijajah Baha(ng)sa Belanda,
kembali dijajah oleh Baha(ng)sa Amerika (Taufiq Ismail)
Tentang sejarah Bahasa Indonesia, tidaklah dapat secara
gamblang dikatakan asal muasalnya. Apalagi
diklaim begitu saja dari bangsa ini, atau bangsa itu. Melayu, Minang, Jawa,
Sunda, Minahasa atau suku bangsa lain se-nusantara ini, tidak ada yang serupa
betul bahasanya dengan Bahasa Indonesia. Akan tetapi, benang merahnya dapat
diambil bahwa Bahasa Indonesia dipengaruhi Bahasa Melayu. Dikatakan juga, akar
Bahasa Indonesia adalah Bahasa Melayu Pesisiran, atau Melayu Rendah/Melayu
Pasar. Menurut ahli bahasa, hal ini dapat dibuktikan dengan prasasti-prasasti
yang ditinggalkan kerajaan Sriwijaya, yang memakai Bahasa Melayu. Berarti
Bahasa Melayu sudah sejak dahulu kala digunakan di nusantara (Indonesia) ini
sebagai penyambung komunikasi masyarakat. Kebangkitan pemuda I, 1908, juga
menggunakan Bahasa Melayu sebagai bahasa pemersatu, dan dikukuhkan pada
kebangkitan pemuda II, 1928--Sumpah Pemuda--yang sebagian orang membahasakannya
sebagai ”pembabtisan” Bahasa Melayu menjadi Bahasa Indonesia.
Jika ditelusuri lebih dalam, antara Bahasa Melayu dengan
Bahasa Indonesia, sebetulnya jauh berbeda. Kenapa? Sebab, Bahasa Indonesia
disusupi oleh tendensi-tendensi politik untuk menjadi lingua franca, supaya ada
beda dengan orang lain, apalagi dengan penjajah. Karakter bahasa Bangsa
Indonesia menjadi jelas dan tegas; Bahasa Indonesia!
Bahasa menunjukkan bangsa, pepatah ini menunjukkan kearifan
berbahasa. Agar tidak salah dalam berucap. Penggunaan bahasa, bisa lebih tajam
dan lebih ganas jika salah menggunakannya. ”Mulutmu adalah harimaumu” sebuah
kehati-hatian dalam berucap. Maka, mempelajari bahasa menjadi penting, supaya
tidak asal berbahasa.
Penggunaan bahasa sepertinya seiring dengan tern-tren zaman.
Pernah Bahasa Belanda menjadi bahasa yang menempati strata tertinggi di
Indonesia. Seperti juga ketika zaman Belanda, Bangsa Belanda menempati
stratafikasi sosial teratas, bangsa timur jauh menjadi strata kedua dan bumi
putera menjadi bangsa kelas tiga. Ketika itu, rakyat yang tidak pandai berucap
Bahasa Belanda dengan sendirinya menjadi orang yang terbelakang, kuno bahkan
terpinggirkan dari perkembangan zaman. Walaupun Bahasa Indonesia menempati
kasta kedua setelah Bahasa Belanda, tetapi tren Bahasa Belanda begitu
berpengaruh bagi rakyat. Sederatan organisasi pemudapun, memakai Bahasa
Belanda; Jong Sumatra Nenbone, Jong Java, Jong Celebes, dan seterusnya. Pada
tahun 1940an Jepang dengan pasukan militernya, dapat mengusir Belanda yang
telah lama memerintah di nusantara(Indonesia). Kekuasaan negara beralih
ketangan Jepang. Unsur-unsur pemerintahan ditukar seratus persen. Sepatahpun
Bahasa Belanda tidak boleh dipakai. Dalam hal ini Bahasa Indonesia di atas
angin, mendapat tempat pengakuan sebagai bahasa resmi. Bahasa yang boleh
digunakan hanyalah Bahasa Indonesia untuk rakyat Indonesia dan Bahasa Jepang
untuk orang Jepang, sedangkan Bahasa Belanda menjadi bahasa haram ketika itu.
Pada tahun 1948an, setelah sekutu berhasil menaklukan
musuh-musuh besarnya, Jepang dan Jerman cs. NICA (Belanda) berhasrat kembali
menguasai nusantara--walaupun gagal, namun beberapa tahun itu, cukup menguras
perjuangan Bangsa Indonesia--yang sudah menjadi sebuah negara baru merdeka:
Indonesia Raya, yang sudah ada kelengkapan strukturnya, dengan bahasa yang
sudah jelas, yaitu Bahasa Indonesia. Walaupun istilah-istilah yang berhubungan
dengan politik, hukum dan lain-lain masih terpengaruh oleh Bahasa Belanda,
bahkan sampai sekarang.
Seiring dengan perkembangan zaman, pengaruh Bahasa Belanda
pun mulai menipis. Akan tetapi, tren bahasa luar negeri (Eropa dan Amerika)
belum dapat dihambat oleh ketebalan dinding Bahasa Indonesia. Upaya untuk
menumbuhkan Bahasa Indonesia, rasanya sudah banyak dilakukan oleh ahli-ahli
bahasa. Bahasa Indonesia menjadi salah satu pelajaran wajib di sektor
pendidikan. Mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD) hingga perguruan tinggi,
dengan bahasa pengantar pun Bahasa Indonesia. Mata pelajaran Bahasa Indonesia
menjadi mata pelajaran yang termasuk salah satu bidang dalam ujian yang
ditakuti siswa Indonesia, yaitu ujian nasional (UN) pada sekolah menengah.
Sebab itu pula, Bahasa Indonesia (didoktrin) susah.
Satu sisi mungkin benar, jika dikatakan Bahasa Indonesia itu
susah. Seperti pemahaman awam, yang membangun dogma, Bahasa Indonesia itu
susah. Beberapa lapisan masyarakat, tidak pandai dan bahkan mungkin
”patah-patah” lidahnya dalam berucap Bahasa Indonesia. Hanya soal kebiasaan
berucap. Orang Melayu berucap Bahasa Indonesia, pasti terpengaruh oleh
ke-dialek-an Melayunya, orang Jawa berucap Bahasa Indonesia pun, dengan dialek meddoknya.
Begitu juga orang Sunda, orang Batak, Aceh, Kalimantan, Bugis, Maluku dan Papua
serta yang lainnya.
Khasanah dialek masing-masing daerah dalam wilayah Bangsa
Indonesia itu, bukankah kekayaan khasanah Bahasa Indonesia itu sendiri? kita
baca misalnya novel-novel Hamka, serta sederetan penulis lainnya, gaya
bahasanya dalam menuturkan kalimat demi kalimat, begitu terpengaruh oleh bahasa
daerah penulisnya, namun begitu menusuk ke sanubari pembaca. Begitupun
karya-karya sastra Melayu, Jawa, Minang, Sulawesi atau yang lainnya.
Sentuhan-sentuhan dialek lokal, sesungguhnya sebuah nilai yang mahal harganya,
dan juga melihatkan kekayaan khasanah Bahasa Indonesia bukan?.
”Berbahasa” dalam
konteks kekinian
Sekarang lain halnya. Bahasa asing menjadi bahasa paling
tinggi dalam pandangan sekilas lalu. Pembicara/nara sumber dalam
seminar-seminar atau pelatihan-pelatihan--kalimat yang ia ucapkan--selalu
dibarengi istilah asing, supaya berkesan (pembicara itu) orang hebat, orang
intelektual, orang yang keren dan lain-lain. Masyarakat (intelektual)
Indonesia, mulai dari insan-insan akademik (mahasiswa/dosen) kelihatan sangat
ramah dengan istilah-istilah asing, kadang kala merekapun tidak tahu, apa yang
sedang ia katakan. Tujuannya tidak lain tidak bukan, agar kelihatan hebat.
Begitu juga pembicaraan/karya tulis pada kelompok -kelompok mahasiswa/mahasiswa
secara individu, penggunaan bahasa asing (Eropa-Amerika) begitu bersemi
bagaikan cendawan tumbuh dimusim hujan, agar terkesan hebat. Orang-orang, yang
membiasakan berucap dengan memperbanyak kata-kata ilmiah, yang disadur dari
bahasa asing (Eropa/amerika), seolah-olah ia 'membangun fantasi' agar terkesan
hebat. Aktivis-aktivis mahasiswa/pemuda, berusaha membangun fantasi bahwa ia
adalah penguasa dunia, pejabat, orang hebat, terkemuka, maka setiap ucapannya,
selalu dikaitkan dengan istilah-istilah/kata-kata Eropa/Amerika, yang kadang
dalam pengucapannya pun tidak pula tepat. Era 80-an, mungkin pandangan ini
betul.
Kesadaran untuk menjaga esensi bahasa, sebagai salah satu
karakteristik kecintaan terhadap bangsa sendiri, memasuki tahap kerapuhan.
Peran media dalam hal ini sangat menentukan. Karena media selalu akrab dengan
masyarakat, secara tidak langsung, media adalah salah satu alat yang paling
startegis untuk mempengaruhi prilaku masyrakat tersebut. Prof. Ermanto, guru
besar bahasa UNP mengatakan bahasa media (cetak/elektronik)sangat mempengaruhi
Bahasa Indonesia. Bisa berpengaruh positif bisa berpengaruh negatif.
Media-media yang doyan menggunakan bahasa asing akan berpengaruh negatif
terhadap bahasa Indonesia, bisa berpengaruh positif bila dicarikan padanannya
dengan Bahasa Indonesia. Hal ini pula yang dikritik oleh Taufik Ismail, tayangan-tayangan televisi Indonesia yang
kerap memakai Bahasa Inggris, semisal, headline news, breaking news, dan
setrusnya-dan seteruanya. Taufik Ismail mempertanyakan, kenapa tidak Bahasa
Indonesia saja yang digunakan?
Beberapa media cetak di Sumatera akhir-akhir ini, dihujani oleh berbagai
kata-kata asing, yang pada dasarnya bisa dicarikan padanannya dengan Bahasa
Indonesia. Misalnya dugaan flu burung, semua media membuat judul berita dengan
”suspect Flu burung”. Kenapa harus menggunakan istilah Ingris itu? Kok tidak
dugaan, diduga atau ada istilah Indonesia lain yang lebih tepat, istilah itupun
tidak jelas pula, entah saduran atau kutipan atau apa.
Komunikasi sehari-hari, orang Indonesia sendiri bangga
menggunakan bahasa lain, selain dari Bahasa Indonesia. Program sekolah-sekolah
modern tidak membolehkan penggunaan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi. Hal
ini biasanya terjadi pesantren-pesantren modern dan sekolah-sekolah bertara(i)f
internasional. Mungkin hanya sebagai sebuah metode untuk belajar bahasa asing.
Tetapi kerap me-lupa-kan bahwa bahasa merupakan karakteristik bangsa dan
jembatan penanaman nilai nasionalisme.
Bahasa bisa sebagai doktrin kecintaan terhadap kampung
halaman. Itupula alasan orang Jepang melarang keras menggunakan Bahasa Belanda
ketika ia menguasai Indonesia. Mencintai Bahasa Indonesia adalah mencintai
bangsa. Bangsa yang baik ditunjukkan oleh bahasa yang komitmen sebab bahasa
merupakan ciri khas dan karakter bangsa. Membangun bahasa yang baik, yang
sesuai dengan bahasa bangsanya, sebetulnya membangun dan memperkuat karakter
bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Berikan Komentar Anda, tanpa ada unsur fitnah, dan menyinggung SARA!