Label

Kamis, 02 Agustus 2012

Perdes Dijadikan Legalitas Pungli Di Inhil




PEKANBARU (VOKAL)--Sejumlah pedagang di pasar Bagan Jaya, kecamatan Enok, Kabupaten Inhil mengeluh karena banyaknya pungutan liar dari aparat Desa. Anehnya, pungutan tersebut didasarkan oleh Peraturan Desa (Perdes).

"mereka tidak hanya memungut uang kebersiahan. Uang lapak dikenakan masing-masing pedagang Rp 5 ribu, uang kebersihan Rp 5 ribu, uang buat ronda malam Rp 5 ribu, ditambah lagi dengan pungutan-pungutan lainnya tanpa diduga-duga," keluh Asmara (40) kepada Harian Vokal, Kamis (2/8) melalui telepon selulernya.

Hal tersebut dibenarkan oleh Sekretaris Eksekutif Institute of Social Empowerment and Development (ISED) Riau, Zainal Abadi.

Dijelaskan, berdasarkan pantauannya di beberapa desa di Inhil, melalui pesan singkat, dia mengirimkan data ke Harian Vokal, bahwa pungutan yang berdasarkan Perdes tersebut hampir merata di setiap desa di Kabupaten Inhil. Di Desa Harapan Tani, setiap pedagang dipungut biaya listrik Rp 5 ribu per malam, dan Rp 3 ribu bagi yang tidak berjualan di malam hari. Begitu juga yang terjadi di Desa Rumbai Jaya, sejumlah pungutan telah meresahkan pedagang.

"Di setiap desa di Inhil rata-rata ada pasarnya rakyatnya. Sehingga banyak oknum yang memanfaatkan pembuatan lapak di pinggir pasar-pasar inhil yang berbayar. Rata-rata penghuni pasar keliling juga dikenakan pajak retribusi, kebersihan, listrik, ronda malam daln lain-lain," jelasnya Zainal.

Pihaknya mempertanyakan kekuatan Perdes tersebut dalam perundang-undangan. Katanya, berdasarkan perundang-undangan yang ada di Indonesia, peraturan yang diundangan paling rendah adalah Perda.

"Tidak ada dikenal dalam peraturan dan perundangan di negara kita dengan peraturan desa (perdes),"tegasnya.

Dipaparkan, munculnya perdes yang disalah gunakan itu adalah peluang yang diberikan bupati Inhil. Yaitu, adanya program "Desa Mandiri" yang bertujuan, agar masing-masing desa bergiat untuk berkembang.

"Hal tersebut banyak disalah tafsirkan, sehingga masing-masing desa membuat peraturan yang namanya perdes, tetapi untuk melakukan pungli. Itu tidak benar," tegasnya.

Selain itu, katanya, desa di inhil juga membuat BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) tanpa  jelas landasan hukumnya. Hal tersebut, juga dijadikan kesewenang-wenangan penguasa desa untuk pungutan.

Anehnya, menurut Zainal, setiap pungutan yang dibuat legalitasnya sama sekali tidak ada lapoan pertangungjawabannya.

"berbicara soal transparansi anggaran, pungutan yang telah terjadi di Inhil jauh dari itu. Apalagi, kita menyebut akuntabilitas. Wah, sepertinya kepala desa tak mengenal itulah. Yang penting bagi mereka, ada uang masuk, bagaimana laporannya, mereka tidak tahu," tutup Zainal.

Terkait hal tersebut, anggota komisi A, DPRD Riau, Riky Hariansyah mengatakan bahwa Perdes tidak diakui dalam perundang-undangan. Dia menyayangkan kasus yang terjadi di Inhil. Menurutnya, kasus itu kasus teraneh yang pernah ada.

"Kalaupun ada perdes, sifatnya tidak boleh memungut. Kasus di Inhil kita pertanyakan. Bagaimana kontrol Pemkab di sana? Berarti tidak benar pengawasannya," pungkasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Berikan Komentar Anda, tanpa ada unsur fitnah, dan menyinggung SARA!