Label

Sabtu, 25 Februari 2012

Warung Komunitas


Oleh: Mayonal Putra/Pekanbaru

Apa jadinya ketika suatu wilayah tidak mempunyai warung, kalau sampai hari ini, kita masih sepakat bahwa warung merupakan tempat berjualan barang harian, makanan dan minuman atau barang kebutuhan lain. Pentingnya keberadaan warung, memang tidak pernah dikonsesuskan, namun dia hidup dan selalu dibutuhkan.
“Warung”, begitu orang-orang di Pulau Jawa menyebutnya. Kalau di Riau, warung disebut Kedai, sedangkan di Sumatera Barat dinamakan Lapau/lepau. Meski nama dan penyebutannya berbeda di hampir setiap daerah, namun fungsi dan maksudnya sama. 

Manusia sebagai kelompok sosial, ternyata telah memberikan arti lebih dari keberadaan warung selama ini. Setidaknya, warung mempunyai fungsi sosial dengan jalinan hubungan emosional masyarakat sekitarnya. Konsepsi hidup bersama yang selaras, berat sama dipikul ringan sama dijinjing, berlaku dalam adat berwarung masyarakat. Pada setiap daerah ternyata warung juga mempunyai arti dan bentangan sejarah yang berbeda-beda. Sebut saja di perkampungan Melayu dan Minangkabau di Sumatra Indonesia, misalnya. Konon, warung  menjadi pusat informasi bagi masyarakat sekitarnya. Posisi warung di sebuah wilayah boleh dikatakan pokok bagi perkembangan fungsi sosial kemasyarakan. Kabarnya, ketika informasi publik secara moderen belum menyentuh wilayah Melayu Riau dan Minangkabau, kedai atau lepaulah yang menjadi iklim berita perkembangan daerah. Meski hari ini, fungsi sosial dari keberadaan warung tersebut mulai terguras oleh perkembangan peradaban. Hal ini juga pernah saya tulis di Harian Singgalang-Padang: Keberadaan Lapau dalam Masyarakat Minang (Agustus 2011). 

Satu sisi, kita tentu ingin mengembalikan fungsi sosial dari bisnis warung. Bukan mengecilkan arti ketertingggalan pengelolaan dari aspek bisnis termutakhir, warung-warung seperti dulu, kini mulai disulap menjadi market-market indivudual, tanpa mengedepankan konsepsi humanis. Sedangkan, market-market tersebut,  baik skala kecil maupun besar telah merambah di hampir setiap kabupaten kota. Tidak sedikit pula, warung-warung warga yang dikelola secara tradisional menjadi pilihan nomor kemudian, atau hanya semacam jalan alternatif bagi pembelinya. Di mana pelanggan dulu, yang selalu berbagi cerita di warung-warung warga, berbagi informasi antar sesama, tempat memusyawarahkan segala sesuatu untuk kepentingan bersama, tempat pengembangan ide-ide dan kreatifitas, nyaris tidak ditemukan. Patut pula kiranya, kita mempertanyakan, semangat hidup bersama yang dimulai dari warung, kini di mana ada?. Di mana warung semacam kedai kopi yang diceritakan Andrea Hirata dalam Dwilogi Padang Bulan? Di mana warung yang bisa mentolerir pembeli yang bersaku tipis? Nyaris tidak ditemukan lagi. Bahkan, orang pun enggan menyebut warung, namanya sudah mini market, atau toko-toko berbagai merek dengan cara penjualan yang hebat. ‘Warung” seolah-olah menjadi kasta terbawah dari kehidupan berjual beli.

Oleh karenanya, patut kita jenguk konsep-konsep yang melahirkan fungsi sosial pada warung-warung warga. Ide ini tentu harus selaras dan mengimbangi saingan bisnis. Berangkat dari kebutuhan masyarakat pasar dan psikologis zaman, tentu keberadaan warung ideal harus dibubuhi dengan berbagai pertanyaan kritis. Misalnya, bagaimana keberimbangan fungsi sosial masyarakat yang dikoopetasi sebuah warung dengan keuntungan dagang? Menjawab ini, pemetaan untuk mengukur tempat strategis keberadaan warung perlu dipertimbangkan. Karena, warung—hari ini—mesti mengkoopetasi masyarakat terdekat supaya adanya persaingan bisnis yang sehat antar pemilik warung. Kemudian, fasilitas dan jenis barang dagangan. Apa harus menyaingi supermarket atau mini market yang menjamur dan menguasai bisnis barang harian? Tentu tidak harus. Sudah semestinya, ada pasokan berbagai barang sesuai kebutuhan masyarakat yang dikoopetasinya. Selanjutnya, fasilitas yang bisa mengakomodir pelanggan untuk membangun interaksi sosial yang bermanfaat. Kemudian teknologi, seperti wifi, alat pendeteksi harga barang secara moderen dan hal-hal lain menyangkut hidupnya warung secara bisnis dan sosial masyarakat setempat.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Berikan Komentar Anda, tanpa ada unsur fitnah, dan menyinggung SARA!